x

Cover foto Putri Cina

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 29 September 2020 05:47 WIB

Putri Cina

Novel yang membahas masalah Tionghoa di Indonesia yang membahas hubungan masa lalu dan masa kini. Kasus kerusuhan 1998 menjadi puncak dari novel ini. Bagaimanakah orang Tionghoa harus menempatkan diri?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Putri Cina

Penulis: Sindhunata

Tahun Terbit: 2007

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                                    

Tebal: 304

ISBN: 978-979-22-3079-6

Novel karya Sindhunata ini menggambarkan perjalanan orang Tionghoa dari jaman Majapahit sampai dengan peristiwa kerusuhan 1998. Ia menunjukkan peristiwa-peristiwa dimana orang Tionghoa menjadi korban dalam setiap peristiwa pertikaian dalam negara. Alih-alih hanya menggambarkan penderitaan orang Tionghoa yang selalu menjadi korban, Sindhunata mengajak kita untuk merenungi masalah Tionghoa di Indonesia secara lebih mendalam. Ia mengajak orang Tionghoa untuk merefleksikan sejarah dan perilaku yang selama ini dijalaninya di negeri Nusantara.

Sindhunata melacak persoalan hubungan Tionghoa dengan orang Jawa sangat jauh ke belakang. Lacakan sampai ke jaman Majapahit dan Demak ini dipakai untuk supaya pembaca memahami mengapa orang Tionghoa selalu menjadi sasaran amuk saat negeri ini mengalami prahara. Di sisi yang sama, peristiwa-peristiwa masa lalu tersebut juga dipakai untuk menuntun pembaca memahami kegalauan identitas orang Tionghoa di Indonesia. Krisis identitas.

Untuk menunjukkan bahwa orang Tionghoa sudah ada di Nusantara sejak jaman Majapahit, Sindhunata menggunakan kisah diantarnya Putri Cina sebagai calon istri dari Raja Majapahit. Dikisahkannya juga tentang anak Raja Majapahit yang lahir dari seorang janda di Tuban. Joko Prabangkoro. Anak raja yang pandai melukis ini digambarkan dibuang ke negeri Tiongkok dengan cara dimasukkan ke sebuah rumah bersayap. Joko Prabangkoro diminta oleh ayahnya untuk melukis segala yang ada di angkasa. Joko Prabangkoro mendarat dengan selamat di negeri Tiongkok. Karena kepandaiannya melukis, Joko Prabangkoro diambil menantu oleh Kaisar Tiongkok. Keturunan Joko Prabangkoro itulah yang kembali ke Tanah Jawa dan kemudian disebut sebagai orang Tionghoa. Jika demikian, sesungguhnyalah orang Tionghoa adalah keturunan dari orang Jawa, yaitu keturunan Joko Prabangkoro. Tetapi mengapa mereka senantiasa ditolak? Jadi siapa sesungguhnya orang Tionghoa ini, yang dalam novel ini digambarkan sebagai Putri Cina?

Menurut Sindhunata, kepemimpinan Jawa senantiasa diwarnai dengan pertikaian. Sindhunata menelusuri asal muasal pertikaian elite Jawa ini sampai ke kisah Mahabarata. Pertempuran hebat antarsaudara terjadi. Kurawa tumpas, tetapi sebenarnya bukan Pandawa yang menang. Upaya untuk membersihkan pertikaian yang dilakukan oleh Prabu Janamejaya – cucu Abimanyu, dengan cara menyelenggarakan upacara kurban pun tidak berhasil. Maka pertikaian tersebut terus berlanjut di jaman kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit dan bahkan sampai kini.

Sumber pertikaian itu ternyata tak berhenti pada manusianya. Bahkan jauh sebelum manusia diciptakan, para dewa sudah meneladani dengan pertikaian berebut kekuasaan. (Atau para dewa yang sesungguhnya meneladani perangai manusia?) Tiga anak Sang Hyang Tunggal berebut kekuasaan. Sang Hyang Antogo, Syang Hyah Ismoyo bertanding menelan Gunung Garbawasa. Sementara Sang Hyang Manikmoyo yang kelihatannya tidak terlibat konflik, ternyata justru dialah yang mempunyai ide untuk mengadu kedua saudaranya itu.

Tanah Jawa mempunyai warisan sifat bertikai antarsaudara. Karena pertikaian terjadi antarsaudara, maka supaya keduanya merasa benar, harus ada pihak luar yang tidak sepenuhnya luar yang dijadikan kurban. Dengan mengorbankan pihak luar yang sesungguhnya tidak sepenuhnya luar tersebut, maka mereka yang bertikai merasa berdiri pada posisi yang benar. Pihak luar yang tidak luar itu adalah Putri Cina. Orang Tionghoa.

Di sisi lain, ternyata orang Tionghoa di Jawa sudah meninggalkan ajaran leluhur. Ajaran untuk menghormati orangtua itu telah dilanggar oleh Raden Patah, putra Brawijaya dengan Putri Cina, ternyata memberontak dan bahkan menghancurkan Majapahit.

Di sisi lain, orang Tionghoa di Nusantara telah menjadi orang yang kemaruk kepada harta. Mereka lupa bahwa ajaran leluhur mengatakan bahwa: “jangan jatuh kepada tetek-bengek dunia, yang membuat lupa apa yang menjadi pokok hidup mereka” (K’ung Tzu). Orang Tionghoa di Nusantara juga telah lupa bahwa harta harus dinikmati bersama dengan tetangga. T’ao Ch’ien mengatakan:

Marilah kita menikmati kebahagiaan kita

Inilah sebuyung anggur, panggillah tetangga-tetangga.

Tak sering datang pada kita waktu baik untuk bersuka

Dalam sehari fajar hanya tiba sekali saja.

Musim-musim mendesak kita

sementara waktu tiada menanti seorang jua.

Apakah penderitaan orang Tionghoa di Nusantara ini adalah akibat dari orang Tionghoa tak lagi menghargai ajaran leluhurnya? Karma?

Sindhunata menggunakan 12 bab untuk mendiskusikan masalah Tionghoa dari akar pertikaian elite Jawa, identitas dan perilaku orang Tionghoa yang sudah meninggalkan ajaran leluhur.

 

Kisah tentang kerusuhan anti Cina baru dimulai di bab 13. Apakah pemilihan angka 13 sebagai mula cerita penderitaan 1998 juga secara sengaja dilakukan oleh Sindhunata? Bukankah angka 13 adalah angka sial penuh horor dalam tradisi Eropa?

Dikisahkanlah berdirinya negeri Indonesia melalui sebuah sanepa. Pada masa berdirinya Negara Medang Kamulan, Ajisaka yang mengusir Prabu Dewatacengkar sang penjajah. Sementara Prabu Murhardo mengakhiri kekuasaan Ajisoko dan mendirikan negeri Medang Kamulan Baru.

Di masa Medang Kamulan dan Medang Kamulan Baru inilah orang Tionghoa diperankan sebagai makhluk ekonomi. Orang-orang-orang Tionghoa (kaya) merasa aman karena merasa dalam lindungan pemerintah. Bagai kutu di tengkuk babi. Tengkuk babi adalah tempat teraman bagi kutu karena saat babi berendam, tengkuk tak akan kena air atau kotoran. Namun ia lupa bahwa tengkuk babi adalah tempat dimana para jagal memotong sang babi. Selanjutnya kepala babi digantung untuk diasapi. Maka matilah para kutu tersebut bersama mengeringnya kepala babi.

Di akhir masa jabatannya Prabu Murhardo berubah menjadi Prabu Amurco Sabdo. Sang Prabu yang dulu menjadi pujaan rakyat berubah menjadi tamak dan hanya peduli untuk memperkaya diri dan keluarganya. Ia menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Negerinya pun diplesetkan menjadi Pedang Kemulan – sebuah negeri yang penuh dengan kekerasan. Di masa itulah mulai terjadi persaingan antarpunggawa untuk mendekat kepada Sang Prabu Amurca Sabda. Persaingan penuh intrik itu melibatkan hasrat untuk menguasai Putri Cina.

Untuk menggambarkan kedekatan orang Tionghoa dengan penguasa, khususnya tentara, Sindhunata meminjam kisah Giok Tin, sang primadona kethoprak Sekar Kestubo. Giok Tin yang cantik jelita menjadi rebutan dua taruna. Giok Tin yang akhirnya menikah dengan seorang taruna, yang di kemudian hari menjadi senapati. Meski telah menjadi istri seorang senapati, Giok Tin tetap tak mampu melindungi keluarganya dari pertikaian para tentara. Dua saudara perempuannya menjadi korban intrik tentara. Bahkan Giok Tin pun menjadi korban perkosaan Sang Prabu Amurco Sabdo dan sekaligus Joyo Sumengah sang Kepala Prajurit.

Akhir hidup Giong Tin Sang Putri Cina sangat tragis. Ia mati karena melindungi Gurdo Paksi Sang Senapati yang menjadi suaminya dari panah yang dilontarkan oleh Joyo Sumengah. Padahal sesungguhnya Joyo Sumengah ingin membunuh Gurdo Paksi supaya bisa menjadikan Putri Cina sebagai istrinya.

Bukankah di setiap rezim di negeri ini selalu berupaya menggandeng orang Tionghoa sebagai “istri” atau pihak yang bisa melayani dan memberi kenikmatan kepadanya?

Melalui novel ini saya menangkap pesan bahwa orang Tionghoa harus menyadari bahwa intrik-intrik kekuasaan di negeri ini belum akan berakhir segera. Posisi sebagai pihak yang dikorbankan dalam pertikaian masih akan terus ada. Itulah sebabnya sebagai bagian dari negeri (keturunan Joko Prabangkoro), orang Tionghoa tidak boleh selalu merasa sebagai liyan. Orang Tionghoa harus kembali merenungi ajaran-ajaran leluhur Tiongkoknya bahwa hidup bukan untuk mengejar harta. Tetapi hidup adalah mengupayakan kesejahteraan bersama dengan para tetangga. Orang Tionghoa harus berperan aktif dalam mengupayakan kesejahteraan negeri Nusantara.

Jangan lagi merasa aman jika sudah berada dibalik kekuasaan. Sebab kisah kutu di tengkuk babi dan kisah Giok Tin yang menjadi istri Senapati tak bisa melindungi diri saat malapetaka tiba.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler