x

Ranumnya corona di Indonesia

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 13 Agustus 2020 12:44 WIB

Tak Ada Program Membumi, Corona Semakin Ranum Tanpa Budidaya di +62

Bila guru kencing berdiri, murid kencing berlari, karena tidak dapat dijadikan tuntunan dan panutan dalam sikap disiplin dan tegas, pun tak ada upaya nyata menyadarkan rakyat dengan program yang  benar dan membumi, inilah panen dari tanaman buah yang ditanam. Corona terus berkembang biak dan berbuah ranum (sangat masak) tanpa perlu budi daya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penyebaran corona di Indonesia terus menggelora karena cara penanganannya, persis seperti peribahasa "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".

Berbagai pembahasan mengapa terjadi demikian, juga sudah mengemuka seperti sorotan dan sikap pemerintah, sorotan dan sepak terjang stakeholder terkait, serta sorotan terhadap sikap dan perilaku masyarakat Indonesia di luar masalah rekayasa dan konspirasi corona, sebab faktanya kini semua negara di dunia kelabakan menghadapinya.

Sehingga dapat disimpulkan tiga serangkai antara pemerintah, stakeholder terkait, dan masyarakat, adalah sama-sama menjadi penyumbang masalah terbesar mengapa corona terus tumbuh subur dan semakin menjamur di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapa menyangka bahwa Indonesia ternyata sekarang menjadi pusat wabah corona di Asian dan Asia, yang bukan mustahil hingga dunia, sebab berdasarkan data terbaru Rabu (12/8/2020) pukul 12.00 WIB, dalam 24 jam terakhir, diketahui ada penambahan 1.942 kasus baru Covid-19 di Indonesia yang dilansir dalam situs Covid19.go.id.

Sehingga saat ini ada 130.718 kasus Covid-19 di Indonesia,  terhitung sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020 dan semua 34 provinsi pun sudah terwabah.

Lemahnya penuntun dan panutan

Mengapa kasus menjadi semakin tak dapat dikendalikan di Indonesia? Kata kuncinya saya sebut lemahnya "panutan- tuntunan dan disiplin -ketegasan" serta tak pernah lahir program penyadaran kepada masyarakat yang membumi.

Tiga serangkai yang menjadi pemicu kasus terus membengkak, semuanya kompak tak dapat jadi panutan-tuntunan dan disiplin-ketegasan.

Bila di analisis,  pertama, pemerintah dalam hal ini Negara, hingga saat ini terus konsisten setengah hati tak dapat jadi panutan dan tak dapat menuntun serta tak disiplin dan tak tertib dengan aturan dan kebijakan yang dibuat. 

Sejak sebelum corona hadir sampai kasus merambah Indonesia, Jokowi dan pemerintahannya lebih memilih menyelamatkan ekonomi ketimbang nyawa rakyat dari serangan corona. 

Malah sempat menggalakan pariwisata dan terus membuka pintu masuk Indonesia. Setelah itu, kebijakan yang dibuat pun terus berubah-ubah tak konsisten bahkan terus berbenturan dengan kebijakan pemerintah daerah.

Laporan kasus ditutupi kebenarannya dengan dalih agar rakyat tak panik. Anggaran untuk corona juga terus mengendap di tangan para menteri. Pemerintah dan Negara tidak pernah disipiln dan tidak pernah tertib dalam penegakan dan penanganan kasus corona karena aturan yang dibuat juga "mencla-mencle".

Di saat kasus corona terus meningkat dan menjamur ke seantero nusantara, peraturan hidup normal malah diterapkan demi menyelamatkan ekonomi. Dan, masih banyak sekali kasus-kasus lainnya yang justru bersumber dari pemerintah sendiri.

Kedua, menyoal stakeholder terkait. Stakeholder terkait semisal saya sebut media dan rumah sakit. Di tengah masyarakat Indonesia yang sebagian besar pendidikannya masih rendah, tingkat kecerdasan intelegensi dan emosi juga rendah, lemah dalam keterampilan berbahasa dan literasi, lebih bergaya hidup hedonis, banyak masyarakat yang tak melek berita. Begitu banyak media massa baik cetak dan elektronik, tetap saja pemberitaannya tak pernah di lirik oleh masyarakat kelompok ini karena masyarakat pun sudah skeptis pada media massa yang banyak menjadi "alat".

Akibatnya di tengah keterampilan berbahasa dan literasi yang rendah, jangankan sajian dan tontonan berita dibaca dan ditonton, dilirik dan berminat saja tidak, demi untuk terus asyik dengan kehidupannya mencari nafkah. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat yang belum berpendidikan dan hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga prioritas kehidupannya adalah bagaimana cara bisa makan hari ini.

Ada kelompok masyarakat terdidik, tapi tak piawai dalam keterampilan berbahasa dan literasi pula, jadi kelompok ini hanya gemar membaca dan menonton berita dan berbagai kejadian hanya dari kulitnya, judulnya, tak memahami isinya namun merasa tahu.

Kelompok ketiga adalah masyarakat berpendidikan yang melek literasi dan sangat mumpuni dalam keterampilan berbahasa, namun justru "kelompok" inilah yang sangat berperan membuat skenario segala kisah di Indonesia demi kepentingan mereka di tengah kelompok masyarakat yang tak berpendidikan dan sok tahu.

Karenanya mereka memanfaatkan media massa sebagai alat dan corong demi mencapai tujuan kepentingan mereka. Setali tiga uang, kini media massa juga sudah banyak yang bukan lagi menjadi corong pemberitaan yang benar dan amanah, namun lebih banyak menyajikan berita pesanan dari pihak/kelompok tertentu. 

Pada akhirnya kini masyarakat pun tahu bahwa media massa di Indonesia sudah menjadi alat bagi yang "memesannya" dan menyajikan berita yang menggiring opini masyarakat ke kiri, ke kanan, dan lainnya sesuai pesanan.

Dalam kasus corona, sangat terasa peranan media massa kita banyak yang hanya mengobok-obok pikiran dan hati masyarakat dengan penyajian berita yang nyata namun rekayasa karena terselip pesan yang terus membikin masyarakat menjadi berseteru, tak percaya satu sama lain.

Di sisi lain saat para dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya berjibaku menangani pasien corona, pihak rumah sakit malah banyak yang mengambil keuntungan dari corona ini. Corona yang menjadi musibah bagi masyarakat, malah dijadikan berkah oleh beberapa rumah sakit untuk mengeruk keuntungan karena begitu besarnya anggaran corona untuk satu orang dari pemerintah.

Pada akhirnya, setiap hari, masyarakat disuguhi peristiwa masyarakat yang menolak dan melawan rumah sakit, lalu media massa bukan meredam namun malah terus menjadi bahan siaran yang pada akhirnya membuat masyarakat terpengaruh untuk berbuat sama dan semakin tidak percaya bahwa corona ada.

Ketiga, atas kondisi ini, akibat dari sikap pemerintah yang tak menuntun, tak dapat dijadikan panutan karena tak disipilin dan tak tegas terhadap penanganan corona, ditambah dengan sikap rumah sakit yang banyak mengambil keuntungan, serta media massa yang menyajikan berita pesanan dan malah jauh dari sifat mengedukasi masyarakat, maka semakin memupuk rasa tidak percaya rakyat kepada pemerintah, rumah sakit, dan media.

Itulah mengapa masyarakat semakin abai dan skeptis, sehingga bukannya corona mereda, kini malah menjamurnya siginifikan setiap hari.

Masyarakat semakin tak patuh

Apa upaya pemerintah dengan kondisi ini? Sebab masalah utamanya, kepercayaan masyarakat sudah semakin menurun? Kapan media massa akan berfungsi kembali menjadi corong yang mengeduksi, bukan mengobok-obok pikiran dan hati yang membikin masyarakat terus dalam opini curiga, tak percaya, hingga terus berseteru, sehingga ada kejadian seperti dua musisi Anji dan Jerinx  terseret kasus hukum dengan pasal karet UU ITE.

Inilah cermin dari buruknya semua rangkaian peristiwa hingga corona terus membara di Indonesia. Tidak ada sosialisasi masif yang terporgram dan benar dari pemerintah, sebab kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga tidak seragam dan saling berbenturan.

Faktanya, akhirnya dengan kondisi yang menyedihkan ini, Presiden Jokowi pun meminta ada perubahan cara sosialisasi protokol Covid-19 yang dinilainya tak efektif bagi masyarakat menengah bawah. 

Nah, bila Presiden sampai mengungkap hal itu, ini sama saja dengan pengakuan dosa dan kesalahan, sebab, beliau sendiri sampai dua kali memarahi para menterinya karena mengendapkan anggaran corona.

Bahkan menyangkut sosialisasi yang dianggap jadi pemicu corona tak terkendali juga telah diungkap oleh beberapa pakar epidemiologi yang mengadakan riset tentang tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol Covid-19 dan menemukan pemicu terus naiknya kasus positif di Indonesia adalah sosialisasi yang lebih bersifat satu arah atau hanya sekadar diseminasi informasi dari pemerintah.

Presiden Joko Widodo  dalam pembukaan rapat terbatas yang membahas penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional - di Jakarta pada Senin (03/08), pun mengakui bahwa orang yang tidak taat pada protokol kesehatan tidak semakin sedikit tapi semakin banyak. Sampai mengatakan bahwa masyarakat perlu sosialisasi satu per satu khususnya untuk masyarakat bawah.

Ucapan Presiden ini pun semakin memberikan pembenaran bahwa selama corona menjangkit, pemerintah memang baru pada taraf desiminasi informasi, bukan sosialisasi yang benar.

Desiminasi informasi diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mendapatkan informasi, sehingga timbul kesadaran, menerima dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.

Diseminasi merupakan sinonim dari kata penyebaran. Jadi, pengertian diseminasi informasi adalah penyebaran informasi. Penyebaran informasi yang dimaksud dapat dilakukan melalui berbagai jenis media seperti buku, majalah, surat kabar, film, televisi, radio, musik, game dan sebagainya. 

Di Indonesia, yang nampak terlibat dalam hal tersebut baru media massa. Itu pun sudah disusupi "pesanan".

Harus dan wajib disadari bahwa perilaku masyarakat tidak taat terhadap protokol kesehatan, bila kita perhatikan berdasarkan fakta di lapangan kini justru semakin tidak mengenal tingkat lapisan kelompok sosial dan ekonomi masyarakat.

Sebab, cara komunikasi pemerintah hingga kini masih cenderung satu arah dalam menyadarkan masyarakat yang pikiran dan hatinya juga sudah tak percaya pemerintah, sehingga apa yang dilakukan pemerintah dengan hanya memberikan informasi protokol kesehatan yang standar, sekadar desiminasi informasi, menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak memahami dampak virus corona sehingga menyepelekan protokol kesehatan.

Sampai saat ini masih terus berulang kasus seseorang yang marah ketika ditegur untuk jaga jarak, diingatkan untuk memakai masker, cuek diingatkan agar tidak bergerombol dan sebagainya.

Dan, yang kini nampak jelas terjadi, di saat corona terus menggerus, hampir seluruh kalangan masyarakat mengabaikan protokol kesehatan seperti kalangan masyarakat atas tidak pakai masker saat ketemu teman, rekan kerja dan keluarga jauh hingga di dalam lingkungan keluarga. Begitu pun dengan kalangan masyarakat atas hingga bawah. Semuanya kompak tak taat protokol kesehatan. Klaster baru terus bermunculan bahkan terjadi di ruang kerja/kantor pemerintah dan perusahaan swasta, Bank, sekolah, Universitas dan lainnya yang secara logika harusnya tidak terjadi karena semua klaster itu adalah lingkungan yang berisi manusia terdidik.

Lahirkan program membumi

Dalam situasi yang semakin gawat dan penuh ancaman, meski terlambat, harus segera lahir program sosialisasi yang benar dan terstruktur mulai dari diseminasi informasi, kampanye, dan penyadaran kepada individu-individu dalam masyarakat semua kalangan agar memahami benar bahwa corona terus mengancam setiap insan bila tak patuh protokol kesehatan 

Wajib lahir program yang jelas mekanismenya, sumber dayanya, alat ukurnya, hingga alat evaluasinya. Dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, RW, RT, hingga sampai keluarga.

Sebagai analogi, sudahkah pemerintah membuat program yang disosialisasikan dan diaplikasikan dengan benar menyoal pengibaran Bendera Merah Putih dalam rangka HUT RI maupun Hari Pahlawan kepada masyarakat hingga ke lingkungan keluarga? 

Saya belum pernah menemukan program itu ada meski sudah ada UU yang mengaturnya hingga rakyat yang melanggar pun ada hukumannya. Namun, kurang dari empat hari perayaan HUT RI ke-75 tahun 2020 ini, masih banyak rumah warga yang tetap belum mengibarkan Bendera Merah Putih, dengan apa pun alasannya. Mengapa dibiarkan? Ke mana perangkat pemerintahan itu? Padahal ada UU dan hukuman bagi warga yang melanggar!

Untuk itu, bila dalam kasus corona, sikap pemerintah juga akan tetap dengan model penanganan yang seperti sekarang terjadi, tak membuat program sosialisasi yang terukur, mustahil rakyat akan tumbuh rasa kesadarannnya, lalu peduli, simpati, dan empati, karena percaya corona ada dan sangat berbahaya, kemudian tak abai, dan optimis dapat memerangi bersama. 

Bila program tak lahir, yang ada adalah corona malah akan tambah menjamur di Nusantara.

Yah, bila guru kencing berdiri, murid kencing berlari, karena tidak dapat dijadikan tuntunan dan panutan dalam sikap disiplin dan tegas, pun tak ada upaya nyata menyadarkan rakyat dengan program yang  benar dan membumi, inilah panen dari tanaman buah yang ditanam. Corona terus berkembang biak dan berbuah ranum (sangat masak) tanpa perlu budi daya.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler