x

Jokowi

Iklan

Ahmad Irso Kubangun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 29 September 2020 05:47 WIB

Pidato Bahasa Indonesia Jokowi di PBB dan Apakah Sumpah Pemuda Gagal?

Sebulan lagi, orang-orang akan ramai bicara soal sumpah pemuda. Mulai dari sejarah panjangnya, teksnya, maknanya dan wajibnya semua pemuda dan yang merasa masih muda untuk mengamalkan sumpah 28 Oktober 1928 itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebulan lagi, orang-orang akan ramai bicara soal Sumpah Pemuda. Mulai dari sejarah panjangnya, teksnya, maknanya dan wajibnya semua pemuda dan yang merasa masih muda untuk mengamalkan sumpah 28 Oktober 1928 itu.

Tapi sebelum itu, mari kita menggeser perhatian sedikit untuk membandingkan dengan pidato Presiden Joko Widodo di Sidang Umum PBB, tanggal 23 September lalu waktu Indonesia. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar apakah Sumpah Pemuda gagal membawa pemuda-pemudi Indonesia untuk bangga dan cinta sama negeri sendiri? Bangga pada Bahasa Indonesia.

Tokoh utama Sumpah Pemuda kala itu, M. Yamin, Soegondo Djojopoespito, Soenario Sastrowardoyo, Dolly Salim, dan WR Soepratman, bisa jadi tak pernah membayangkan orang-orang Indonesia akan se-oportunis ini, yang memaknai perdebatan pidato presidennya dengan penilaian bahasa yang digunakan, oleh karena posisi politik yang gak usai sejak 2014 lalu. Dan kemudian menilai penggunaan bahasa Indonesia oleh Jokowi di acara Internasional adalah sebuah hal yang memalukan. Sesuatu yang konyol.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penggunaan Bahasa Indonesia seperti di Sidang Umum PBB sebetulnya sudah ada acuannya di UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 28, dengan bunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.”

Bahkan di undang-undang tersebut, secara jelas dinyatakan Bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional. Sama banget dengan Sumpah Pemuda. Tapi, beberapak kalangan menyembunyikan kebenaran, dan lebih memilih mempermasalahkan yang seharusnya jadi kebanggaan bangsa.

Padahal, bukankah melihat kebaikan adalah sesuatu yang luar biasa? Ataukah kita akan tetap memaksakan diri untuk melihat hal buruk dikerumunan yang baik?

Ini gara-gara kita sejak kecil selalu diajarkan untuk menjadi yang terbaik, bersaing. Teman kelas adalah saingan. Kelas adalah arena kompetensi. Memuncaki ranking satu di setiap pembagian raport adalah kemenangan. Yang bodoh biar saja bodoh, tak perlu dibantu. Kesuksesan dan kemenangan adalah hasil usaha sendiri. Padahal, menang itu adalah ketika menguntungkan semua pihak tanpa meninggalkan satu kalangan, dengan cara kerja sama.

Semua kemajuan apa pun, dapat tercapai jika semua dapat bekerja sama, bekerja sama, dan bekerja sama.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Irso Kubangun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB