x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 September 2020 14:14 WIB

BJ Habibie dan Problem Kesinambungan Industri Dirgantara (Oleh Ricky Rachmadi, SH, MH)

BJ Habibie telah meletakkan dasar yang kuat agar bangsa ini memiliki industri kedirgantraan yang kuat. Akan tetapi, saat ini kita menghadapi problem pelik political will pemerintah dalam memanfaatkan potensi-potensi terbaik anak bangsa. Banyak anak bangsa terbaik yang enggan kembali ke Indonesia bukan karena tidak ingin mengabdi ke negerinya, tetapi mereka tidak mendapatkan kejelasan peran dan posisi apa yang bisa dilakukan bila harus kembali ke tanah air.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Begitu juga ketika memutuskan kembali ke Indonesia. Habibie kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto pada tahun 1973. Sebelum lima tahun kemudian didudukkan menjadi Menristek RI. Sementara pada saat bersamaan, Habibie di Jerman sedang menduduki dua jabatan prestisius sekaligus, Director of Applied Technology dan Vice Presiden di perusahaan kedirgantaraa Jerman Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) Jerman Barat. Posisi ini adalah capaian tertinggi yang pernah diduduki orang asing di perusahaan tersebut.

Jadi bila kita review saat penarikan Habibie dari Jerman oleh Presiden Soeharto, kita akan menemukan situasi yang kontras antara Habibie dengan Jerman dan Habibie dengan Indonesianya. Masa penarikan Habibie dari Jerman adalah masa ketika Habibie mempunyai masa depan karier yang cerah di negara maju. Sedangkan saat bersamaan, Indonesia pada tahun 1973 adalah masa-masa awal Orde Baru yang jalannya masih tertatih-tatih.

Indonesia masa itu adalah Indonesia yang masih berjibaku dengan akhir Orde Lama yang meninggalkan krisis ekonomi dan kemelut politik akut. Sebaliknya justru pada masa-masa keemasan di Jerman dan masa-masa Indonesia yang tidak menentu lah Habibie kembali ke Indonesia. Tindakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang cerdas yang juga memiliki dedikasi, komitmen, dan kemauan untuk bekerja keras.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhir-akhir ini kita tentunya masih ingat problem yang dihadapi LPDP, Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan. Sebuah lembaga yang dibentuk masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang bertugas mengumpulkan dan mengelola dana untuk mengirim ribuan siswa terbaik Indonesia belajar di Luar Negeri. LPDP menghadapi problem pelik banyaknya pelajar yang sudah diberi beasiswa belajar di Luar Negeri, malah pada akhirnya tidak ingin kembali lagi ke Indonesia. Setelah mendapatkan pendidikan terbaik yang dibiayai uang masyarakat (negara), mereka memilih meneruskan kariernya di luar negeri. Karena mereka melihat masa depan yang lebih cerah ketimbang kembali ke Indonesia.

Lantaran melihat Habibie sebagai figur yang pintar, kita juga abai melihat bahwa kemunculan figur seperti Habibie berkaitan dengan political will pemerintah dalam memajukan industri dirgantara nasional, sekaligus memanfaatkan potensi terbaik anak bangsa yang memang unggul.

Alm Presiden Soeharto tidak hanya memanggil Habibie untuk pulang ke Indonesia, tetapi diikuti memberikan posisi yang tepat dan signifikan untuk figur sebesar Habibie.

Akan tetapi, saat ini kita menghadapi problem pelik political will pemerintah dalam memanfaatkan potensi-potensi terbaik anak bangsa. Banyak anak bangsa terbaik yang enggan kembali ke Indonesia bukan karena tidak ingin mengabdi ke negerinya, tetapi mereka tidak mendapatkan kejelasan peran dan posisi apa yang akan mereka lakukan bila harus kembali ke Indonesia.

Bagaimanapun, tempat terbaik mereka adalah di luar negeri karena di sanalah mereka mempunyai lahan untuk mengeksplorasi bakat yang mereka miliki.  Pada titik inilah kemudian kita melihat bahwa harapan kemunculan “The New Habibie” bukan pada ada dan tidaknya anak bangsa yang sejenius seperti Habibie, tetapi karena memang kita tidak memberikan lahan bagi munculnya orang-orang seperti Habibie untuk berkarya. Apa kurang pintarnya Ilham Habibie?

Ilham Habibie bukan hanya anak Habibie, dia pun memiliki kepintaran yang luar biasa dibarengi motivasi terkait dedikasi yang tinggi sebagaimana Bapaknya. Bahkan, Ilham mempunyai ide turunan langsung dari ayahnya tentang pengembangan industri dirgantara nasional dan ia pun sudah menjalankan idenya tersebut.

Namun ketika ide dan langkah yang sudah dimulainya untuk memajukan dunia dirgantara dengan memunculkan pesawat R-80, tapi rupanya mengalami naas karena langkah mewujudkan R-80 telah dikeluarkan oleh pemerintah dari program/proyek strategis nasional. Itu berarti bukan hanya tidak ada political will untuk memajukan industri nasional dirgantara, tetapi juga tidak ada political will untuk memunculkan Habibie baru. Pemerintah seperti kehilangan hasrat untuk memfasilitasi anak-anak terbaik bangsa dalam mengeksplorasi kemampuannya di negeri sendiri.

Jadi, pertanyaannya bukan siapakah penerus Habibie, tapi maukah kita memunculkan Habibie baru? Karena jangan-jangan Habibie baru itu sudah ada tapi tidak pernah difasilitasi oleh pemerintah untuk maju dan berkembang.

Semoga tulisan dalam rangka mengenang satu tahun meninggalnya alm BJH ini akan terus relevan dan akan kerap menemukan momentum bagi kebangkitan Indonesia, baik dalam membangun potensi anak bangsa yang dapat melanjutkan warisan Habibie khususnya dalam mengembangkan potensi kedirgantaraan di tanah air dan sekaligus untuk melanjutkan cita-cita alm BJH, ataupun yang sengaja mempersiapkan negara Indonesia menjadi juara di bidang kedirgantaraan secara internasional. **

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler