x

Ilustrasi Debat. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 5 September 2020 05:51 WIB

Apa Jadinya Bila Influencer Tak Paham Isu yang Ia Viralkan

Jika influencer dijadikan key opinion leader tanpa ia memahami apa isu krusial dan dampak dari kebijakan publik yang ia kumandangkan, maka masyarakat berpotensi terperangkap oleh kebijakan publik yang merugikan mereka. Dan semakin merugikan masyarakat manakala diskusi publik mengenai kebijakan itu cenderung dibatasi dan lebih didominasi oleh komunikasi yang bersifat satu arah oleh influencer.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sesuai julukannya, influencer dianggap mampu memengaruhi persepsi masyarakat mengenai suatu peristiwa atau suatu isu. Mereka dianggap berpengaruh karena otoritatif di bidang tertentu atau karena ia populer sehingga punya banyak pengikut (followers) ataupun penggemar (fans). Namun, lazimnya, popularitas atau ketenaran lebih berpengaruh terhadap massa dibandingkan otoritas, dan massa cenderung lebih senang mengasosiasikan diri dengan figur populer atau pesohor ketimbang figur otoritatif tapi kurang populer.

Figur  pesohor itu bisa saja aktor film, penyanyi, atau youtuber. Massa (mengambang—meminjam istilah ilmu politik) akan lebih suka mendengar perkataan seorang pesohor yang tenar dibandingkan dengan epidemiolog yang memang ahli di bidangnya, sekalipun yang dibicarakan adalah isu tentang wabah penyakit. Massa akan cenderung mendengarkan perkataan pesohor yang berpengaruh ini walapun menurut ahli epidemiologi ini, pendapat pesohor itu salah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keika pendapat salah yang dikemukakan influencer ini diterima mentah-mentah oleh pengikut atau penggemarnya, situasinya menjadi merepotkan, sebab pendapat yang salah menjadi lebih populer dan lebih sering dirujuk. Di saat yang sama, massa sukar mendengarkan pandangan yang berbeda meskipun benar, sebab mungkin tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan atau yang mereka harapkan.

Dengan semakin kuatnya peran media sosial, posisi influencer dipandang semakin penting untuk memengarui opini masyarakat, bahkan dianggap sebagai key opinion leader. Influencer memanfaatkan keunggulan media sosial. Media sosial bekerja dengan memadukan sejumlah hal yang menjadi kekuatannya sekaligus merupakan kelemahannya, yaitu kecepatan viralnya, luasnya jangkauan informasinya, dan tidak adanya monitoring yang memadai untuk memeriksa kebenaran informasinya.

Jika informasi itu benar dan akurat, maka informasi yang disampaikan influencer melalui akun media sosialnya itu berpotensi menimbulkan dampak positif pada pengikutnya. Sebaliknya, jika informasi itu salah dan tidak akurat—baik dalam konteks hoax, disinformasi, ataupun manipulatif—maka potensi dampak negatifnya akan besar, terutama karena follower cenderung tidak memeriksa terlebih dulu kebenaran informasi yang ia terima dari influencer. Sebagian masyarakat menerima begitu saja informasi yang diviralkan oleh influencer tanpa sikap kritis.

Para pengambil manfaat atau pengguna jasa influencer, di antaranya pemerintah, tahu benar bahwa informasi yang disalurkan oleh influencer akan cepat viral, sampai kepada ratusan ribu atau bahkan jutaan follower, dan segera dibaca karena langsung memasuki ruang privat yaitu akun follower. Influencer lazimnya disewa untuk membangun brand awareness, tapi kini dalam urusan kebijakan publik pun mereka disewa; dan ini sesuatu yang krusial bagi kehidupan masyarakat yang ingin tetap sehat dan demokratis.

Jika ada sepuluh infuencer yang menyuarakan sikap yang sama mengenai suatu kebijakan publik, maka pengaruhnya terhadap netizen akan berlipat—baik dari sisi jumlah maupun kekuatan pengaruhnya. Akan timbul persoalan manakala mereka menyuarakan hal yang tidak mereka pahami apa isunya dan apa dampaknya terhadap masyarakat, termasuk terhadap diri mereka sendiri. Akan cenderung manipulatif bila hal-hal yang tampak positif lebih ditonjolkan, sedangkan hal-hal yang penting untuk didiskusikan secara kritis disembunyikan.

Walhasil, tidak ada diskusi terbuka antara influencer selaku pembawa pesan dari pihak pemakai jasanya, misalnya pemerintah, sebab influencer sendiri tidak memahami apa isu-isu krusial di balik pesan tersebut atau ia tidak tahu apakah informasi itu benar atau salah, sebagian atau seluruhnya. Ia hanya meneruskan pesan dari pemberi jobs kepada masyarakat, dalam hal ini follower-nya. Sementara, follower menerima pesan tersebut mungkin tanpa keinginan untuk mengetahui lebih lanjut isunya atau keinginan untuk mengritisinya.

Jika influencer dijadikan key opinion leader tanpa ia memahami apa isu krusial dan dampak dari kebijakan publik yang ia kumandangkan, maka masyarakat berpotensi terperangkap oleh kebijakan publik yang merugikan mereka. Dan semakin merugikan masyarakat manakala diskusi publik mengenai kebijakan itu cenderung dibatasi dan lebih didominasi oleh komunikasi yang bersifat satu arah oleh influencer. Inilah potensi negatif pengerahan influencer  untuk mengumandangkan kebijakan publik yang perlu dihindari. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB