Apa yang membuat saya bersimpati kepada para satpam ialah mereka umumnya sigap menawarkan bantuan, bahkan ketika kita belum meminta bantuan. “Ada yang bisa saya bantu, pak?” adalah ucapan yang muncul manakala satpam melihat kita baru datang ke suatu tempat atau kita sedang menengok kiri-kanan mencari sesuatu. “Silakan pak, mau ke teller atau customer service?” tanya satpam sembari membuka pintu kantor bank, lalu sambil tersenyum ia menyerahkan nomor antrian, “Silakan, pak.”
Simpatik, tidak lepas dari senyum, ringan tangan untuk membantu, dan amanah. Begitulah gambaran saya mengenai para satpam pada umumnya, khususnya yang bekerja di perkantoran dan pertokoan. Dalam balutan seragam kemeja putih celana biru, sepatu mengkilat, kehadiran satpam di tempat-tempat umum membuat kita nyaman dan aman. Satpam perempuan pun tak kalah necis dalam seragamnya. Mereka umumnya tegap, pertanda rajin berlatih olah tubuh dan menjaga lambung dari menyantap makanan berlebihan.
Meskipun satpam bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di lingkungan kerjanya, kita yang berada di sekitar tempat itu tidak merasa diawasi, melainkan merasa ditemani. Sebab, umumnya, mereka sigap menolong. Jika melihat ada seseorang yang kesulitan, entah karena sudah lanjut usia atau barang bawaannya relatif banyak, satpam akan sigap meringankan beban.
Di mal-mal, mereka kerap berkeliling, yang terkesan oleh pengunjung bukanlah mereka sedang mengawasi kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan—meskipun niscaya itu tugas yang mereka kerjakan, melainkan terkesan agar pengunjung merasa nyaman. Dan itulah yang dirasakan umumnya pengunjung. Mereka menolong anak yang terlepas dari pengawasan orangtuanya karena berlarian ke sana kemari. Anak-anak tidak merasa berjarak dengan satpam sekalipun jarang bertemu.
Saya tak pernah mendengar slogan atau jargon yang diusung para satpam didengung-dengungkan, namun bagi saya sikap simpatik, murah senyum tanpa mengurangi ketegasan, dan ringan menolong, jauh lebih bernilai ketimbang slogan apapun. Bukankah selama ini kita kerap terjebak dalam balutan slogan dan jargon, sementara dalam kenyataannya slogan itu baru terlihat lebih seperti harapan, angan-angan, atau cita-cita.
Semua kesan baik tersebut tidak lepas dari seragam yang mereka kenakan selama ini: kemeja putih, berdasi, celana panjang biru. Memang ada tongkat pendek tersemat di pinggang, tapi rasa-rasanya jarang digunakan. Jadi, biarkanlah para satpam mengenakan seragam yang sudah dikenal baik oleh masyarakat. Masyarakat niscaya memiliki persepsi tersendiri mengenai para satpam maupun profesi satpam, dan sedikit banyak seragam yang selama ini dipakai lebih familiar dengan masyarakat.
Lagi pula, mengubah seragam tidak akan serta merta punya arti lebih memuliakan profesi satpam, sebab kemuliaan profesi satpam sesungguhnya dibangun oleh kemuliaan sikap dan perilaku satpam terhadap warga masyarakat: membuat warga merasa aman dan nyaman dengan bersikap dan berperilaku simpatik, amanah, ringan memberi bantuan, tanpa kehilangan ketegasannya. Sejauh ini, para satpam telah melakukan hal itu dan warga masyarakat menghargai para satpam karena hal itu pula. Seragam putih biru sudah telanjur dekat dengan warga dan terbedakan dengan jelas dari polisi yang memang punya tugas berbeda. Jadi, biarkanlah para satpam tetap berseragam putih biru serta berdasi. Lagi pula, rasanya sih, keren! >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.