x

Pilkada dan nyawa

Iklan

Choirul Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 September 2020

Rabu, 23 September 2020 17:17 WIB

Ancaman Klaster Pendemik Pilkada Di Depan Mata

Artikel ini mencoba memberi alternatif sekaligus mengingatkan, bagaimana pilkada di tengah pandemi harus tetap responsif terhadap kemungkinan dan kerawanan apapun, agar tetap aman dan tetap berkualitas produknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada dan nyawa

Choirul Amin, kolumnis, bekas relawan Jaringan JPPR Pemilu 2009. Kini bergiat di Aksara Cendekia Malang
 
HARUSKAH pilkada serentak ditunda? Sebuah pertanyaan publik yang wajar, karena sejatinya berangkat dari kekhawatiran ancaman pandemi Covid-19 yang belum juga bisa dibendung. Apalagi, angka korban terpapar dan kematian yang diakibatkannya masih menunjukkan tren terus bertambah jumlahnya. 
 
Dua ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, sudah menyerukan agar pilkada serentak ditunda. Tetapi, pemerintah dan Presiden Joko Widodo tak bergeming. Pilkada sentak tetap akan digelar 9 Desember 2020. Tentunya, dengan segala resiko dan harus ada antisipasinya!
 
Perdebatan dengan dalil dan pertimbangan realistis sudah banyak dilakukan, yang melibatkan parlemen, pemerintah dan penyelenggara (KPU dan Bawaslu). Bagaimanapun, keputusan meneruskan pilkada di tengah ancaman pandemi tetap saja dilematis. Jika dipaksakan tetap digelar, maka berbagai antisipasi harus dilakukan. Dan ini tentunya saja menambah beban tugas sekaligus cost yang lebih mahal.  
 
Setidaknya dua antisipasi sudah dilakukan KPU: menunda tahapan awal pelaksanaan selama tiga bulan, dan memastikan sebagian jajaran penyelenggara pilkada dengan protokol cegah covid-19. Tujuannya satu, agar pelaksanaan pilkada serentak bukan malah menjadi klaster baru persebaran pandemi corona. 
 
Pilkada serentak 9 Desember 2020 masih menyisakan waktu sekitar 3,5 bulan ke depan. Tahapan pilkada paling krusial sudah di depan mata. Yakni, kampanye paslon peserta, pengadaan logistik, serta pemungutan dan penghitungan suara. Di sisi lain, protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian covid-19 yang standar sudah ditetapkan. Paling pokok adalah membatasi kerumunan dan pembatasan atau jaga jarak fisik. Walau, kepatuhan dan disiplin protokol ini masih lemah, gampang saja dilanggar. 
 
Masa kampanye dan hari H (pemungutan dan penghitungan suara) pada pilkada serentak lah yang nantinya dikhawatirkan sangat rentan menjadi klaster baru persebaran covid-19. Terlebih, jika pilkada diikuti aksi dukung-mendukung berlebihan dan tetap melibatkan banyak pihak secara massif. Pilkada masa pandemi pastinya akan membutuhkan sumberdaya dan protokol lebih ketat, dengan lebih banyak orang yang akan terlibat. 
 
Bukan tidak mungkin, masa (kampanye) pilkada serentak ini justru menjadi momen euforia bagi banyak orang dan sebagian kalangan. Euforia yang sejatinya sudah lama ditahan dan mati suri, akibat berbagai kebijakan pembatasan dan disiplin sebagai antisipasi pandemi. Pilkada pun bisa menjadi kondisi 'aji mumpung' munculnya euforia yang berpotensi besar mendatangkan kerumunan massa. Jika, momen pilkada juga ada arus perputaran uang yang besar, maka pasti juga akan menjadi magnit banyak orang untuk menjemputnya. 
 
Dalam konteks ini, penyelenggara pilkada, KPU maupun Bawaslu, harus bisa lebih jernih mensikapi situasi pandemi, serta mengantisipasi potensi dan kerawanan apapun yang mungkin bisa terjadi. Soal protokol kesehatan, tidak hanya paslon kandidat, melainkan siapapun tim pendukung yang terlibat harus dipastikan selalu. Ini karena keberadaan mereka justru lebih mobile, berpindah tempat kemana saja dan bertemu banyak orang berbeda.
 
Sudah ada peraturan khusus yang menyertakan protokol pencegahan covid-19 setiap tahapan pilkada serentak, melalui Peraturan Bawaslu Nomor 4/2020. Dalam Perbawaslu yang berisi 88 pasal ini, hampir tidak ada satupun pengawasan tahapan penyelenggraan pilkada yang tidak menyertakan protokol covid-19.
 
Pekerjaan lebih berat juga, terutama pada konteks pengawasan kampanye. Peraturan protokol covid-19 dalam tata cara kampanye dan sistem pengawasannya, sudah tegas memberi rambu-rambu. Pasal 24 (1) dan (2) menyebutkan, jika terdapat bentuk kegiatan kampanye yang diduga dan ditetapkan melanggar protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19, Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah setempat sesuai tingkatan melakukan pembubaran kegiatan kampanye ini.
 
Lebih bagus sekiranya juga diatur, setiap kampanye dengan alat peraga, konvensional ataupun digital, harus selalu mencantumkan pesan dan imbauan protokol cegah covid-19. Terlebih, sejatinya paslon kandidat, termasuk timses atau pendukungnya, adalah figur profiler yang berpengaruh. Jika ini tidak dilakukan, maka akan menjadi pelanggaran kampanye pilkada. 
 
Tetapi, menjadi riskan juga, jika memasukkan aturan protokol dalam tata cara kampanye secara kaku dan berlebihan. Bukan tidak mungkin, pelanggaran dan sengketa pilkada yang dilaporkan justru menumpuk pada hal-hal terkait protokol ini. Protokol yang tidak dipahami dan serta merta diterapkan peserta dan pendukungnya, rentan menjadi potensi kerawanan baru bagi gesekan dan kesalahpahaman nantinya. Semua pihak yang terlibat dalam kerja kepemiluan ini harusnya lebih siap atas semua kemungkinan akibat kerawanan ini. 
 
Perlu diantisipasi juga, masa kerja penyelengaraan pilkada yang cukup singkat, juga jangan lantas habis untuk berbagai penyesuaian dan adopsi protokol non-kepemiluan ini. Memastikan APD jajaran petugas penyelenggara sebelum pemutakhiran data pemilih sebelumnya saja, sudah memakan waktu cukup lama. 
 
Kampanye Digital-Virtual yang Lebih Aspiratif
Banyak pilihan strategi kampanye yang bisa dirumuskan semua kandidat peserta pilkada tentunya. Perlu juga mulai dipikirkan, bagaimana kampanye yang meninggalkan cara-cara lama, sekadar bertemu atau menyapa simpatisan dan konstituen dalam kerumunan massa. 
 
Cara kampanye aksi damai dengan tidak banyak orang, seperti yang kerap dilakukan aktivis, bisa ditiru sebenarnya. Alat peraga berbagai poster dan tulisan yang dibawa peserta cukup bisa diandalkan, jika ini dilakukan di ruang terbuka dan tempat-tempat publik strategis. Publik cukup melihat isi pesan kampanye seperti ini, lebih pas yang memang bisa jelas terbaca dari kejauhan. Cara ini pun tidak kalah mengena, dibandingkan mengumpulkan massa dengan panggung besar plus pertunjukan, tetapi sekadar mengenalkan paslon dan lebih banyak acara hiburannya. 
 
Cara kampanye lain yang lebih moderen juga bisa dicoba, yang bisa menyasar siapa saja terlebih kaum muda dan milenial. Platform digital yang lebih lengkap dan dikelola dengan sungguh-sungguh, bisa menggantikan model kampanye dengan kerumunan massa. Platform ini bisa dibuat lebih lengkap, yang bisa memunculkan elektabilitas kandidat, komunikasi virtual (streaming), ada forum interaksi serap aspirasi, hingga pemberian apresiasi netijen yang merepresentasi harapan calon pemilih. 
 
Dalam platform kampanye digital ini, bisa saja dimasukkan survey (elektabilitas) singkat, misalnya: Kenal paslon A? Kenapa suka (memilih) paslon A? dan seterusnya. Dalam forum aspirasi, tak kalah penting bisa dimunculkan kanal dan space bagi netijen, untuk menuliskan apa yang menjadi harapan pada calon kepala daerah kelak. 
 
Apresiasi netijen calon pemilih yang bisa dilakukan, contohnya dengan kerap mengadakan gift-away, bagi netijen yang memang dinilai pemilih cerdas dan peduli pada kemaslahatan publik melalui aspirasi yang disampaikannya secara daring. Model platform seperti ini bisa meniru program kartu prakerja, atau platform pembaca sebuah media nasional ternama, kompasiana. 
 
Kampanye digital seperti di atas mungkin lebih menarik, daripada banyak portal atau akun media sosial yang hanya menumpuk dan mengunggah klipingan berita atau gambar paslon saja. Dan paket platform ini bisa dibagikan melalui pemberian kuota data gratis, sehingga netijen mau tak mau harus mengaksesnya. Hehe.... 
 
Protokol Adhoc dan Pungut-Hitung Suara
Saat pemungutan dan penghitungan suara juga paling dikhawatirkan dalam pilkada di masa pandemi ini. Seperti sebelumnya, waktu pemungutan suara dibatasi dalam waktu tidak lebih dari 6 (enam) jam di luar penghitungan perolehan suara. Bisa dibayangkan, kemungkinan apa yang bakal terjadi ketika coblosan bersamaan dengan protokol pandemi yang benar-benar harus ditegakkan. 
 
Standar protokol yang diberlakukan sudah jelas, mengharuskan pemakaian masker, cuci tangan sabun, atau semprot disinfektan. Pencegahan dengam deteksi dini juga, melalui pemeriksaan suhu tubuh. Belum juga, sumberdaya petugas yang biasanya dilibatkan dalam penegakan protokol kesehatan anticovid-19 ini. 
 
Konteks pilkada Kabupaten Malang misalnya, jumlah calon pemilih Pilbup sementara tercatat lebih dari 2 juta orang, dengan pemetaan tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 4.999 titik. Dengan demikian, setidaknya 50 ribu orang akan terlibat langsung dalam proses pungut-hitung suara nantinya. 
 
Melayani pemilih rata-rata 450 sampai 500 orang per TPS dalam waktu 6 jam saat pemungutan suara, tentunya butuh penyikapan tersendiri di saat pandemi. Protokol kesehatan mengatur jarak antrean, juga deteksi dini setiap calon pemilih yang datang ke TPS. Tentunya, hari H pungut-hitung suara ini akan membutuhkan banyak petugas tambahan khusus, relawan ataupun menjadi bagian (adhoc) penyelenggara. 
 
Pada aspek lain, bagi masyarakat dengan latar belakang psikologis berbeda, kondisi coblosan dengan protokol ketat bisa jadi pertimbangan tersendiri menggunakan hak pilihnya. C+Bisa jadi, ini menjadikan keengganannya datang ke TPS karena dianggap ribet. Mungkin juga, bagi sebagian pemilih justru akan memunculkan ketakutannya, 'jangan-jangan ada corona!' Pendeknya, penyikapan saat coblosan dengan protokol, rentan juga bisa mengurangi angka partisipasi pemilih menggunakan hak pilihnya. 
 
Ingat, esensi penyelenggaraan dan pengawasan kepemiluan menyeluruh adalah dihasilkannya produk pilkada terbaik, melalui proses berkualitas dan kontestasi bermartabat. Salam pilkada aman dan menyenangkan! (*)
 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Choirul Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler