x

Gambar oleh Barbara Jackson dari Pixabay

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 30 Agustus 2020 18:36 WIB

Manusia dan Tuhan yang Dimengerti Harari

Pendangan Yuval Noah Harari soal manusia, hal, dan Tuhan. Manusia tidak bisa mengerti apa-apa tentang Dia. Misalnya, tentang siapa yang memulai ledakan besar (big bang) atau tentang apa saja yang ilmu pengetahuan tidak tahu, dan kemudian orang berkata “Oh, ini adalah Tuhan”. Bagi Harari, pengertian Tuhan semacam itu tidak ada masalah. Harari dapat menerima dengan gembira Tuhan yang misterius seperti itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam sebuah talk show di hadapan komunitas India, pada September 2018, Yuval Noah Harari ditanya oleh presenternya: “Apakah Anda percaya Tuhan?” Dalam hitungan detik, Harari spontan menjawab: “Tidak”. Si penanya terdiam beberapa detik, dan sembari tersenyum dia mengulang pertanyaannya, “Oke, so you don’t believe in God.”

Harari kemudian menjelaskan apa yang dia maksud. Menurut dia, kata “Tuhan” itu problematik saat ini. Ada dua “pengertian” tentang tuhan di dunia ini dan umumnya masyarakat mencampuradukkan. Pertama, “Tuhan yang misterius”, yang mana kita tidak tahu apa-apa tentang dia. Manusia tidak bisa mengerti apa-apa tentang dia. Misalnya, tentang siapa yang memulai Ledakan Besar (big bang) atau tentang apa saja yang illmu pengetahuan tidak tahu, dan kemudian orang berkata “Oh, ini adalah Tuhan”. Baginya, pengertian Tuhan semacam itu tidak ada masalah.  Harari dapat menerima dengan gembira Tuhan yang misterius seperti itu.

Tetapi ada pengertian “Tuhan” yang berbeda sama sekali, yakni Tuhan yang sangat kongkret, yang seakan kita tahu banyak tentang dia. Dan orang-orang seakan tahu persis tentang apa yang Tuhan pikirkan, misalnya, soal female fashion, tentang bagaimana perempuan harus berpakaian, mode,  tentang seksualitas manusia, tentang siapa yang harus dipilih dalam sebuah pemilihan umum, dan seterusnya. Jadi Tuhan semacam itu seakan mengatur wanita harus memakai apa di kepalanya, dua laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seksual di antara keduanya, dan seseorang harus mengikuti partai ini atau partai itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendeknya Tuhan yang dimengerti sebagai sosok yang tahu, memikirkan, dan memberi perintah tentang semua hal. Terhadap Tuhan semacam itu, Harari tidak percaya. Katanya, jika benar ada “sesuatu” yang bertanggung jawab terhadap galaksi,  big bang, alam semesta, black hole, dan misteri kehidupan, “Saya tidak yakin dia peduli tentang female dresscode.

Maka, Tuhan yang dimengerti Harari juga bukan Tuhan yang personal. Bukan Tuhan yang –dibantu malaikat atau tidak – mencatat semua perbuatan manusia dan mengatur dengan sangat terperinci apa yang dipakai dan dilakukan manusia sehari-hari.

Seperti tertulis dalam bukunya, Yuval Noah Harari lahir di Haifa, Isreal, pada 1976. Dia menerima gelar Phd. dari Universitas Oxford pada 2002, dan sekarang menjadi dosen di Jurusan Sejarah, Universitas Ibrani Yerusalem. Dia mengkhususkan diri dalam bidang sejarah dunia, sejarah abad pertengahan, dan sejarah militer.

Belakangan penelitiannya mengarah pada makro-historis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Apa hubungannya antara sejarah dan biologi? Apa perbedaan penting antara homo sapiens dan hewan lainnya? Apakah ada keadilan dalam sejarah? Apakah sejarah memiliki arah? Apakah orang menjadi lebih bahagia dengan mengetahui sejarah?

Ia menulis banyak sekali artikel di berbagai jurnal imiah. Dan tiga bukunya yang sangat terkenal adalah Sapiens: 21 Lessons for the 21st Century; dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Selain itu Harari banyak memberi ceramah di berbagai forum penting dan universitas di berbagai belahan dunia.

Dalam kehidupan sehari-hari, menurut Harari, orang yang mengaku beriman suka “mengganti-ganti”, menukar-nukar, pengertian Tuhan dalam percakapan. Ketika berbicara mengenai teka-teki alam semesta, batas pemahaman manusia, dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, mereka berseru, “Jadi itu pasti perbuatan Tuhan”.

Namun, setelah memberi sebutan “Tuhan” pada rahasia kosmos yang tidak diketahui itu, mereka menggunakan Tuhan juga untuk mengutuk bikini, perceraian, penikahan sejenis, dan seterusnya. Bagi Harari, Tuhan yang misterius dan Tuhan yang konkret atau pemberi hukuman pada dunia itu bukan hanya tidak ada hubungan logis, tetapi sebenarnya saling bertentangan. Sebab, semakin dalam misteri alam semesta, maka semakin kecil kemungkinan bahwa “apapun” yang bertanggung jawab atas hal-hal itu peduli tentang aturan berpakaian wanita atau perilaku seksual manusia.

Hubungan atau sambungan yang hilang antara “misteri komis” dan “pemberi hukuman” itu umumnya disediakan melalui beberapa kitab suci. Buku-buku itu penuh dengan peraturan yang paling remeh-temeh, tetapi tetap dikaitkan dengan misteri kosmis.

Menurut Harari, sebenarnya kita tidak memiliki bukti apapun bahwa semua kitab suci itu disusun oleh “kekuatan” yang menetapkan, misalnya, bahwa energi itu sama dengan massa dikalikan dengan kecepatan cahaya kuadrat; dan bahwa proton adalah 1,837 kali lebih besar dari elektron. Maka, semua yang disebut sebagai teks suci itu sebenarnya ditulis oleh homo sapiens yang imajinatif. Mereka hanyalah cerita yang diciptakan oleh leluhur kita untuk melegitimasi norma-norma sosial dan struktur politik.

Kitab-kitab itu tentu membantu dalam membangun dan memelihara tatanan sosial selama ribuan tahun. Tetapi mereka pada dasarnya tidak berbeda dari hukum negara dan lembaga sekuler. Maka, sebaiknya kita tidak menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan kepentingan politik kita, ambisi ekonomi kita, atau kebencian pribadi kita.

Tentang kemampuan manusia untuk berimajinansi dan menciptakan cerita fiksi ini sudah dikatakan dalam Ted Conference 2015. Harari mengatakan bahwa salah satu kemampuan lain manusia –selain mampu bekerja sama dengan orang lain dalam jumlah besar--  adalah dapat mempercayai dan mengkreasi fiksi. Manusia mampu membuat cerita fiksi. Katanya, selama semua orang percaya pada fiksi yang sama, maka semua orang akan patuh dan mengikuti aturan yang sama, norma yang sama, dan nilai yang sama yang dikatakan cerita fiksi itu.

Semua mahkluk yang lain menggunakan komunikasi mereka hanya untuk mendeskripsikan realitas. Simpanse, misalnya, “Lihat ada Singa, mari kita lari.” Atau: “Lihat, ada pohon pisang di sana, mari kita ambil pisang.” Sedangkan manusia menggunakan bahasanya tidak hanya untuk  mendeskripsikan realitas, tetapi juga menciptakan realitas baru, realitas fiksional.

Manusia, misalnya, bisa berkata: “Lihat, ada Tuhan di atas awan. Jika kamu tidak melakukan apa yang saya minta, setelah mati Tuhan akan menghukummu dan mengirimmu ke neraka.” Jika mereka semua percaya pada cerita yang  diciptakan, maka mereka akan mengikuti aturan yang sama, norma yang sama, hukum yang sama, nilai yang sama, dan mereka mau bekerja sama. Ini hanya bisa terjadi pada manusia. Kita tidak pernah bisa meyakinkan simpanse untuk memberikan kita pisang dengan menjanjikan bahwa setekah dia mati dia akan pergi ke surga simpanse. Tidak ada simpanse yang percaya cerita semacam itu. Hanya manusia yang bisa percaya.

Dalam dunia reliji, manusia percaya dan bekerja sama pada cerita fiksi yang sama. Jutaan orang datang bersama-sama untuk membangun tempat ibadah, melakukan jihad dan lain-lain, karena mereka percaya pada cerita yang sama tentang Tuhan, surga, dan neraka.

Dan dengan mekanisme yang sama pula, hal semacam itu juga terjadi dalam bidang lain, misalnya bidang hukum. Sebagian besar sistem hukum di dunia saat ini percaya dan mendasarkan diri pada hak asasi manusia. Tapi apa itu hak asasi manusia? Hak asasi manusia, seperti halnya Tuhan dan surga, hak asasi manusia adalah cerita yang kita ciptakan. Dia  bukan realitas obyektif. Mereka bukan fakta biologis tentang manusia. Kalau kita beda manusia, kita lihat di dalamnya, kita hanya akan temukan ginjal, jantung, neoron, DNA, hormon, tapi kita tidak akan temukan hak apapun. Satu-satunya tempat di mana kita bisa temukan masalah hak adalah ada dalam cerita yang kita ciptakan dan sebarkan selama beberapa abad. Mungkin itu adalah cerita yang bagus, cerita yang positif, tapi tetaplah itu sebuah cerita fiksi yang kita ciptakan. Demikian juga dengan dunia politik, ekonomi, dan sebagainya.

Intinya, kita umat manusia bisa mengontrol dunia karena kita hidup dalam dua realitas. Semua binatang lain hanya hidup dalam realitas obyektif. Realitas mereka berisi entitas  obyektif seperti sungai, singa, pohon, gajah, dan sebagainya. Kita manusia juga hidup dalam realitas obyektif. Di dunia kita juga ada gajah, singa, sungai, dan lain-lain. Tetapi selama beberapa abad kita telah mengonstruksi di atas realitas obyektif itu sebuah layer kedua, yakni realitas fiksi seperti entitas Tuhan, uang, negara, perusahaan, dan sebagainaya.

Tetapi, alangkah luar biasanya, sejarah menunjukkan bahwa realitas fiksi itu makin lama menjadi lebih berkuasa. Hari ini, kekuasaan yang paling kuat di dunia adalah entitas fiksi. Sekarang, kelangsungan beberapa realitas obyektif seperti singa, sungai, pohon, dan gajah, tergantung dari keputusan dan keinginan dari entitas fiksional seperti Amerika Serikat, Google, Bank Dunia, dan lain-lain.

 

                                                                 ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler