Yang Korupsi Pasti Elite, Kata Bu Mega

Senin, 24 Agustus 2020 13:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yang paling fundamental dan menjadi dasar dari praktik korupsi sebenarnya bukanlah adanya kesempatan, melainkan adanya hasrat dan niat untuk korupsi. Hasrat yang besar untuk menimbun kemewahan duniawi memperoleh jalan ketika seseorang berkuasa.

 

Siapakah orang yang potensial melakukan korupsi? Menurut Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, praktik korupsi kebanyakan dilakukan oleh para elite negara. Saat memberi arahan dalam acara pembukaan gelombang pertama sekolah kader, yang digelar secara daring dan diikuti para calon kepala daerah dari PDI-P, Jumat 21 Agustus 2020, seperti dikutip berbagai media, Mega mengatakan: “Mana ada rakyat yang bisa korupsi, yang korupsi pasti elite.”

Sebagai rakyat, kita senang bahwa ada elite (politik) yang mau melakukan muhasabah atau introspeksi. Bekal nasihat kepada calon kepala daerah itu penting, lantaran, apabila terpilih dalam pilkada Desember nanti, mereka akan masuk ke dalam jajaran elite politik yang mengambil kebijakan dan keputusan untuk wilayah masing-masing. Sebagai orang nomor satu di wilayahnya, mereka dihadapkan pada godaan untuk melakukan korupsi.

Godaan untuk melakukan korupsi, serta penyalahgunaan wewenang lainnya seperti kolusi dan nepotisme, mulai terasa dan semakin kencang karena beberapa sebab, di antaranya:

Pertama, sebagai orang nomor satu di wilayah dan organisasinya (bupati, walikota, gubernur, ketua DPRD, maupun jabatan lainnya), elite ini merasa memiliki wewenang tertinggi. Kekuasaan membuat pejabat merasa berhak melakukan apa saja, termasuk bila harus melanggar peraturan.

Kedua, sebagai orang nomor satu, ia dapat mengetahui berbagai sumber daya yang berpeluang untuk dikorupsi. Semakin tinggi jabatan, semakin besar dan luas akses yang dimiliki untuk dapat memperoleh informasi-informasi penting, misalnya rencana proyek berbiaya besar dan berjangka panjang.

Ketiga, ia juga mengetahui aturan-aturan yang berlaku dan bagaimana menyiasatinya. Pelaku korupsi cenderung menerabas aturan, atau menyiasati aturan, mencari celah-celah yang memungkinkannya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Ini dilakukan apabila yang berwenang membuat aturan tersebut adalah otoritas di atasnya.

Keempat, ia merasa memiliki otoritas untuk mengubah aturan atau ‘menyesuaikan aturan’ sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ia memiliki otoritas membuat aturan, misalnya peraturan gubernur, peraturan bupati, atau peraturan walikota, maka aturan yang tidak sesuai dengan tujuannya akan diubah.

Kelima, ia juga memiliki kekuasaan untuk memerintah. Praktik korupsi sulit dijalankan seorang diri. Pejabat yang melakukan korupsi memerlukan kaki tangan, yang pada umumnya adalah bawahannya. Karena itu, seorang bupati yang korup berpotensi menyeret sekretaris daerah atau kepala dinas.

Keenam, yang paling fundamental dan menjadi dasar dari praktik korupsi sebenarnya bukanlah adanya kesempatan, melainkan adanya hasrat dan niat untuk korupsi. Hasrat yang besar untuk menimbun kemewahan duniawi memperoleh jalan ketika seseorang berkuasa. Jika seorang penguasa tidak memiliki hasrat akan kemewahan duniawi, ia cenderung tidak akan korupsi walaupun kesempatan baginya terbuka lebar.

Jadi, itulah barangkali alasan-alasan mengapa yang korupsi pasti elite, seperti kata Bu Mega, yakni elite yang tidak mampu menahan godaan kekuasaan. Dan karena itu pula Lord Acton (1834-1902) mengingatkan: “Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut.” >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler