x

Teguh Gw bersama guru-guru SD Islam Hidayatullah Semarang berjibaku mengembangkan instrumen penilaian hasil belajar berorientasi HOTS.

Iklan

Teguh Gw

Pemerhati pendidikan, pernah menjadi guru
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2020

Sabtu, 29 Agustus 2020 12:46 WIB

Membiakkan Guru "Koki" Merdeka Belajar

Program "Merdeka Belajar" yang telah dicanangkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim sejak peringatan Hari Guru Nasional, 25 November 2019 mengusung semangat perubahan mendasar dalam praktik pendidikan di Indonesia. Episode ke-1 program Merdeka Belajar diawali dengan kebijakan penghapusan UN/USBN. Pesan yang terkandung adalah reformasi sistem penilaian hasil belajar siswa dari penilaian superfisial ke penilaian autentik, yang secara simultan akan menggiring ke pembelajaran holistik dan kontekstual. Obsesi ini menuntut penguatan kapasitas guru sebagai "koki" pembelajaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Idiom “Merdeka Belajar” menuai popularitas sejak menjadi tagar pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2019. Dalam pidato—yang video rekamannya sudah tersebar luas sehari sebelumnya dan ditayangkan pada Upacara Bendera pada 25 November 2019—itu Mendikbud menutupnya dengan pekik, “Merdeka belajar, guru penggerak!”

Secara lugas, pidato singkat tersebut membeberkan tujuh “aib” pendidikan yang merenggut tujuh kemerdekaan guru: (1) banyaknya aturan yang, alih-alih menawarkan pertolongan, mengekang prakarsa guru untuk menunaikan tugasnya membentuk masa depan Bangsa; (2) padatnya tugas administratif yang merampas kesempatan guru untuk membantu murid yang tertinggal; (3) desakan untuk mengejar angka nilai hasil ujian yang mengerdilkan tanggung jawab guru dalam mengembangkan potensi murid; (4) padatnya kurikulum yang menutup pintu petualangan guru untuk mengajak murid belajar dari dunia nyata di sekitarnya; (5) pengarusutamaan kemampuan menghafal yang memadamkan prakarsa guru untuk mengasah kemampuan murid dalam berkarya dan berkolaborasi sebagai bekal meraih sukses di dunia nyata; (6) doktrin keseragaman yang menafikan kewajiban guru untuk mengakomodasi keberagaman kebutuhan murid; dan (7) minimnya kepercayaan untuk berinovasi yang membunuh hasrat guru untuk menginspirasi murid.

Ketujuh potret kontradiktif antara das Sollen dan das Sein peran guru itulah yang diakui Menteri Nadiem pada bagian awal pidatonya, “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit.” Untuk mengembalikan kemerdekaan yang tergadai itu, tidak ada tebusan lain kecuali membuat perubahan. Namun, Nadiem juga mengakui bahwa perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Menghadapi dilema tersebut, Mendikbud pun hanya menjanjikan satu hal: akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Langkah pertama perjuangan memerdekakan belajar dituangkan dalam empat pilar kebijakan: (1) penghapusan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); (2) penghapusan Ujian Nasional (UN); (3) penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); dan (4) revisi sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Dari empat pokok kebijakan tersebut, tiga yang pertama didedikasikan kepada guru. Ketiganya merupakan “mahar” untuk menebus tujuh kemerdekaan guru yang tersandera tersebut.

Penghapusan USBN dan UN mengusung spirit pembebasan guru dari malapraktik penilaian. Bukan rahasia lagi, UN dan USBN telah menyeret sekolah beserta seluruh entitasnya ke “panggung sandiwara” pendidikan. Pengalaman belajar siswa yang dijalani bertahun-tahun direkam hanya berdasarkan jejaknya dalam ujian pada hari-hari terakhir di penghujung masa belajarnya di sekolah. Hasil belajar siswa ditakar hanya berdasarkan kemampuannya menjawab soal-soal tes kognitif yang, bahkan, didominasi keterampilan berpikir tingkat rendah.

Penghapusan UN/USBN bukan target akhir, melainkan titik tolak untuk memulai perubahan. Amanat yang tersirat adalah rehabilitasi penilaian. Sebagai penilaian sumatif, UN/USBN mustahil memenuhi fungsi penilaian sebagai umpan balik untuk memperbaiki pembelajaran. Sayangnya, desain UN/USBN sering dijadikan patron penilaian kelas, yang semestinya bersifat formatif. Berbeda dari penilaian sumatif yang cenderung semu dan superfisial, penilaian formatif semestinya lebih autentik dan substansial.

Ide penyederhanaan RPP menyiratkan semangat untuk memangkas pemubaziran sumber daya dalam mengerjakan tugas-tugas administratif. Format RPP yang dibakukan (atau, jangan-jangan “baku” itu hanya mispersepsi?) memang memuat sejumlah komponen yang memicu duplikasi dan narasi klise. Alhasil, RPP—yang semestinya digarap secara saksama untuk menghasilkan desain pembelajaran yang aplikatif dan kontekstual—terjebak pada selera basa-basi dan formalitas. Rutinitas kerja mekanistik itu dalam jangka panjang berpotensi melumpuhkan daya cipta guru. Kapasitas intelektual lambat laun kian menyusut akibat kelangkaan rangsangan untuk berpikir secara radikal.

Penyederhanaan RPP berpotensi menimbulkan miskonsepsi. Perlu ditegaskan, yang disederhanakan adalah format dan posturnya, bukan rancang bangunnya. Sebagai manual acara pembelajaran, RPP justru harus dielaborasi sehingga menampakkan kohesi dan koherensi antara tujuan, cara mencapainya, dan alat ukur pencapaiannya. Tiga komponen inti RPP—tujuan, kegiatan, dan penilaian pembelajaran—inilah yang lebih berhak untuk menguras pikiran, tenaga, dan waktu guru. Sedangkan unsur-unsur aksesorinya halal untuk dihilangkan.

Akibat dorongan watak humanistik yang terlalu dominan, barangkali, penyelia atau supervisor sering mengambil sikap permisif atau toleran ketika memeriksa RPP setoran guru. Tujuan, kegiatan, dan penilaian pembelajaran yang dirumuskan secara asal-asalan dan disusun secara acak-acakan sering luput dari kritik dan koreksi. Kekaburan hubungan dan kerancuan jalinan antara tujuan, kegiatan, dan penilaian pembelajaran pun jarang mendapat perhatian. Pembiaran berlarut-larut terhadap perencanaan serampangan ini pada hakikatnya merupakan pengerdilan kapasitas guru secara sistematis.

Pengerdilan kapasitas guru dalam merancang penilaian dan pembelajaran bermutu sudah sedemikian kronis. Rehabilitasi kapasitas guru menjadi urgen untuk diarusutamakan dalam implementasi program Merdeka Belajar. Keterampilan mengembangkan desain penilaian autentik dan pembelajaran holistik menjadi kebutuhan mendesak bagi mayoritas guru. Kecakapan mengintegrasikan penilaian dalam aktivitas pembelajaran tidak kalah penting untuk ditumbuhkan. Agar efektif berfungsi sebagai program rehabilitasi, forum pengembangan keprofesian guru—pelatihan atau apa pun labelnya—memerlukan revisi total.

Kurikulum pelatihan harus difokuskan pada kompetensi substansial. Keterampilan mengembangkan penilaian dan pembelajaran merupakan kecakapan esensial bagi guru dan menjadi faktor kunci keberhasilan peran guru sebagai “koki” kemerdekaan belajar. Padahal, praktik penilaian hasil belajar masih sering terjebak dalam tradisi penilaian semu: tes tulis, sumatif, dan hanya menjangkau ranah kognitif tingkat rendah. Dapat ditebak, pembelajarannya pun semu. Bisa saja kegiatan pembelajaran berlangsung seru, meriah, dan menyenangkan. Namun, itu hanya tampilan luar atau superfisial. Siswa tidak memperoleh pengalaman life skills, kompetensi yang dibutuhkan untuk memasuki kehidupan nyata di masyarakat dan dunia kerja.

Bias pembelajaran dan penilaian itu terjadi akibat pengorganisasian kurikulum pelatihan yang mengabaikan kohesi dan koherensi antara keduanya. Di kampus pendidikan guru, mata kuliah strategi pembelajaran terpisah dari mata kuliah penilaian pembelajaran. Di forum pelatihan pun, keduanya disajikan terpisah. Ketika belajar strategi pembelajaran, (calon) guru tidak memikirkan apa yang perlu dinilai dan bagaimana menilainya. Demikian juga ketika belajar penilaian hasil belajar, mereka tidak menggagas bagaimana skenario pembelajarannya.

Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran. Pernyataan ini dimuat berulang-ulang di dalam buku-buku panduan penilaian terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, guru tidak pernah mendapat kesempatan untuk berlatih mengimplementasikan doktrin tersebut. Oleh sebab itu, revisi kurikulum pendidikan calon guru dan pelatihan guru menjadi tuntutan mendesak.

Untuk guru dalam jabatan, pengembangan profesional semestinya berorientasi pada ketuntasan tiap-tiap guru sasaran. Mentoring individual layak diterapkan sebagai model pembiakan guru “koki” pembelajaran merdeka ini. Jumlah guru sasaran yang diampu seorang mentor dalam waktu bersamaan dibatasi kuotanya. Guru sasaran mengakhiri program mentoring menurut kecepatannya masing-masing, ketika sudah mencapai tingkat mahir. Setiap ada peserta yang tuntas mencapai kemahiran, mentor bisa menambah guru sasaran baru.

Semoga program Guru Penggerak mampu menjadi ladang pembiakan “koki-koki” kemerdekaan belajar.

Ikuti tulisan menarik Teguh Gw lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

3 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB