x

ilustr: Sinode GKJ

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 3 September 2020 10:34 WIB

Calon Tunggal Pilkada Lagi Nge-hits, Partai Mengubur Hak Pilih Rakyat

Hanya ada satu pasangan calon memperlihatkan bahwa partai politik berorientasi pada kekuasaan yang bersifat jangka pendek. Partai lebih suka ikut berbaris di belakang partai pengusung calon yang berpotensi besar untuk menang. Para elite partai sangat kurang memikirkan pengembangan demokrasi yang sehat untuk jangka panjang dan melupakan esensi demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jagat politik Kota Semarang memperkuat apa yang semakin nge-hits menjelang pilkada Desember nanti, yaitu fenomena calon tunggal. Calon petahana, tak lain Walikota Hendrar Prihadi yang berpasangan dengan Hevearita Gunaryanti Rahayu, diusung oleh semua partai politik yang memiliki kursi di DPRD Kota Semarang. Bahkan, seluruh partai yang tidak punya wakil di kursi DPRD ikut mendukung. Pokoknya partai-partai luar biasa kompak.

Fenomena serupa dijumpai di Solo. Seluruh partai mengusung dan mendukung Gibran Rakabuming, putra Presiden Jokowi, yang berpasangan dengan Teguh Prakosa. Hanya PKS yang memilih abstain dari pilkada ini karena tidak berhasil mengusung calon alternatif. Di Solo, PKS menahan diri untuk bergabung dengan barisan partai pengusung Gibran. Kemudian memang muncul calon independen, nama sandi Bajo, namun diperkirakan calon ini hanya menjadi penggembira agar pilwalkot Solo agak sedikit meriah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nge-hitnya calon tunggal ini mengundang tanda tanya: untuk apa sebenarnya pemilihan kepala daerah diadakan? Sesuai namanya, ya untuk memilih kepala daerah. Tapi kalau calonnya hanya ada satu pasang, apakah masih ada kegiatan yang disebut ‘memilih’? Jika masih mau disebut memilih, setidaknya ada dua pasang calon kepala daerah yang berkompetisi dalam pilkada. Walaupun sebenarnya, kedua pasang calon itu merupakan hasil saringan partai politik juga, tapi setidaknya rakyat bisa memilih salah satu di antara dua calon. Lha kalau calonnya cuma satu dan gak cocok, mau milih siapa lagi? Kotak kosong? Sedih, bukan?

Soal lainnya, jika hanya ada satu calon, berarti seluruh partai mendukung calon yang sama. Ini betul-betul mengherankan, masa iya dari sekian juta orang tidak ada satu-dua orang lainnya yang layak maju jadi calon walikota atau bupati? Menyedihkan memang, partai sebanyak ini hanya punya satu calon. Rakyat tidak diberi alternatif, tidak dikasih pilihan. Menyedihkan pula bahwa tidak ada partai yang berpikir beda—semuanya seragam; jadi selama ini mereka hanya bersandiwara seolah-olah beda pandangan?

Bila ditimang-timang, memang ada kecondongan di antara elite partai untuk mengusung dan mendukung calon yang berpotensi kuat untuk menang. Ketimbang mengusung calon yang berpotensi kalah, mending mendukung calon yang berpotensi besar menang. Tak heran bila terkesan bahwa partai kurang bertanggungjawab untuk menemukan calon lain sebagai alternatif agar rakyat dapat memilih. Hanya ada satu calon pasangan bukan saja membuat pilkada tidak menarik, namun secara ensensial itu juga memadamkan hak rakyat untuk memilih pemimpin yang menurut mereka layak.

Hanya ada satu pasangan calon memperlihatkan bahwa partai politik berorientasi pada kekuasaan yang bersifat jangka pendek. Partai lebih suka ikut berbaris di belakang partai pengusung calon yang berpotensi besar untuk menang. Para elite partai sangat kurang memikirkan pengembangan demokrasi yang sehat untuk jangka panjang dan melupakan esensi demokrasi.

Mereka juga menutup pintu bagi kemunculan lebih banyak calon pemimpin dan mungkin lebih layak. Aturan main yang mengharuskan dukungan partai dengan jumlah kursi minimal telah membatasi jumlah calon yang dapat mendaftar pilkada. Dan ketika seluruh partai mengusung calon yang sama, praktis tertutup sudah pintu bagi warga lain yang ingin mencalonkan diri. Pintu lain yang terbuka tinggal jalur independen, dan ini bukan jalur yang mudah.

Tidak adanya calon kompetitor yang layak dan tangguh hanya akan menjadikan pilkada ini ajang pencarian legitimasi dari rakyat bahwa kepala daerah terpilih secara demokratis, sebab rakyat sudah datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos. Padahal, sesungguhnya rakyat hanya memilih calon kepala daerah yang sudah melewati saringan partai politik. Itupun calonnya hanya satu pasang.

Rakyat hanya memilih calon yang sudah disediakan partai politik: “Ini lho calonnya, jangan milih yang gak ada.” Apabila hanya ada calon tunggal, berarti rakyat tidak punya pilihan sama sekali kecuali terpaksa menerima kepala daerah pilihan elite politik. Rakyat datang ke TPS hanya untuk mengesahkan pilihan elite tersebut dan memberi legitimasi seolah-olah proses demokrasi berjalan normal. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler