x

Karakter bangsa

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 13 September 2020 19:05 WIB

Apa Kabar Nawacita Revolusi Mental Karakter Bangsa, Pak Presiden?

Bagaimana Bapak Presiden? Nawa cita revolusi mental karakter bangsa ini? Apa akan tetap dilanjutkan atau dilupakan? Andai saja, nawa cita ini tergarap dan berhasil, lalu para pemimpin menjadi panutan, bangsa ini semakin hebat, karena rakyatnya berkarakter mulai dari usia akar rumput hingga usia rambut memutih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Kondisi terkini di negeri ini, rakyat terus disuguhi drama perseteruan tak berujung dari kelompok A dan kelompok B yang akar masalahnya sama. Sehingga, apa pun persoalan yang timbul atau ditimbulkan atau sengaja dihembuskan akan selalu mengulik akar masalah yang sama yang bermuara pada politik dan kekuasaan.

Ironisnya, baik kelompok A maupun kelompok B ini kedudukan dan fungsi tugasnya juga sama, di pemerintahan menjalankan amanat rakyat.

Sayang, akibat politik kepentingan dan kekuasaan, perseteruan tak berujung menjadi prioritas pilihan demi untuk menjatuhkan lawan sekaligus pembunuhan karakter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampai-sampai Nawacita penguatan karakter yang digaungkan Presiden Jokowi demi melakukan revolusi karakter bangsa pun lenyap tak berbekas, sebab kalah saing dengan program pembunuhan karakter yang terus terjadi di Republik ini.

Bagaimana revolusi karakter bangsa yang niatnya dititipkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengimplementasikan penguatan karakter penerus bangsa melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digulirkan sejak tahun 2016, dapat terwujud, Kemendikbud sendiri hingga saat ini malah masih berkutat dengan masalahnya sendiri yang tak kunjung kelar.

Padahal saat itu, sesuai arahan Jokowi, Nawacita revolusi penguatan karakter ini, di jenjang pendidikan dasar mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan pendidikan yang mengajarkan pengetahuan. Untuk sekolah dasar sebesar 70 persen, sedangkan untuk sekolah menengah pertama sebesar 60 persen.

Bahkan saat itu, dengan lantang Mendikbud Muhadjir Effendy dengan lantang mengungkapkan bahwa gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah fondasi dan ruh utama pendidikan. PPK juga menyasar olah pikir (literasi), olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah raga (kinestetik)

Tak hanya olah pikir (literasi), PPK mendorong agar pendidikan nasional kembali memperhatikan olah hati (etik dan spiritual) olah rasa (estetik), dan juga olah raga (kinestetik).

Yang menjadi pertanyaan, hingga sekarang Kemendikbud dijabat Nadiem, di mana empat dimensi literasi, etik dan spiritual, estetik, dan kinestetik itu tertanam secara integritas pada anak SD dan SMP? Bagaimana hasilnya? Lalu, apa kabar anak SMA, mahasiswa, masyarakat umum, pejabat, elite partai, dan para pemimpin negeri?

Bagaimana anak SD dan SMP, SMA, mahasiswa, dan masyarakat umum dapat berkarakter sesuai harapan PPK, bila para pemimpin negeri malah lupa dengan karakter yang seharusnya dimiliki sesuai nawa cita itu?

Padahal bila niat revolusi karakter bangsa ini bukan hanya "janji di siang bolong" yakin, dalam kondisi pandemi corona, rakyat Indonesia akan bersatu, tak abai, dan percaya kepada pemerintah, karena pemerintah memang dapat dipercaya.

Sekarang apa yang mau dijawab pemerintah, dan apakah pemerintah dapat menyebut dengan data tentang kemajuan dan hasil nawa cita revolusi karakter bangsa?

Padahal, bila revolusi ini diimplementasikan dengan benar, lalu para pemimpin juga terus menjadi teladan dan panutan menyoal empat dimensi gerakan PPK itu, maka akan ada garansi mengakarnya karakter religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotongroyongan yang masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi manusia Indonesia yang berkarakter.

Betapa sejuknya bila kita semua dapat melihat manusia Indonesia berkarakter religius yang benar, berjiwa nasionalis, berintegritas, mandiri, dan selalu bahu-membahu bergotong royong dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu, kelompok, dan golongan, dan akan jauh dari jiwa-jiwa yang bebal dan terus diselimuti karakter ambisius dan pendendam, sekaligus gemar membunuh karakter seseorang karena "kepentingan" dan tuntutan "junjungan".

Apakah pemimpin negeri ini juga masih ingat dengan Tri Pusat Pendidikan (TPP), yaitu sekolah, keluarga (orang tua), serta komunitas (masyarakat) agar dapat membentuk suatu ekosistem pendidikan. yang berkarakter sesuai nawa cita revolusi?

Percuma rasanya ada PPK, ada TPP, namun selain tak tergarap dengan benar, bahkan dilupakan, demi kekuasaan dan politik, "rakyat" justru terus disuguhi karakter bangsa yang tak literatif, tak etik, tak spiritual, dan tak estetik.

Bagaimana Bapak Presiden? Nawa cita revolusi mental karakter bangsa ini? Apa akan tetap dilanjutkan atau dilupakan? Andai saja, nawa cita ini tergarap dan berhasil, lalu para pemimpin menjadi panutan, bangsa ini semakin hebat, karena rakyatnya berkarakter mulai dari usia akar rumput hingga usia rambut memutih.

Sayang, yang sekarang terus diimplementasikan adalah pendidikan karakter pendendam, karakter tak santun, karakter berseteru, karakter berambisi, dan karakter membunuh karakter. Jauh dari spiritual dan etika, seperti hidup di dunia untuk selamanya.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler