x

Iklan

Era Sofiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 13 Agustus 2020 08:34 WIB

Mewujudkan Harapan Milenial, Memiliki Rumah Pertama di Era Information Society

Pertumbuhan populasi generasi millenial tentu beriringan dengan meningkatnya kebutuhan perumahan yang layak huni berkualitas dan terjangkau di masa mendatang. Memiliki hunian yang layak adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi pemerintah. Inilah yang jadi dasar Kementerian PUPR dalam memneuhi kebutuhab tersebut. Ini harapan bagi para millennial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tentu saja kita tidak bisa menutup mata, bahwa penyelenggaraan perumahan di Indonesia telah mencatat berbagai tantangan, kendala, dan hambatan yang begitu kompleks. permasalahan kawasan permukiman kumuh dan rumah tidak layak huni (RTLH) yang belum teratasi, kemitraan, peran serta dan keswadayaan masyarakat yang masih rendah, serta masih lemahnya daya beli masyarakat menjadi PR yang belum kunjung tuntas. Padahal, memiliki hunian yang layak adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, tak terkecuali para millennial. 

Berdasarkan data yang ada, millenial merupakan generasi yang secara umum lahir antara tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an dan merupakan populasi dengan segmentasi yang luas dan tersebar di setiap kelas sosial dan budaya. Saat ini jumlah penduduk millenial diperkirakan mencapai sekitar 60% dari total populasi penduduk Indonesia.

Tak ayal, pertumbuhan populasi generasi millenial yang akan terus bergerak naik tentu beriringan dengan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang layak huni, berkualitas dan terjangkau di masa mendatang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkait hal tersebut, Data Profil Generasi Milenial Indonesia tahun 2018 yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS) atau pun data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2017 sama-sama mencacat rata-rata upah atau penghasilan generasi milenial selama satu bulan tercatat di kisaran Rp2,15 juta.

Begitupun dengan daya angsur yang hanya sebesar Rp500.000–800.000 per bulan berdasarkan riset PERUMNAS. Dengan kata lain, harga rumah yang terjangkau bagi millennial berdasarkan riset tersebut adalah berkisar Rp90 juta-144 juta.

Berkaca dari hal diatas, sangatlah wajar jika dalam proses pencarian hingga mengambil keputusan membeli rumah, generasi millenial ini kadang-kadang mengalami keraguan, terutama jika mengingat harga rumah maupun sepetak tanah yang kian melesat dan terus melangit tanpa ampun setiap tahun.

Bahkan, data penjualan perusahaan konsultan real estate Cushman & Wakefield tahun 2016 mencatat tak ada lagi rumah menengah ke bawah di Jakarta. Artinya, masyarakat prasejahtera, termasuk para millennial yang mengantongi pendapatan di angka rata-rata bakal makin sulit membeli rumah di Ibu Kota.

Ditambah situasi perekonomian tak menentu seperti di era pandemi seperti saat ini. Apabila tak ada upaya untuk mengubah keadaan, maka sampai kapan pun hal itu tak akan merubah status quo atas kepemilikan rumah. Masa pandemi bukan saatnya untuk putus asa. Ada banyak peluang yang dapat diraih, termasuk dalam mendapatkan hunian impian.

Maka daripada itu, paket kebijakan pemerintah untuk para millennial menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi, mengingat mereka adalah tulang punggung angkatan kerja nasional di masa mendatang dimana pendapatan mereka di atas masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tapi belum masuk golongan masyarakat menengah ke atas. Paket kebijakan itu bisa dalam bentuk pemberian subsidi, pelonggaran uang muka (DP), juga keringanan pajak.

Lebih jauh lagi, intervensi pemerintah dalam penyediaan tanah, inovasi hunian, serta penyesuaian regulasi sangat diperlukan agar para millennial, bisa memiliki rumah sesuai dengan daya angsurnya.

Regulasi Pemerintah

Saat ini kita hidup di era information society dimana kita tidak hanya berinteraksi langsung dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, tapi tiap lima kehidupan juga telah dibingkai dan dipengaruhi oleh teknologi tersebut.

Tak hanya berbagai hal yang terkait teknologi, dinamika masyarakat pun turut mengalami perubahan corak secara menyeluruh. Namun seringnya pergeseran jaman, corak kehidupan yang sederhana pun kian bergeser menjadi kehidupan yang lebih kompleks.

Rumah menjadi salah satu lokasi utama kebudayaan berbasis teknologi elektronik. Kebudayaan yang berkembang secara elektronik ini melintasi batas ruang dan waktu, mendatangi kita melalui layar, video, radio, dan lain-lain. Rumah semakin lengkap dengan dunia gambar, suara, berita, dan berbagai pertukaran informasi terjadi di dalamnya.

Terkait hal tersebut dan Mengingat millennial hidup ditengah-tengah peradaban teknologi, dan keberadaan milenial dalam beberapa tahun mendatang, ialah aset yang mesti diperhatikan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) secara khusus mengajak kaum muda berani mengambil keputusan untuk masa depan mereka dalam hal pemilikan rumah sebagai aset masa depan, melalui Program Satu Juta Rumah (PSR).

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut saat ini, ada 81 juta orang di segmen generasi milenial yang belum memiliki rumah. Angka tersebut setara 31% dari jumlah populasi di Indonesia.

Selain ingin memudahkan para pencari rumah impian, upaya KPUPR menyadarkan millennial untuk memiliki rumah merupakan langkah-langkah untuk membantu perekonomian Indonesia agar terus bergerak. Karena jika sektor properti ini bergerak, maka ada banyak sektor ikutan lainnya yang ikut bergerak.

Nantinya, program satu juta rumah bagi generasi milenial ini diarahkan ke rumah vertikal atau rumah sederhana bersubsidi.

Terdapat tiga klaster milenial yang kini tengah dikaji, pertama adalah milenial pemula yang berusia 25-29 tahun, baru bekerja atau masih mencari pekerjaan, dan belum menikah.

Klaster kedua adalah milenial berkembang yang berusia 30-35 tahun dan sudah berkeluarga. Klaster ketiga adalah milenial berusia di atas 35 tahun yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan kemajuan finansial.

Klaster pertama akan disiapkan rumah sewa vertikal yang dekat dengan simpul transportasi. Klaster kedua berupa hunian tipe 36 dengan 2 kamar tidur. Sementara klaster ketiga silakan beli sendiri menyesuaikan dengan selera dan gajinya.

Demi memuluskan langkah tersebut, maka edukasi dalam mengelola keuangan memang secara masif harus terus diupayakan. Termasuk bagaimana mendorong anak-anak muda mengalokasikan dananya untuk kebutuhan aset. Apalagi saat seperti ini. Pembatasan physical distancing berdampak terhadap keterbatasan hobby travelling ataupun hangout, sehingga dana untuk hal tersebut dapat dialokasi untuk membeli hunian idaman sekaligus berinvestasi.

Dari segi fasilitas, yang perlu dikembangkan bagi milenial adalah yang erat kaitannya dengan teknologi dan digital, produktivitas yang tinggi, lingkungan yang peduli terhadap alam, fungsional, praktis dan meningkatkan kualitas taraf hidup mereka. Selain itu Berdasarkan hasil riset Ditjen Penyediaan Perumahan, generasi milenial mengutamakan rumah layak huni berkualitas berupa apartemen atau hunian sewa di pusat kota yang terintegrasi dengan simpul transportasi umum.

Hal lain yang patut mendapat perhatian, utamanya dimasa pandemi berkepanjangan ini, adalah konsep rumah adaptor yang merupakan inovasi dalam desain arsitektur dengan memasukkan faktor kesehatan didalamnya. Desain tersebut utamanya harus mampu meminimalisasi shock effect dan physical stresses yang terjadi akibat kejadian tidak terduga tersebut.

Karena itu, ketika mendesain sebuah hunian berskala besar, pemerintah juga harus memikirkan berbagai regulasi terkait kemungkinan krisis seperti pangan dan ekonomi. Bahkan politik dan lain-lain yang akan memengaruhi pola hidup dan produk hunian. Dengan konsep ini diharapkan mampu menjadi "resilin" atau "tahan banting" terhadap risiko akibat kejadian tidak terduga di masa depan.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Era Sofiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler