x

cover buku Amoi - Gadis yang Menggapai Impian

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 13 September 2020 19:00 WIB

Amoi - Gadis yang Menggapai Impian

Kisah Tionghoa miskin di Singkawang dan perjuangan para gadisnya untuk lepas dari kemiskinan dengan menjadi pengantin pesanan dari para pria dari manca negara yang tak dikenalnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Amoi – Gadis yang Menggapai Impian

Penulis: Mya Ye

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas                                                                         

Tebal: x + 318

ISBN: 978-979-709-604-5

 

Amoi adalah sebutan bagi anak gadis dalam bahasa Hakka. Namun kata “Amoi” mendapatkan makna khusus di Singkawang. Amoi dimaknai sebagai gadis keturunan Tionghoa yang cantik jelita dan siap menikah dengan pria dari manca negara, seperti Taiwan, Hongkong, Malaysia dan sebagainya. Mereka menikah dengan pria asing karena alasan ekonomi. Mereka melakukan pernikahan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Seperti apa pandangan para amoi terhadap praktik pengantin pesanan ini? Mya Ye mengupasnya melalui media novel berlatar belakang Kota Seribu Kelenteng.
 
Mye Ye menggunakan penutur seorang perempuan Tionghoa bernama Shintia Arwida. Shintia digambarkan sebagai seorang penulis yang sedang menyiapkan sebuah proposal beasiswa pascasarjana. Shintia adalah seorang keturunan Tionghoa yang sudah kehilangan ke-Tionghoa-annya, karena dibesarkan di masa Orde Baru dimana budaya Tionghoa ditekan luar biasa. Shintia dibesarkan dalam keluarga Tionghoa yang terbuka dan menghargai pendidikan. Seiring dengan terbukanya kembali budaya Tionghoa di ranah publik, karena negara telah merestuinya, Shintia, seperti halnya para anak muda keturunan Tionghoa di masa Reformasi, kembali tertarik untuk mengetahui budaya leluhurnya.
 
Melalui sebuah pertemuan yang tidak sengaja dengan seorang perempuan asal Singkawang dalam sebuah acara yang membahas budaya Tionghoa di Jakarta, Shintia tertarik dengan kisah para Amoi. Ia memutuskan untuk datang sendiri ke Singkawang. Ia berniat meneliti perkawinan lintas negara yang membuat para amoi mendapatkan stigma yang kurang baik itu. Shintia tinggal selama enam bulan di Singkawang.
Novel ini sangat menarik karena beberapa hal. Selain menggambarkan pokok temanya, yaitu tentang amoi, novel ini memberikan latar belakang sejarah Tionghoa di Singkawang, budaya, kuliner dan tentu saja ikon-ikon kota Singkawang. Dalam hal sejarah Tionghoa Singkawang, Mya Ye mengulik tentang kedatangan para imigran Tionghoa atas undangan Sultan Sambas. Mya Ye juga menceritakan bagaimana para penambang emas ini harus pindah ke perkotaan karena peristiwa PGRS/Paraku yang terjadinya berdekatan dengan peristiwa G30S. Perpindahan dari desa-desa ke kota ini membuat kemiskinan para keluarga Tionghoa di Singkawan menjadi semakin parah.
 
Tentang budaya, Mya Ye menceritakan dengan cukup apik rumah bundar yang menjadi ciri khas rumah orang Hakka. Ia juga menceritakan kelenteng-kelenteng yang ada di Singkawang dan ikon kota berupa Patung Naga yang pernah menjadi bahan sengketa di negeri amoi ini. Mya Ye sangat berhasil dalam mengenalkan kuliner Tionghoa Singkawang melalui tuturan langsung saat ia makan diberbagai kedai di Kota Singkawang.
 
Tak lupa Mya Ye menggambarkan keluarga-keluarga Tionghoa miskin dengan segala kesusahannya. Bekerja keras, makan seadanya, bahkan kadang hanya makan bubur 2 kali sehari. Mereka rata-rata hanya bisa sekolah sampai SD. Anak lelaki biasanya dikirim ke keluarga untuk bekerja di Jakarta, sedang anak perempuan menanti pinangan dari para pria Taiwan yang akan menjadi suaminya tanpa pernah bisa melihat sosoknya, kecuali kadang-kadang foto saja.
 
Tentang amoi sebagai “dagangan,” Mya Ye mengambil empat kasus yang semuanya berakhir tidak bahagia. Amoi bernama Lim Siau Fong, Phang Lie Cu, Tung Lie Sian dan Ng Siat Phin dengan seluruh dinamikanya untuk menjadi pengantin pesanan dikisahkan dengan sangat menarik. Keempat gadis belia ini mendambakan pernikahan dengan pria Taiwan, Hongkong atau Malaysia demi memmbantu keluarga. Ya demi membantu keluarganya keluar dari kemiskinan. Sebab jika mereka terpilih sebagai pengantin pesanan, maka keluarganya akan menerima “uang susu,” yaitu uang mahar. Selain dari uang mahar, sebagai calon pengantin para amoi ini juga mendapatkan uang untuk dirinya sendiri.
 
Tak semua amoi dengan mudah mendapatkan jodoh. Phang Lie Cu, gadis belia yang bekerja membantu Shintia bersih-bersih rumah kontrakannya adalah contohnya. A Cu, demikian Phang Lie Cu dipanggil, adalah anak dari keluarga miskin. Ayahnya sangat kasar dan suka memukul anak-anaknya dan juga ibunya. A Cu tidak cantik dan badannya tidak seksi. Itulah sebabnya beberapa kali dia gagal terpilih saat ada mak comblang yang datang mencari calon pengantin. Jika ia gagal maka ayahnya memukulinya karena dianggap sebagai anak yang tidak berguna. Meski akhirnya ia berhasil menjadi pengantin pesanan, tetapi nasip baik sungguh tidak memihak kepadanya.
 
Selain fokus kepada amoi-amoi yang bercita-cita menjadi pengantin pesanan, Mya Ye juga mencuplik dinamika percintaan remaja di Singkawang. Ia menunjukkan bahwa sesungguhnya masih ada pemuda pemudi yang saling jatuh cinta di tengah kemelaratannya. Kisah A Yen cewek tomboy yang jatuh cinta kepada seorang pemuda miskin pemain barongsai adalah contohnya. Tentu saja hubungan cinta ini ditentang oleh ayah A Yen yang kaya. Ia tidak rela anak gadisnya menikah dengan pemuda miskin yang tidak bersekolah itu. Karena ayah A Yen adalah orang kaya, maka ia mengirim A Yen untuk sekolah ke Jakarta supaya bisa pisah dari sang kekasih.
 
Di bagian akhir novel, Mya Ye menggunakan teknis bertukar khabar melalui email untuk menggambarkan tentang penderitaan keempat gadis yang menjadi pengantin pesanan. Ia juga menggabarkan bahwa pernikahan antar pemuda-pemudi miskin di Singkawang justru membawa kebahagiaan. Bagian akhir dengan menunjukkan bahwa pengantin pesanan tidak bahagia, tetapi justru pernikahan lokal membawa kebahagian adalah pandangan Mya Ye yang disisipkan ke dalam novel ini.
 
Meski harus diakui bahwa dalam membangun kisah Mya Ye masih belum cukup sastrawi, tetapi ia berhasil mengangkat penderitaan para amoi di Singkawang. Ia berhasil menujukkan bahwa orang Tionghoa di Indonesia tidak semuanya kaya dan mapan. Banyak orang Tionghoa yang mengalami nasip buruk seperti para amio di Singkawang ini.
Satu lagi yang hilang dari novel ini adalah hubungan ataretnis yang sebenarnya bisa menjadi bahan menarik untuk memperkaya kisah. Bukankah Singkawang adalah kota yang tidak hanya dihuni oleh etnis Tionghoa saja, tetapi juga ada etnis Dayak dan Melayu yang sama-sama dominan di kota indah ini?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB