x

1 Pengetatan PSBB kembali melalui kebijakan \x27rem\x27 darurat memicu banyak respon dari masyarakat

Iklan

CISDI ID

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 September 2020

Rabu, 30 September 2020 11:58 WIB

Lagi-lagi Pengetatan PSBB, Memangnya akan Efektif?

Sebuah hasil riset dari kelompok independen Pandemic Talks beberapa minggu lalu menyatakan penularan Covid-19 di DKI Jakarta mencapai skala 1:196. Artinya, dari 196 orang yang beraktivitas di DKI Jakarta ditemukan setidaknya satu orang terinfeksi COVID-19. Lantas, apakah kebijakan pengetatan PSBB kembali akan efektif menghalau wabah kali ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Warga Hadapi Corona

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebuah hasil riset dari kelompok independen Pandemic Talks beberapa minggu lalu menyatakan penularan Covid-19 di DKI Jakarta mencapai skala 1:196. Artinya, dari 196 orang yang beraktivitas di DKI Jakarta ditemukan setidaknya satu orang terinfeksi virus tersebut.

Sejalan dengan pernyataan itu, diketahui semakin tinggi jumlah kasus infeksi, semakin kecil skala penularan Covid-19 di suatu daerah. Dengan jumlah mencapai 65.687 kasus per 23 September atau tertinggi se-Indonesia, skala penyebaran kasus di DKI Jakarta pun diperkirakan terus menyempit.

Kekhawatiran ini memicu Pemprov DKI Jakarta mengetatkan PSBB kembali dengan peristilahan rem darurat pada 9 September lalu. Kendati langkah ini dipresiasi, banyak pihak melontarkan kritik. Salah satunya terkait dengan situasi ekonomi ibu kota yang dipastikan bakal kembali memburuk.

Di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan efektivitas pengetatan PSBB kembali lantaran tidak banyak keberhasilan yang dicapai semenjak awal kebijakan ini diterapkan. Lantas, apakah pengetatan PSBB kembali akan efektif melawan penyebaran wabah kali ini?

Berdasar Data

Ronald Bessie, Koordinator Tim Data KawalCOVID-19, menyatakan bahwa situasi penanganan wabah di indonesia belumlah membaik. “Berdasarkan kurva pertumbuhan, kita (negara Indonesia) masih di bawah,” ujarnya dalam Obrolan Kawal Edisi 5 yang disiarkan di akun Youtube CISDI TV pada Sabtu (24/9).

Bessie menekankan pentingya rasio lacak-isolasi (RLI) yang baik. RLI adalah penghitungan sederhana berupa rasio antara suspek yang belum dites dengan probabel yang telah masuk rumah sakit dan juga yang belum dites, tetapi keduanya telah terisolasi. Dari sana bisa dilihat perbandingan berapa banyak satu kasus positif yang kemudian menjadi suspek dan menjadi probabel pada saat isolasi.

Menurut Bessie, RLI sangat terkait dengan positivity rate. Pada bulan Maret, WHO menyarankan rasio lacak mencapai 10-30 orang per kasus positif. Idealnya, dengan kejelasan status tes positif,  isolasi bisa dilakukan sesegera mungkin. Sayangnya di Indonesia, tambah Bessie, hal itu sulit dilakukan. “Siapapun yang terlacak belum tentu diisolasi.” Bessie menuturkan tingginya RLI juga kemungkinan besar berpengaruh terhadap tingginya angka kematian dan penyebaran kasus.

Strategi PSBB

Menurut Bessie, pengetatan PSBB perlu dilihat sebagai jeda untuk meningkatkan RLI secara terus menerus, khususnya di DKI Jakarta. Dalam rantai strategi penanganan wabah, PSBB termasuk dalam strategi isolate atau membatas jarak. Ketika jarak dibatasi, penelusuran kasus melalui tes dan lacak menjadi lebih mudah.

Di kota besar dengan tingkat literasi dan pendidikan tinggi, upaya ini mungkin akan berhasil. Namun, pemapar lain Diah Saminarsih, Penasihat Senior untuk Urusan Gender dan Pemuda untuk Dirjen WHO, menuturkan strategi PSBB di setiap daerah tentulah berbeda.

“Situasi ini (wabah) seperti ombak yang bergulung-gulung. Sekuensi yang terjadi bisa berbeda-beda.” Apalagi, tambahnya, jika situasi wabah juga terjadi di berbagai provinsi, ratusan kabupaten, dan ribuan desa dengan berbagai persoalan domestik masing-masing.

Menurut Diah, PSBB hanyalah nomenklatur kebijakan, ide intinya tetaplah upaya menjaga jarak. Strategi menjaga jarak juga bisa diterapkan dengan banyak cara, semisal menerapkan karantina di wilayah setingkat Kelurahan, RW, ataupun RT. Fasilitas umum dengan tinkat sebaran kasus tinggi, seperti rumah sakit juga bisa menerapkan karantina di wilayah sekitar.

Meski demikian, Diah mengakui konteks DKI Jakarta menjadikan PSBB lebih rumit. DKI terdiri atas komunitas kelas menengah hingga pekerja sektor informal dengan kepentingan masing-masing. Namun menurutnya, peristilahan ‘gas’ dan ‘rem’ penting sebagai sebuah kebijakan, jika mengacu pada data peningkatan kasus COVID-19. “Kalau kasus meningkat, pembatasan ekstrem diperlukan.”

Diah menjelaskan pandemi adalah konteks peristiwa ketika wabah tengah menyebar. Seluruh masyarakat dunia pasti akan mengalami pembatasan jarak, baik melalui PSBB atau kebijakan lain. Namun yang pasti, Diah mengingatkan pembatasan jarak perlu menjadi momentum bagi pemerintah membenahi upaya penanganan wabah. “Pemerintah harus ambisius menetapkan matriks penanganan melalui upaya test, trace, dan isolate selama penerapan PSBB,” tutupnya.

Dilansir BBC (22/8), Sekretaris Jendral WHO Tedros Adhanom menyatakan dengan kemajuan teknologi pandemi bisa selesai dalam waktu kurang dari dua tahun. Namun demikian, ia menekankan tidak ada satu negara pun yang bisa terbebas dari COVID-19 selama vaksin belum ditemukan.

“Vaksin adalah penemuan penting untuk menghadapi pandemi, meski kita tidak pernah bisa menjamin kehadirannya bisa mengakhiri pandemi.” Oleh karenanya, ia menyarankan setiap orang mengambil peran aktif dalam menghadapi pandemi, baik itu pemerintah maupun masyarakat.

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah organisasi masyarakat sipil yang mendukung terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui pembangunan kesehatan dan pelibatan kaum muda dalam pembangunan kesehatan. CISDI melakukan kajian isu prioritas berdasarkan pengalaman mengelola program penguatan pelayanan kesehatan primer di daerah sub-urban dan DTPK, riset dan analisa kebijakan kesehatan, kampanye perubahan sosial, serta keterlibatan dalam diplomasi kesehatan di tingkat nasional dan global. Program penguatan pelayanan kesehatan primer yang CISDI ampu, Pencerah Nusantara, diadopsi oleh Kementerian Kesehatan sebagai program nasional Nusantara Sehat, pada tahun 2015 yang diharapkan mampu memperkuat pelayanan kesehatan primer di lebih dari 5.000 daerah DTPK. CISDI juga aktif mengadvokasi kebijakan dalam isu-isu prioritas lainnya seperti pengendalian tembakau, peningkatan status gizi masyarakat, dan pelibatan kaum muda dalam pembangunan kesehatan.

 

Penulis

Amru Sebayang

Ikuti tulisan menarik CISDI ID lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler