x

Presiden pertama RI, Sukarno (kiri) didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta, memberikan hormat saat tiba di Jalan Asia Afrika yang menjadi Historical Walk dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 1955. Dok. Museum KAA

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 19 September 2020 17:41 WIB

Katanya Jas Merah, kok Pelajaran Sejarah Mau Dihapus?

Ketika kita meniadakan pelajaran sejarah, sesungguhnya kita tengah mengasingkan diri kita dari segala sesuatu yang menjadikan kita seperti sekarang. Kita bagaikan orang asing yang tidak tahu siapa diri kita sebenarnya, mengapa kita berada di sini saat ini, dan kita tidak tahu akan melangkah ke mana, sebab kita lupa apa yang dicita-citakan bangsa ini di waktu lampau ketika memutuskan untuk membangun kehidupan bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika Menteri dan para pejabat Kemendikbud berencana untuk menempatkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran tidak wajib atau pilihan di SMA, bahkan ditiadakan di sekolah menengah kejuruan, apakah mereka mengalami amnesia sejarah? Apakah mereka lupa, tidak peduli, atau tidak mengerti bahwa keputusan itu akan menjauhkan anak-anak kita yang lahir di zaman internet dan medsos ini akan tercerabut dari sejarah negeri dan bangsanya?

Siapakah Sukarno, siapa Hatta, siapa Rasuna Said? Sumpah Pemuda itu apa sih, bro? Mungkinkan anak-anak supermilenial ini tidak akan mengenal para pendiri dan perintis negara tempat mereka hidup sekarang ini? Sungguh tragis seandainya ada anak-anak remaja kita tak tahu bahwa eyang-eyang kita berjuang hingga darah penghabisan untuk memerdekakan diri dari penjajah. Barangkali mereka juga tidak akan tahu siapa Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, atau I Gusti Ngurah Rai?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila itu terjadi dan diwujudkan dalam kurikulum yang akan dijalankan, maka  bibit-bibit keterputusan sejarah antara anak-anak yang lahir di awal abad 21 ini mulai bersemai. Dampaknya akan terlihat perlahan beberapa tahun ke depan. Anak-anak  milenial mungkin tidak akan tahu dan, apa lagi, mengerti bahwa negeri dan bangsa ini lahir karena diperjuangkan. Bahkan, hingga kini pun tetap dan terus diperjuangkan agar tetap ada dan berkembang; bukan pecah dan kemudian lenyap.

Pejabat kita sepertinya semakin memperlihatkan diri sebagai ‘manusia kontradiksi’—frasa yang tengah populer akhir-akhir ini. Maksudnya, apa yang dilakukan tidak sesuai atau bahkan berlawanan dengan apa yang dikatakan. Bilang mau belok kanan, ternyata melangkah ke kiri. Kontradiksi ini sesungguhnya memperlihatkan kebingungan, kegamangan, sekaligus kerepotan dalam mensikronkan pikiran dengan tindakan.

Sejarah masa lampau diperlukan agar anak-anak kita memahami kontinyuitas kehidupan bangsanya. Dari sejarah, kita tahu apa yang membuat kita terpisah-pisah; dari sejarah pula, kita mengerti apa yang membuat kita dapat terikat erat. Bila kita melepaskan dari sejarah, ini tak ubahnya melupakan akar kita, perjalanan panjang kita, pengorbanan kita, bahkan tujuan bersama kita.

Di zaman serba teknologis seperti sekarang sekalipun, pelajaran sejarah tidak kalah penting dibandingkan matematika, fisika, ekonomi, ataupun komputasi dan koding. Sebab, pelajaran sejarah mengajarkan pada kita bagaimana kita seharusnya menjalin relasi dengan warga lain yang mungkin berbeda warna kulit, perawakan, bahasa, agama, dialek, cita rasa seni, sebab semua itu terkait dengan pengalaman bersama di masa lampau. Dan inilah yang membuat kita harus terus berjuang agar perjuangan masa lampau tidak terhenti dan lenyap, apa lagi jika itu disebabkan oleh kebingungan bagaimana meletakkan pelajaran sejarah dalam konteks belajar di masa sekarang.

Ketika kita meniadakan pelajaran sejarah, sesungguhnya kita tengah mengasingkan diri kita dari segala sesuatu yang menjadikan kita seperti sekarang. Kita bagaikan orang asing yang tidak tahu siapa diri kita sebenarnya, mengapa kita berada di sini saat ini, dan kita tidak tahu akan melangkah ke mana, sebab kita lupa apa yang dicita-citakan bangsa ini di waktu lampau ketika memutuskan untuk membangun kehidupan bersama. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu