x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 26 September 2020 11:44 WIB

Baju Seragam yang Menyeragamkan Keragaman

Membicarakan seragam sebenarnya agak out of the box, maksud saya ketika banyak orang ngomongin pilkada Desember nanti, kok ini malah ngrumpi soal seragam. Pemantik wacana ini tidak lain rencana satpam berganti seragam. Bahwa masyarakat membicarakan seragam satpam, berarti memang ada apa-apanya. Apa itu? Itulah yang perlu dicari tahu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita kerap diajak untuk menghargai keragaman, bahwa manusia itu berbeda satu sama lain: dialek, warna mata, tinggi badan, cara berjalan, bahkan sidik jaripun tidak ada yang sama di antara miliaran manusia penghuni bumi ini dari dulu zaman Nabi Adam hingga esok. Sidik jari itu unik, eksklusif, sangat personal.

Di sisi lain, kita kerap berusaha keras menyeragamkan manusia, mulai dari yang terlihat sederhana seperti pakaian seragam, potongan rambut, makanan yang disantap, hingga yang demikian kompleks semisal pendapat dan pikiran. “Kita harus satu pendapat dan pikiran sebagai pertanda kita kompak,” jadi salah satu contoh ucapan yang kerap didengungkan.

Kita hidup di tengah kontradiksi-kontradiksi semacam itu. Sebagian kontradiksi itu merupakan konsekuensi yang muncul dari pilihan yang kita buat secara sadar. Sejak masuk sekolah dasar, kita diwajibkan memakai pakaian seragam yang sama, padahal kita lahir dalam keadaan berbeda dan beragam.

Ada banyak alasan yang dikemukakan untuk membenarkan penyeragaman baju sekolah itu. Umpamanya saja, seragam sekolah diberlakukan dengan alasan untuk meredam kemungkinan buruk bila semua siswa dibebaskan untuk memakai pakaian apa saja yang mereka suka. Siswa dari keluarga kaya mungkin akan memakai pakaian mahal dan bersepatu berharga diatas 1 juta rupiah, sedangkan siswa dari keluarga kurang mampu berpakaian ala kadarnya dengan sepatu yang sudah berlubang. Dikhawatirkan timbul perbedaan yang berpotensi memicu persoalan yang dapat mengganggu proses belajar di sekolah.

Polisi, tentara, satpam, hansip, pemadam kebakaran, hingga pekerja pabrik tertentu juga memakai seragam. Ini adalah cara untuk memudahkan identifikasi siapa yang menjadi anggota polisi, tentara, dan mana yang bukan anggota. Orang yang bukan anggota institusi ini tidak diperbolehkan mengenakan seragam institusi tersebut. Pilihan siapa yang berada dalam kelompok dan siapa yang berada di luar kelompok akan melahirkan konsekuensi tertentu.

Di balik baju seragam ada kewajiban, ada pula kebanggaan. Misalnya, yang berseragam tentara bangga membela negara, yang berseragam polisi bangga menegakkan aturan, yang berseragam pemadam kebakaran bangga memadamkan api. Seragam memang bisa melambungkan kebanggaan pemakainya, sebab di dalamnya ada identifikasi dengan cita-cita. Namun, cita-cita tidak selalu jadi kenyataan, bukan? Bukankah cita-cita kerap lebih indah dan lebih mulia, bukan?

Membicarakan seragam sebenarnya agak out of the box, maksud saya ketika banyak orang ngomongin pilkada Desember nanti, kok ini malah ngrumpi soal seragam. Pemantik wacana ini tidak lain rencana satpam berganti seragam. Bahwa masyarakat membicarakan seragam satpam, berarti memang ada apa-apanya. Apa itu? Itulah yang perlu dicari tahu.

Oh ya, seragam juga kerap dijadikan alat untuk mengidentifikasikan diri sebagai anggota kelompok tertentu, biasanya untuk memberi kesan eksklusif. Contoh: saat pembentukan kabinet oleh Presiden Jokowi, warga yang dipanggil ke Istana mengenakan kemeja putih dan bawahan gelap. Sembari melambai-lambaikan tangan ke arah jurnalis yang meliput, senyum merekah menghiasi wajah para menteri baru. Ada kebanggaan tertentu yang terpancar dari aura mereka: “Aku ada dalam lingkaran, kamu enggak, kan?”

Kemeja putih menjadi eksklusif dan penanda keanggotaan lingkaran dalam Presiden. Mereka yang bukan calon anggota kabinet tidak berkemeja putih. Padahal, sejak zaman baheula, kemeja putih sudah lazim dipakai anak sekolahan, dari SD sampai SMA. Tapi karena konteksnya pembentukan kabinet, kemeja putih jadi terasa istimewa dan eksklusif. Yang biasanya tak punya kemeja putih, tiba-tiba memborong kemeja putih dari butik.

Seragam juga berpotensi membangkitkan semangat kelompok, bahkan kadang-kadang cenderung berlebihan. Ketika aroma kelompok semakin menguat, seragam berpotensi menciptakan sekat-sekat antara kami dan mereka atau kita dan mereka. Seragam berpotensi membangkitkan semangat kelompok yang cenderung berlebihan. Seragam juga berpotensi mendorong loyalitas tanpa reserve dan solidaritas yang tidak boleh dipertanyakan.

Seragam juga mampu ‘mengubah’ perilaku manusia yang memakainya. Karena merasa menjadi bagian dari kelompok berseragam, seseorang merasa statusnya meningkat, kebanggaannya meningkat, semangat kelompoknya naik, dan keberaniannya bertambah. Semua ini mampu mendorong seseorang untuk bersikap dan melakukan tindakan berlebihan. Dengan seragam di tubuhnya, seseorang bisa mendapati bahwa dirinya berubah. Contoh sederhana saja, mahasiswa baru yang mengenakan jaket almamater tiba-tiba merasa wah...soalnya baru beberapa bulan lalu masih pakai seragam putih abu-abu. Bahkan, ada yang cara berjalannya pun berubah manakala memakai jaket almamater. Lebih gagah.

Pada akhirnya, seragam bukanlah sekedar pakaian dengan warna, desain, maupun atribut tertentu yang menempel, tapi juga semangat kelompok, ikatan nilai—dalam hal tertentu berpotensi baik, tapi bisa pula berekses sebaliknya. Banyak organisasi masyarakat yang merasa perlu, bahkan wajib, memiliki satuan berseragam. Ormas merasa membutuhkan anggota berseragam yang sepenuhnya taat kepada pimpinan dan dapat dikerahkan kapan saja bila diperlukan. Satuan berseragam milik ormas ini sering berada di garis depan yang, biasanya, mengurus keamanan dan ketertiban. Partai politik pun punya satuan berseragam yang tugasnya berbeda dari politikus partai; kalau politikus manusia bicara, sedangkan satuan berseragam tergolong manusia tindakan.

Seragam memang memudahkan identifikasi, namun kadang-kadang dalam hal ada tindakan yang buruk oleh pemakai seragam, prinsip pengecualian lebih kerap dikedepankan. Orang berseragam tertentu yang melakukan tindakan menyimpang lazim disebut sebagai oknum, ada oknum polisi, oknum tentara, oknum jaksa, oknum kepala desa, bahkan juga oknum mahasiswa.

Kata oknum adalah cara untuk memisahkan seseorang dari kelompok karena ia dianggap dapat mencemari seragam kelompok. Boleh dikata, ini adalah cara untuk memberi kesan kepada masyarakat bahwa tindakan orang tersebut tidak mencerminkan karakter institusi di mana orang itu menjadi anggotanya. Langkah ini dianggap sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan wajah institusi agar tidak tercoreng oleh perbuatan satu dua orang anggotanya. Bagaimana kalau oknumnya lebih dari sepuluh atau seratus, yang tinggal menyebutkan sepuluh oknum atau seratus oknum. Pokoknya martabat seragam harus dijaga. Seragam harga mati, gitu lho. >>

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler