x

Setiap suku bangsa punya cara merayakan kematian

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 27 Juli 2020 15:55 WIB

#SeninCoaching: Anda Pilih Merayakan Kehidupan Hari Ini atau Nunggu Karnaval Kematian

Di masa krisis akibat pandemi, organisasi bisnis yang dapat benefit adalah dengan cara merayakan kehidupan. Di Indonesia, antara lain, sebuah hotel bintang empat di Jawa Tengah, telah mempraktekan. Lewat komunikasi audio visual, hotel tersebut dapat meyakinkan prospek bahwa mereka mampu menerapkan protokol kesehatan lebih baik dibanding para kompetitor. Akhirya calon pelangggan menjadi penyewa untuk event penting.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leaderhip Growth: Reenergizing Self

 

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Life has meaning only in the struggle. Triumph or defeat is in the hands of the Gods. So let us celebrate the struggle!” - Stevie Wonder.

 

Para penggemar film-film James Bond 007 tentunya ingat Spectre, 2015. Film James Bond ke-24, yang dibintangi Daniel Craig, pada adegan-adegan awal menampilkan arak-arakan Día de Muertos, atau karnaval Hari Kematian, sebagai latar belakang.

Bagi orang-orang Mexico Tengah dan Selatan, kematian sebagai bagian dari putaran kehidupan, merupakan hal istimewa untuk dirayakan, tidak untuk memicu kesedihan. Mereka percaya, pada hari itu anggota keluarga atau teman yang sudah meninggal bangkit ikut arak-arakan. Kegiatan merayakan kematian selama tiga hari setiap tahun di Mexico tersebut sudah terdaftar di UNESCO sebagai “intangible cultural heritage of humanity.”

Di negara-negara lain, termasuk di Indonesia, juga ada suku-suku bangsa yang mempercayai perjalanan manusia memasuki wilayah tak bertepi di dimensi sesudah kematian sebagai peristiwa penting yang harus dirayakan. Dia de Muertos atau bentuk-bentuk dukungan lain bagi yang sudah meninggal umumnya perlu persiapan lama, dana yang banyak, serta kerepotan yang tidak sedikit -- sebagiannya rela jadi obyek turisme.

Perhelatan besar yang diselenggarakan manusia yang masih hidup untuk keluarga, kerabat, teman, mantan pemimpin mereka yang sudah meninggal ada di pelbagai tempat di dunia. Cara manusia merayakan kematian bentuknya sangat variatif, tergantung bagaimana masing-masing pemilik event menafsirkan kehidupan pasca kematian. Kalau kehidupan ibarat opera, tergantung pada bagaimana mereka menafsirkan Panggung Abadi.

Pertanyaannya, kenapa manusia cenderung lebih mengutamakan menyelenggarakan perhelatan orang-orang yang sudah meninggal ketimbang merayakan kehidupan sekarang? Bukankah saat masih hidup di Bumi, kita memiliki peluang melakukan sebaik-baiknya “gladi resik untuk tampil di Panggung Abadi”?

Para ulama, pendeta, rahib, dan guru spiritual umumnya menyarankan, lakukan “gladi resik” sekarang dengan excellent, agar bisa tampil di Panggung Abadi lebih baik. Karena kalau sudah wafat, ceritanya lain. Merayakan kehidupan saat masih bernafas di Bumi, sekarang, bisa merupakan cara “gladi resik” yang baik.

Sebagian besar kita umumnya memiliki peluang merayakan kehidupan setiap hari, hanya saja banyak yang belum memanfaatkan dengan baik. Saat Anda bangun pagi menikmati udara segar dan bersyukur, itu sesungguhnya intro yang baik untuk celebrating life.

Ketika Anda melakukan doa pagi, ritual meditasi, atau shalat Subuh berjamaah (sebagian sudah mulai di masjid lagi dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, sebagai ihtiar menghindari penularan wabah), apa yang sesungguhnya Anda rasakan? Bagi yang sudah bisa mengganggap itu sebagai kebutuhan – bukan kewajiban, dan tidak pula mengharapkan pujian manusia -- akan dapat menikmatinya sebagai merayakan kehidupan.

Melihat dan merasakan diri sendiri bersimpuh di hadapan Pencipta Alam Semesta atau menikmati detik-detik dan menit-menit menggetarkan dalam “pertemuan agung” dengan Pemilik Kehidupan dan Kematian, bukankah merupakan defining moment yang tak ada bandingannya di dunia ini? Ini lazimnya akan jadi bekal penting untuk meningkatkan kemampuan kita merayakan hari itu sebagai anugerah.

Menyiapkan breakfast untuk anak yang mau sekolah, menyediakan minuman dan makanan kesukaan orang tua –jika kebetulan bersama kita– saat beliau mau makan, sungguh itu juga salah satu bentuk merayakan kehidupan. Serving, supporting, dan giving semacam itu sesungguhnya dapat mengisi kembali energi hidup kita.

Demikian pula jika kita berhasil membangun kolaborasi dengan tim – dan para pemangku kepentingan – sebagai sebuah puak, a tribe. Para anggota saling memberikan dukungan, menjaga kepentingan bersama, saling melindungi – reenergize each other. Sehingga setiap orang merasa menjadi bagian, belong to, organisasi bermartabat.

Kelewat idealistis, bisa makan ongkos, dan malah bikin repot? Tidak juga.

Di masa krisis akibat pandemi, organisasi bisnis yang terbukti dapat benefit dari cara merayakan kehidupan seperti itu, di Indonesia, antara lain sebuah hotel bintang empat di Jawa Tengah. Lewat komunikasi audio visual, hotel tersebut dapat meyakinkan prospek bahwa mereka mampu menerapkan protokol kesehatan lebih baik dibanding para kompetitor. Akhirya calon pelangggan menjadi penyewa untuk event penting.

Kesigapan mereka melaksanakan standard operation procedure (SOP) baru sudah terlatih dengan baik. Sejak pandemi dan hotel-hotel ditutup, para karyawan dibiasakan saling support. Mereka bersedia alih fungsi sementara – misalnya, front office officer jadi security team. Mengingat tidak ada tamu dan yang ada adalah ketentuan social distancing, tenaga kerja yang masuk sangat dibatasi jumlahya. Saling alih fungsi cara yang baik merawat aset.

Perusahaan kelas dunia yang sudah bertahun-tahun memperoleh benefit dari tradisi selalu merayakan kehidupan -- antara atasan dengan tim dan di antara anggota tim saling mendukung, sebagaimana tradisi sebuah puak – adalah WD-40 Company. Produknya sudah akrab bagi kita, terutama yang senang otak-atik kendaraan kesayangan – apakah itu mobil sport, sepeda motor untuk bergaya, dan sepeda – di bengkel langganan atau di rumah.

Di WD 40 karyawan diperlakukan sebagai anggota suku. Sebagai individu dan sebagai organisasi, orang-orang di WD 40 melembagakan perilaku sebuah puak. “For us, a self-sustaining and co-dependent tribe share common attributes such as values, knowledge, celebration, ceremony and a strong sense of belonging.” Ini pernyataan resmi mereka.

Dalam sebuah dialog interaktif dengan Chester Elton (executive coach, penulis buku Leading with Gratitude, 2020 – bersama Adrian Gostick) beberapa pekan silam, Garry Ridge, CEO atau Kepala Suku WD 40 sejak 1997 sampai sekarang, mengatakan, di WD 40 anggota suku tidak ada yang dihakimi berbuat salah, tapi hasil tindakannya dinilai sebagai pembelajaran.

Itu learning moment. Dalam menghadapi tantangan dan krisis kali ini, “Kami mendapatkan banyak learning moment,” katanya. Komunikasi lebih efektif dengan dan di antara anggota suku, empati, dan learning menjadi kebutuhan di masa krisis.

Setiap anggota suku WD 40 dihargai keahlian khusus masing-masing dan kontribusi mereka pada tujuan-tujuan besar puak. Dengan membangun semangat puak, para anggota dapat lebih dari sekedar bertahan hidup, tapi juga betah dan tumbuh. Di masa krisis seperti sekarang, kata Garry Ridge, sense of belonging dan rasa aman sangat penting.

Jajak pendapat karyawan secara rahasia (tanpa menyebut nama), dilaksanakan oleh pihak ketiga dalam lima bahasa (WD 40 ada di 176 negara), memberikan hasil positif pengembangan tribal culture dan tradisi merayakan kehidupan, selalu berbuat benar dengan baik. Contohnya, tentang kejelasan arah organisasi menjemput masa depan, 94 anggota suku menyatakan semangat (excited). Terhadap pernyataan bahwa bekerja di WD 40 memberikan sense of personal accomplishment, 90% setuju. Skor untuk employee engagement di WD 40 adalah 93. Dalam 10 tahun terakhir revenue tumbuh empat kali lipat.

Garry Ridge, 64 tahun, membuktikan kekuatan kata-kata Aristotle (384 BC): “Pleasure in the job puts perfection in the work.”

Bagaimana dengan Anda, apakah mau mengawali setiap hari dengan rasa syukur dan selalu bisa merayakan kehidupan melalui tindakan-tindakan kongkrit yang benar secara baik? Ini tidak selamanya mudah, sering counterintuitive (bertentangan dengan kemanjaan diri). Bagi kalangan Muslim selayaknya ingat ucapan Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam: “Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka itu diliputi hal-hal yang menyenangkan." (HR. Muslim IV/2174 no.2822, At-Tirmidzi IV/693 no.2559, dan Ahmad III/284 no.14062). Meraih kemuliaan perlu upaya keras tanpa henti.

Atau apa ada yang mau ikut arus massa, mudah terpicu info yang belum tentu akurat, merayakan hidup dengan duduk berlama-lama di depan televisi dan sibuk di grup WhatsApp? Menunda-nunda peluang berbuat baik dengan pelbagai excuses?

Ada juga kelompok manusia, bahkan di antara mereka para pejabat publik atau memiliki jabatan penting di organisasi, cara merayakan kehidupannya dengan menggelembungkan ego, merasa selalu benar, lebih sibuk bagaimana mempertahankan jabatan; bukan memimpin tim membangun prestasi.

Pilihan di tangan Anda, apa bentuk dan cara Anda untuk merayakan kehidupan hari ini, melaksanakan gladi resik dengan baik selama di Bumi untuk Panggung Abadi kelak.

 

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu