“Nadiem ini tergolong nekat mau jadi Mendikbud, padahal itu jatah ormas tertentu”. Begitulah persepsi ini tertanam bertahun-tahun. Sehingga dianggap sebuah kebenaran padahal hanya kebiasaan.
Apapun itu, Presiden telah menunjuk Nadiem Makarim. Dan Nadiem bersedia datang dengan segala idealisme anak muda nya yang berusaha mengubah persepsi lama itu. Berbagai inovasi diterapkan agar kejumudan pendidikan selama ini dan dikerjakan dengan pola yang begitu-begitu saja bisa menjadi lebih baik.
Ternyata benar, tak selalu mulus. Gangguannya silih berganti padahal belum setahun dia bekerja di dua Kementerian yang digabung yaitu kementerian Pendidikan tinggi dan Kementerian Pendidikan Nasional yang kini menjadi Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.
Kita coba lihat gangguan ke Nadiem yang sedang heboh-hebohnya saat ini, yaitu Program Organisasi Penggerak (POP). Program ini sejatinya tidak pernah ada. Kebiasaan sebelum-sebelumnya, pemerintah hanya memberikan dana bagi organisasi-organisasi yang membutuhkan dengan mengirim proposal bantuan dana. Kita bisa tau hasilnya, dana tersebut diberikan ke organisasi yang itu-itu saja. Organisasi Yang tidak tau info program adanya dana bagi organisasi pendidikan pasti tidak dapat karena tak mengajukan.
Nilainya berapa yang akan di dapat? Ya, tergantung kedekatan dengan yang punya kuasa. Program apa yang bisa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan dana? Tak jelas arahnya. Bagaimana laporan pelaksanaannya? Juga tak jelas standarnya. Kalau pengawasnya berteman, laporannya di terima. Kita taulah bagaimana susahnya mendapatkan dana dari pemerintah selama ini, mulai dari birokrasinya hingga pungutan-pungutannya.
Nah, disinilah pangkal kehebohan Program Organisasi Penggerak Nadiem Makarim ini. Anak muda ini maunya program hibah ke Organisasi masyarakat ini dibuat transparan, jelas, adil dan bisa diukur keberhasilannya. Nadiem menjanjikan semuanya bisa dapat dana hibah pemerintah asal memiliki program dan Lembaga yang jelas.
Kemdikbud kemudian mengundang semua ormas se Indonesia yang memiliki badan hukum yang jelas dan memiliki program yang baik, terukur dan mendatangkan manfaat bagi siswa dan guru. Nadiem mengajak Lembaga/organisasi pendidikan, yang bisa mengelola keuangan, berpengalaman menggerakkan masyarakat serta memiliki jaringan yang kuat.
Alhasil ribuan organisasi masyarakat besar maupun kecil, termasuk relawan atas nama pribadi, yang berkontribusi dalam bidang Pendidikan mendaftarkan ikut program ini. Tak sekadar kebijakan, Pemerintah melalui Kemendikbud bahkan menganggarkan dana sekitar Rp 595 miliar per tahun untuk program tersebut.
Tapi rupanya ini tak semua orang suka karena dana itu akhirnya dibagi ke banyak organisasi penggerak. Dana POP itu memang dibagi kepada organisasi-organisasi yang selama ini tak pernah mendapatkan perhatian padahal telah bertahun-tahun juga telah memajukan Pendidikan. Juga ke organisasi-organisasi baru untuk kaderisasi dalam dunia Pendidikan. Program ini juga terlalu transparan yang bisa diukur outputnya. Program ini ditetapkan sasarannya sehingga banyak yg alergi jika diatur2 pemerintah.
Lalu apa yang membuat heboh? Awalnya karena Yayasan Sampoerna dan Tanoto masuk dalam daftar organisasi penggerak. Publik mengkritik kenapa Yayasan konglomerat tersebut bisa mendapatkan hibah? Di sinilah masyarakat termakan info tak lengkap.
Ternyata Yayasan Sampoerna dan Yayasan Tanoto tersebut hanya ikut program organisasi penggerak agar selaras programmnya dengan pemerintah. Sampoerna dan Tanoto Tidak mendapatkan dana hibah. (Sumber:https://www.medcom.id/)
Padahal NU, Muhammadiyah dan PGRI memprotes dan kemudian mundur sebagai organisasi penggerak karena Tanoto dan Sampoerna dianggap sebagai organisasi baru yang tak boleh disejajarkan. Organisasi konglomerat tidak pantas mendapatkan Dana APBN. Nadiem kemudian dianggap tak faham sejarah.
Setelah terbuka info bahwa Tanoto menggunakan dana mandiri dan dana pendampingan saja, isunya kemudian bergeser menjadi evaluasi penetapan organisasi penggerak yang salah.
Isunya sudah membesar dan membakar kemana-mana. Hoaks bermunculan dan akhirnya banyak penumpang gelap seolah-olah mendapatkan amunisi baru turut berkomentar dan menyerang padahal esensi program ini tak difahaminya. Begitulah kita saat ini. Suka kehebohan padahal esensinya tak nyambung.
Sebagai anak muda, Nadiem tentu harus hormat kepada senior “Pemain lama” pendidikan atas masukan-masukannya. Nadiem sadar bukan politisi yang tidak memiliki dukungan politik, walaupun sebetulnya dia bisa saja "nakal" dan "bebal". Toh dia Mendikbud? Tapi jalan itu tak ditempuhnya. Anak muda memang harus sopan.
Program organisasi penggerak harus mundur sejenak untuk menjelaskan ulang program ini. Tapi apakah akan selalu begini? Kebiasaan-kebiasaan lama selalu membayangi padahal belum tentu hal itu sebagai kebenaran.
Inilah dilema anak muda sepanjang jaman yang harus selalu menoleh kebelakang padahal masa lalu itulah yang ingin diperbaiki agar masa depan menjadi lebih baik.**
Ikuti tulisan menarik Dara Safira lainnya di sini.