Salah satu materi reses anggota DPD RI Komite III, Maret 2020, adalah RUU Omnibus Law Cipta Kerja bidang pendidikan, yaitu UU Guru dan Dosen tahun 2005. Pasal 8 berbunyi, (1) Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Masalah muncul pada ayat (2) berikut ini, bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi. Presiden Jokowi dan DPR RI harus mempertimbangkan norma pasal ini karena beberapa alasan berikut.
Pertama, tidak semua lulusan kampus luar negeri adalah lulusan fakultas pendidikan. Artinya, mereka tidak mendapatkan mata kuliah keguruan, kependidikan, atau pedagodik. Tidak semua lulusan luar negeri berbakat dan berminat menjadi guru.
Di Indonesia, alumni fakultas nonkependidikan wajib mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk mendapatkan Sertifikat Pendidik (SP). Sebelum PPG, guru dalam jabatan harus lulus Uji Kompetensi Guru (UKG). Dalam PPG, mereka belajar teori dan praktik kependidikan selama satu tahun.
Mereka juga ditempatkan di sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan fakultas pendidikan. Terakhir, mereka ujian praktik mengajar di sekolah dan ujian pengetahuan berbasis komputer di kampus. Bagi yang tidak lulus, diberi kesempatan ujian tulis selama tiga kali dengan biaya sendiri.
Kedua, seandainya mereka lulusan fakultas pendidikan luar negeri pun, mereka tetap harus mengikuti PPG. Di Indonesia, sejak 2005, alumni fakultas pendidikan tidak otomatis mendapatkan akta IV atau sertifikat pendidik. Mereka harus mengikuti program PPG selama satu tahun. Dengan demikian, pemerintah tidak tepat memberikan privilegekepada alumni kampus luar negeri.
Ketiga, banyak guru yang tidak memiliki SP, padahal sudah lama mengajar. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka. Penyebabnya beragam, mulai dari belum terpanggil sistem, tidak lulus UKG, hingga kendala-kendala lainnya seperti hamil atau melahirkan, tidak mampu membiayai hidup selama PPG karena harus berhenti mengajar dan jauh dari rumah atau keluarga. Terutama guru-guru dari kabupaten dan kecamatan yang jauh dari kota.
Alih-alih memberikan keringanan kepada guru-guru honorer yang telah mengabdi lama tersebut untuk mendapatkan SP, pemerintah malah dengan mudah akan memberikannya kepada lulusan kampus luas negeri yang belum tentu berbakat dan kompeten sebagai guru atau tulus mengabdi.
Guru adalah profesi yang tidak semua orang mampu mendapatkannya. Karena itu SP melalui PPG wajib dilalui sekalipun alumni kampus luar negeri terakreditasi. Guru juga adalah profesi yang bertugas mencerdaskan anak bangsa. Karena itu, seleksi ketepatan dan kapasitas seseorang melalui PPG tidak bisa ditawar-tawar.
Hal ini juga yang dilakukan oleh negara-negara tetangga. Singapura dan Malaysia melakukan seleksi ketat terhadap calon guru. Mereka harus lulus serangkaian tes ujian calon guru. Selain tes minat dan bakat, mereka dites substansi bidang keilmuan dan metode pembelajaran.
Keempat, norma pasal 8 tersebut menunjukkan pengakuan pemerintah bahwa kualitas perguruan tinggi kita di bawah kualitas perguruan tinggi luar negeri. Alih-alih memberikan kelonggaran terhadap alumni luar negeri untuk menjadi guru, sebaiknya pemerintah memperbaiki kualitas fakultas pendidikan mulai dari rekrutmen calon mahasiswa, kewajiban fakultas pendidikan memiliki sekolah laboratorium, hingga mutu dosennya.
Kecuali itu, jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus segera dibatasi. Jumlah LPTK di Indonesia mencapai 421, negeri dan swasta. LPTK yang terakreditasi A hanya 18, sementara yang terakreditasi B hanya 81 LPTK. Moratorium Prodi baru di LPTK harus segera dilakukan.
Surplus sarjana pendidikan mencapai 200 ribu orang setiap tahunnya. Untuk menjadi guru, mereka tidak hanya bersaing dengan alumni LPTK, tetapi juga dengan alumni non-LPTK. Berbeda dengan dokter dan hakim, guru adalah profesi terbuka yang bisa dimasuki oleh alumni nonkependidikan.
Kelima, rendahnya nilai siswa Indonesia dalam penilaian internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan rendahnya mutu dan kinerja guru Indonesia.
Perlu evaluasi terhadap guru bersertifikat. Kemampuan literasi dan matematik siswa lemah, padahal sudah banyak guru bersertifikat. Sertifikasi identik dengan guru profesional. Kelonggaran dalam hal sertifikasi bagi calon guru lulusan kampus terakreditasi luar negeri, bisa jadi akan memperparah mutu pendidikan dan siswa kita.
Keenam, maraknya kekerasan di sekolah harus menjadi pelajaran bahwa tidak semua orang mudah atau bisa menjadi guru. Menjadi guru tidak cukup hanya mengetahui banyak pengetahuan tetapi terampil menyampaikannya dengan ragam metode sehingga belajar menjadi bergairah dan menyenangkan.
Lebih dari itu, guru harus menjadi pendidik bagi siswa yang tugas utamanya adalah pembentukan karakter. Inilah mengapa program sertifikasi bagi calon guru itu menjadi penting. Program ini tidak hanya menilai pengetahuan, keterampilan, dan sikap calon guru, tetapi memastikan bahwa yang bersangkutan memiliki minat dan bakat menjadi guru.
Ikuti tulisan menarik Jejen Musfah lainnya di sini.