x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 29 Juli 2020 09:10 WIB

Fakta 71% Ibu-ibu Repot Anaknya Belajar Jarak Jauh, Survei TBM Lentera Pustaka 

Faktanya 71% Ibu-ibu Repot Anaknya Belajar Jarak Jauh, begitulah hasil survei TBM Lentera Pustaka, Apa penyebabnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Metode belajar-mengajar siswa di sekolah berubah, akibat merebaknya wabah Covid-19. Belajar jarak jauh pun diterapkan. Namun faktanya, banyak reaksi yang timbul akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Survei TBM Lentera Pustaka bertajuk “Anak Belajar Jarak Jauh Di Mata Ibu-Ibu” pada Selasa, 28 Juli 2020 mengkonfirmasikan bahwa 71,1% Ibu-ibu merasa kerepotan atau kewalahan dengan belajar jarak jauh yang dialami anaknya, sementara 28,3% menjawab tidak, dan 0,6% tidak tahu.

Survei yang baru dijawab 180 ibu-ibu ini menegaskan perlunya pemerintah merumuskan dengan rinci program dan petunjuk teknis PJJ. Utamanya materi belajar yang berbasis “social empowerment” ketimbang “self empowerment”. Karena agak rancu bila yang belajar anaknya. Tapi yang kerepotan ibunya. Sistem PJJ pun menyiratkan justru beban besar malah dialami kaum ibu. Apalagi bagi ibu-ibu yang selama ini kurang peduli terhadap materi pelajaran anak di sekolah.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai reaksi terhadap PJJ, beberapa ibu dalam survei ini memberi komentar: 1) jangan kebanyakan tugas, 2) saya sebagai ibu rumah tangga bener bener repot; harus mengerjakan semua tugas rumah, sekarang ditambah lagi ngajar anak-anak, 3) cara mengajar sy beda dengan guru, 4) anak-anak jadi susah diatur, tugas yang dikasih guru belum selesai anaknya malah nonton tv atau maen hp, 5) belajar online tidak efektif, karena anak lebih patuh pada guru, kalau pada ibunya anak tidak nurut, 6) sebaiknya sebelum diberikan tugas anak-anak diberikan penjelasan secara online tatap muka, dan 7) memberi tugasnya kalau bisa jangan banyak-banyak,

 

Harus diakui, PJJ sebagai metode belajar seharusnya tidak masalah. Reaksi kaum ibu ini bisa jadi akibat masih “terpaku” pada cara belajar yang konvensional alias tatap muka. Anak tidak terbiasa, si ibu merasa terbebani. Atau bahkan guru dan sekolah tidak punya kreasi dalam belajar jarak jauh karena tidak terbiasa.Masih mengacu pada kurikulum yang kaku.

 

Sejatinya, PJJ adalah alternatif pembelajaran yang diperlukan di era digital. Apalagi di tengah wabah Covid-19. Untuk itu, dominasi model pembelajaran seharusnya tidak lagi bersandar pada guru dan kurikulum. Itulah yang disebut dengan “Deschooling Society”, model pembelajaran yang mendorong terjadinya kolaborasi orangtua, guru, dan siswa. Sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Selain itu, PJJ harusnya lebih diarahkan pada upaya siswa mendapatkan personalisasi pengalaman belajar yang kreatif dan bermakna sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

 

Kondisi ini menyiratkan ada ketidak-siapan dunia pendidikan dalam menjalankan PJJ. Oleh karena itu, sesuai rencana pemerintah yang akan menjadikan PJJ secara permanen. Maka diperlukan rumusan dan sosialisasi model belajar jarak jauh kepada seluruh pemangku kepentingan. Bahwa belajar jarak jauh bukanlah cara belajar semata tapi soal cara berpikir tentang belajar.

 

Ke depan, belajar jarak jauh adalah model belajar yang tidak bisa dihindari lagi. Maka harus ada koordinasi dan sinergi antara pihak sekolah, orang tua, dan guru dalam memberdayakan kegiatan belajar. Sambil perlahan mengubah perspektif tentang belajar anak di sekolah yang tidak hanya terbatas di ruang kelas atau berdasar kurikulum semata. Tapi lebih kepada membangun cara berpikir dan karakter siswa dalam kehidupan di luar pelajaran #TBMLenteraPustaka #PembelajaranJarakJauh

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler