x

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi 1

Iklan

CISDI ID

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 September 2020

Sabtu, 26 September 2020 06:13 WIB

Menyelenggarakan Pilkada di Tengah Pandemi, Pilihan Moral Berat bagi Pemerintah

Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi disinyalir akan menimbulkan beragam masalah kesehatan. Namun pemerintah bersikukuh menyelenggarakannya, kendati berbagai bukti menyimpulkan kapasitas tes, lacak kasus, hingga kedisiplinan masyarakat rendah. Pemerintah mengambil contoh Korea Selatan sebagai negara yang berhasil menerapkan Pemilihan Umum (Pemilu) pada masa pandemi. Tapi pemerintah lupa bahwa Korea Selatan menerapkan upaya pengendalian wabah yang lebih luar biasa dari pemilu itu sendiri. Sedang di sini? Amburadul!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi bisa dipahami, meskipun sangat berisiko. (Sumber gambar: Tempo)

Tahun 2020 seharusnya menjadi ajang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah. Pemerintah mengundur waktu pelaksanaan Pilkada yang awalnya akan dilaksanakan pada 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020. Pemerintah mengambil keputusan itu setelah menimbang kekhawatiran munculnya klaster epidemi baru di wilayah-wilayah penyelenggaraan Pilkada. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski demikian, penundaan ini bersifat situasional lantaran Pilkada tetap dilakukan setelah kurva epidemi menurun, bukan ketika pandemi dinyatakan selesai atau vaksin telah diproduksi massal. Keputusan ini bisa dipahami, dikarenakan menurut Undang-Undang KPU, penundaan penyelenggaraan pilkada tanpa alasan yang kuat bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi penyelenggara. 

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri menyampaikan dukungan mendalam terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak. Mereka optimis bahwa pilkada akan memberikan lebih banyak manfaat daripada kerugian pada masa pandemi, dikarenakan beberapa alasan. 

Pertama, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan bahwa momen Pilkada Serentak mampu melandaikan tren penularan Covid-19. Tito menyebut edukasi massal menjelang Pilkada menjadi kunci melawan wabah. 

Menurutnya, pemerintah perlu mengedukasi publik dengan informasi kandidat-kandidat kepala daerah yang memiliki visi untuk menghadapi COVID-19. Ia menambahkan dengan cara itu rasionalitas pemilih akan terbentuk dan isu COVID-19 akan menjadi bahasan serius di kalangan pemilih. 

Kedua, pemerintah yakin bahwa penyelenggaraan Pilkada mampu menggerakkan ekonomi masyarakat. Ekonomi Indonesia hingga kuartal II 2020 mengalami minus 5,32 persen. Hal itu menunjukkan melemahnya aktivitas ekonomi masyarakat yang ditandai tidak optimalnya aktivitas sektor bisnis dan munculnya PHK massal. 

Pilkada bisa mendorong aktivitas ekonomi kembali karena dari sekitar Rp15,9 triliun dana pemerintah, 60 persen di antaranya digunakan untuk membayar Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan kata lain, dana yang dimaksud mampu menjadi anggaran belanja rumah tangga di 270 daerah penyelenggara. 

Ketiga, penundaan pilkada akan menghasilkan kepemimpinan daerah yang tidak definitif. Kepemimpinan daerah yang definitif mampu mendorong efektivitas pengambilan kebijakan. Sebaliknya, jika Pilkada tidak segera diselenggarakan tahun ini, 200 lebih daerah akan mengalami kekosongan jabatan.

Pengalaman Korea Selatan

Penyelenggaraan pemilu di Korea Selatan kerap menjadi acuan, namun beberapa hal penting tetap harus diperhatikan. (Sumber gambar: VoA Indonesia)

Pemerintah mengambil contoh Korea Selatan sebagai negara yang berhasil menerapkan Pemilihan Umum (Pemilu) pada masa pandemi. Pemilu Korea Selatan pada April 2020 lalu bahkan menjadi pemilu dengan jumlah pemilih terbanyak pada 28 tahun terakhir. 

Pemerintah terlihat memiliki alasan yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu pada akhir 2020, namun demikian alasan pemerintah berpaku pada urusan-urusan di luar aspek kesehatan masyarakat, yakni stabilitas politik dan keberlangsungan ekonomi. Padahal, jika ingin mengikuti jejak Korea Selatan, aspek kesehatan masyarakat dalam mengatasi pandemi harus lebih dulu diperhatikan.

Dalam praktiknya, Korea Selatan menerapkan upaya pengendalian wabah yang lebih luar biasa dari pemilu itu sendiri. Pada bulan Maret dan April, Korea Selatan mengalami lonjakan kasus yang signifikan dengan jumlah infeksi mencapai 10 rubu lebih dan kematian mencapai 200 lebih. Artinya, Korea Selatan menyelenggarakan pemilu dalam kondisi krisis kesehatan yang serius. 

Namun, dikarenakan strategi nasional yang solid dengan memastikan kapasitas tes yang tinggi, produksi APD yang memadai, jangkauan pelacakan yang luas, serta himbauan massif menjaga jarak, sehingga hampir tidak ditemukan kasus konfirmasi positif atau pembentukan klaster baru setelah pemilu. 

Sebagai ilustrasi pemilu di Korea Selatan, pemilih yang baru pulang dari luar negeri akan mendapatkan keterangan perihal protokol kesehatan pemilu melalui gawai. Melalui gawai juga, ia perlu melaporkan pergerakan fisiknya dalam tiga posisi, yakni keberangkatan, kedatangan di tempat pemilihan, dan ketika kembali pulang. 

Panduan ini tidak hanya membuat pemilih merasa aman, tetapi juga memungkinkan upaya pelacakan yang massif. Sementara, prosedur pemungutan suara juga dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat dan menyertakan banyak relawan kesehatan. 

Dengan menerapkan manajemen pandemi yang kuat dan massif, Korea Selatan berhasil menekan jumlah kasus positif pada angka sekitar 10.700 kasus hingga akhir April, meski telah menyelenggarakan pemilu pada 15 April 2020 di 17 kota dengan melibatkan 43 juta pemilih. 

Kondisi Indonesia

Pemerintah Indonesia perlu banyak berbenah untuk mengikuti langkah sukses Korea Selatan dalam menyelenggarakan pemilu, dikarenakan masih memiliki masalah serius terkait fasilitas kapasitas tes dan upaya lacak kasus. 

Meski mengalami kenaikan kapasitas tes signifikan mencapai 13 ribu orang per hari. Sayangnya, dengan jumlah 270 juta penduduk, kapasitas tes Indonesia seharusnya mencapai 40 ribu orang per hari. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga belum memfasilitasi upaya lacak kasus yang merata dan konsisten. 

WHO menetapkan batas rasio lacak kontak erat minimum 30 kontak erat per kasus positif. Peta rasio-lacak isolasi Kawal COVID-19 menyatakan hanya Provinsi Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Riau yang memenuhi kriteria tersebut. 

Di luar kesiapan kesehatan, aspek psikologi politik juga perlu diperhitungkan. Situasi pandemi menciptakan keyakinan umum bahwa berkegiatan di dalam rumah adalah pilihan yang paling aman untuk meminimalisir potensi penularan. Situasi pandemi diakui berdampak pada keengganan masyarakat melakukan mobilitas fisik. Sebaliknya, penyelenggaraan Pilkada mengharuskan mobilitas massa dan partisipasi yang tinggi di luar rumah.

Kedua situasi ini jelas kontras dan mampu menimbulkan konsekuensi politik. Angka golput bisa saja meningkat dan justru mendelegitimasi hasil pemilihan umum yang pada akhirnya berujung pada tidak efektifnya pemilu. 

Terakhir, Pemerintah Indonesia juga perlu menjamin kesehatan dan keselamatan siapapun yang terlibat dalam pemilu. Pemerintah punya preseden buruk kematian ratusan pegawai KPPS yang meninggal pada 2019 lalu. Hal ini terjadi lantaran tidak ada standar operasional teknis yang mengatur umur serta beban kerja petugas.

Hal ini bisa saja berulang pada Pilkada di masa pandemi. Pemerintah perlu memilah kasus suspek, probabel, hingga konfirmasi dengan tingkat kerentanan yang beragam untuk bisa terlibat dalam pemilu, baik sebagai peserta maupun petugas. Jika tidak ada standar operasional yang mengatur keberadaan mereka, bukan tidak mungkin klaster penularan akan tetap terjadi. 

Semangat pemerintah menyelenggarakan Pilkada untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tentu harus dihargai. Meski begitu, aspek kesehatan harus selalu didahulukan dalam persoalan-persoalan publik di tengah pandemi. 

Tanpa dibarengi semangat melindungi kesehatan publik, pilihan untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi adalah pilihan moral yang sulit bagi pemerintah.

 

Artikel ini sebelumnya dimuat di website cisdi.org. Dimuat ulang di sini untuk meluaskan jangkauan pembaca.

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah organisasi masyarakat sipil yang mendukung terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui pembangunan kesehatan dan pelibatan kaum muda dalam pembangunan kesehatan. CISDI melakukan kajian isu prioritas berdasarkan pengalaman mengelola program penguatan pelayanan kesehatan primer di daerah sub-urban dan DTPK, riset dan analisa kebijakan kesehatan, kampanye perubahan sosial, serta keterlibatan dalam diplomasi kesehatan di tingkat nasional dan global. Program penguatan pelayanan kesehatan primer yang CISDI ampu, Pencerah Nusantara, diadopsi oleh Kementerian Kesehatan sebagai program nasional Nusantara Sehat, pada tahun 2015 yang diharapkan mampu memperkuat pelayanan kesehatan primer di lebih dari 5.000 daerah DTPK. CISDI juga aktif mengadvokasi kebijakan dalam isu-isu prioritas lainnya seperti pengendalian tembakau, peningkatan status gizi masyarakat, dan pelibatan kaum muda dalam pembangunan kesehatan.

 

Penulis

Amru Sebayang

Ikuti tulisan menarik CISDI ID lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler