x

Iklan

Tania Adin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Juli 2020

Kamis, 1 Oktober 2020 06:49 WIB

Kebijakan Pemerintah Lemahkan Daya Tarik Investor?

Sejak Januari 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan percepatan larangan ekspor nikel yang semula dijadwalkan pada 2022. Selain itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan bahwa nikel yang selama ini diekspor akan diserap smelter dalam negeri dengan harga maksimal US$30 per metrik ton. Lembaga pemeringkat internasional yakni Fitch Solution, menilai bahwa kebijakan pemerintah terhadap dunia pertambangan menyebabkan iklim investasi di sektor tersebut kurang kompetitif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak Januari 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan percepatan larangan ekspor nikel yang semula dijadwalkan pada 2022. Selain itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan bahwa nikel yang selama ini diekspor akan diserap smelter dalam negeri dengan harga maksimal US$30 per metrik ton. 

Lembaga pemeringkat internasional yakni Fitch Solution, menilai bahwa kebijakan pemerintah terhadap dunia pertambangan menyebabkan iklim investasi di sektor tersebut kurang kompetitif. Hal ini juga diamini oleh para pengusaha di bidang pertambangan. 

Dikutip dari CNBC Indonesia, dalam riset yang dirilis oleh Fitch terdapat dua alasan mengapa iklim investasi di sektor pertambangan dinilai kurang baik. Pertama, kepastian hukum, dan sikap serta pemikiran terbuka kepada perubahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasali, menambahkan bahwa terdapat lima hal yang menyebabkan sektor pertambangan Indonesia kurang menarik perhatian investor. 

“Tidak konsistennya peraturan dan cepatnya perubahan hukum. Lalu, ketidakpastian perkara lahan karena pemerintah tidak bisa menjamin untuk izin yang dikeluarkan bisa mendapatkan akses ke lahan area izin,” ujar Rizal Kasali, dikutip dari CNBC Indonesia (4/10/2019). 

Selain itu, pendeknya usia tambang yang diizinkan untuk dieksplorasi, mengakibatkan pengolahan tambang tidak optimal. Keempat, adanya ketentuan divestasi sehingga PMA (penanam modal asing) kehilangan kendali atas operasional perusahaan tambang tersebut. 

Dikutip dari CNN Indonesia, ketentuan wajib ini menjadi resmi semenjak Presiden Jokowi mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid tersebut diresmikan oleh Jokowi pada 10 Juni 2020 lalu. 

Secara detail, di dalam kebijakan baru tersebut perusahaan tambang di Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh asing, diwajibkan mengurangi kepemilikan saham (divestasi) sebanyak 51%. Saham yang telah didivestasi tersebut kemudian dialihkan ke pemerintah pusat, daerah, BUMN, BUMD, bahkan Badan Usaha Milik Swasta. 

Tidak pandang bulu, perusahaan tambang harus melakukan divestasi kepemilikan sahamnya ke dalam negeri. Mereka adalah perusahaan yang telah memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). 

"Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51 persen secara berjenjang," ungkap Jokowi melalui Pasal 112 UU Minerba, dikutip dari CNN Indonesia. 

Kemudian alasan terakhir sektor pertambangan Indonesia kurang menarik perhatian investor adalah daerah dan masyarakat. Menurut Rizal Kasali, tumpang tindih peraturan dan pungutan oleh daerah menghambat investor hadir di Indonesia. “Pengusaha tentu inginnya ada kepastian pungutan,” imbuhnya. 

Dikutip dari Bisnis.com, adanya hambatan dan kendala dari investor ini mengakibatkan perlambatan investasi. Perlambatan investasi ini dikonfirmasi melalui laporan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) kuartal I Tahun 2020 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).

Dari hasil survei tersebut, BI mendapatkan kenyataan bahwa realisasi investasi menurun dengan Saldo Bersih (SBT) sebesar 2,61% lebih rendah dibandingkan kuartal IV Tahun 2019 dan kuartal I Tahun 2019 yang di mana SBT dari investasi masing-masing mencapai 9,89% dan 9,62%. 

Menurut BI, secara sektoral penurunan realisasi investasi paling besar terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian serta manufaktur dengan SBT realisasi investasi sebesar -2,4% dan -0,42%

Dengan kata lain, jika pemerintah tidak segera mengurangi, menghilangkan, atau menyederhanakan hambatan bagi para investor yang dimaksud di sini, bukan tidak mungkin sektor investasi akan terus merosot seiring berjalannya waktu.

Hal tersebut bisa saja terjadi karena rentetan ketidakpastian aturan dan ketentuan terkait daya tarik investasi di bidang pertambangan.

Ikuti tulisan menarik Tania Adin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB