x

Iklan

Setiaone Setiaone

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Januari 2020

Rabu, 7 Oktober 2020 10:01 WIB

Dialektika Hukum dengan Kekuasaan dan Dominasi Kekuasaan Terhadap Hukum

Efek dari hubungan yang dominatif dari kekuasaan terhadap hukum ialah kesewenang-wenangan dan menghilangkan tujuan dari hukum yaitu keadilan, kepastian serta kemanfaatan. Oleh karenanya Hubungan hukum dengan kekuasaan harus selaras tanpa dominasi kekuasaan terhadap hukum pun demikian sebaliknya. Di tengah penegakan hukum yang lemah, hukum bisa tiba-tiba tegak karena subyek hukum tidak memiliki akses kepada kekuasaan. Ketika penguasa memiliki kepentingan, masuklah unsur politis dalam penegakan hukum. Masyarakat pun tidak mudah percaya dengan pernyataan normatif bahwa proses hukum dilakukan secara independe dan adil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen, kostitusi suatu negara bukanlah undang undang dasar tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Pendapat Lasalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan ( L.J. van Apeldorn,1986; 70).

Dari pendapat tersebut terpampang jelas bahwa suatu hukum (positif) bukan hanya sekedar yang termuat dalam suatu UU melainkan juga termuat dalam wewenang kekuasaan. Pendapat tersebut juga menggambarkan tentang struktur kekuasaan dalam hukum itu sendiri (UU).

Ada 3 (tiga) bentuk kekuasaan dalam konteks hukum yaitu:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Bentuk pertama kekuasaan dalam hukum adalah kedaulatan, yaitu merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang memegang peranan penting dalam mengatur perikelakuan dalam wilayahnya (yuridiksi). Dan tidak ada pihak baik dari dalam maupun luar yang dapat dimintai ijin untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu kecuali terhadap kedaulatan.

Kedaulatan adalah ciri atau atribut hukum suatu negara yang memiliki hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tidak terbatas, tak tergantung dan tanpa terkecuali. Dalam konsep kenegaraan ada empat bentuk kedaulatan yaitu; kedaulatan kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat.

2. Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang atau otoritas yaitu seperangkat hak yang melekat pada seorang atau sekelompok orang yang memiliki jabatan tertentu. Hak itu digunakan untuk melakukan sesuatu dan atau memerintahkan untuk melakukan sesuatu berdasarkan otoritas, kompetensi dan yuridiksi.

Kekuasaan dalam hal ini adalah kekuasaan yang dilembagakan. Misalnya lembaga kepolisian berwenang untuk melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan dan lembaga lainnya yang serupa.

3. Bentuk ketiga kekuasaan dalam konteks hukum adalah hak yang oleh Salmond dikatakan sebagai suatu kepentingan yang harus diakui dan dilindungi. Allend juga mengatakan bahwa hak adalah kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya dapat melaksanakan kepentingannya.

Selain itu ada tiga lembaga kekuasaan dalam konteks hukum (UU) yang di kenal dengan Trias politica yaitu:

1. Lembaga Legislatif yaitu lembaga yang berwenang atau berkuasa untuk membuat suatu hukum atau UU berdasarkan aspirasi, dan kejadian dalam masyarakat yang perlu rumuskan dan UU yang dibuatnya juga mengatur atau membatasi perikelakuan, wewenang atau otoritasnya legislatif.

2. Eksekutif adalah lembaga kekuasaan dalam konteks hukum yang memiliki keabsahan atau wewenang untuk menjalankan UU yang di buat oleh legislatif dan juga berwenang untuk membentuk UU berdasarkan persetujuan bersama legislatif.

3. Yudikatif yaitu lembaga yang berwenang untuk menegakkan hukum dan mengadili dalam wilayah peradilan terhadap suatu perbuatan yang melanggar ketentuan UU yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif tadi.

Terhadap 3 (tiga) bentuk kekuasaan tersebut memiliki ruang-lingkup tertentu yang di batasi oleh ketentuan hukum guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan yang akan terdampak terhadap masyarakat selaku objeknya. Hubungan tersebut harus tetap terjaga, yaitu hubungan hukum dengan kekuasaan dan fungsi kontrol hukum terhadap kekuasaan. Juga kekuasaan terhadap hukum serta kontrol kekuasaan terhadap dirinya, semisal check and balance kekuasaan legislatif terhadap lembaga kekuasaan eksekutif maupun yudikatif.

Oleh karena itu menjadi benarlah apa yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, "hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".
Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa pertentangan atau hubungan timbal balik antara hukum dan kekuasaan harus diakui sebagai suatu kesatuan yang utuh yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan, layaknya dua sisi satu mata koin tanpa dominasi antara keduanya.

Semisal akibat dari adanya dominasi dari salah satu dari keduanya, yaitu penerapan hukum yang tajam kebawah dan tumpul ke atas (kekuasaan) seperti kasus di Riau, khususnya Bengkalis, seseorang anggota suku Sakai divonis bersalah karena menebang pohon akasia di kebun yang diklaim milik perusahaan, padahal perusahaan tersebut baru berdiri dibandingkan dengan masyarakat suku Sakai yang telah lama menempati wilayah tersebut.

Namun anggota masyarakat tersebut, yang bernama Bongku, masih dianggap bersalah karena dianggap melanggar pasal 82 (ayat) 1-b UU pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang menyebutkan seseorang yang sengaja menebang pohon di hutan tanpa izin pihak berwenang akan dihukum 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar.

Padahal menurut LBH Pekanbaru bahwa Bongku bukan subjek dari UU tersebut dan juga penjelasan pasal 7 UU tersebut menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih memungut hasil hutan di sekitar tempat mereka tinggal. Oleh karenanya seorang yang bernama bongku tadi merupakan bagian dari masyarakat hukum adat yang menebang pohon akasia sebagai komoditas utama untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Masyarakat suku Sakai mengandalkan hasil hutan disekitar Bengkalis sejak puluhan tahun silam. Mereka mengajukan kawasan hutan di sekitar desa koto pait beringin dan desa lainnya sebagai tanah Ulayat tahun 2001 namun belum dikabulkan.

Selain itu, pada 19 November 2009, nenek Minah, 55 tahin, dihukum PN Purwokerto selama 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Dia dinyatakan bersalah karena memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Ajibarang, Banyumas.

Namun berbeda ketika penguasa yang melakukan tindakan sejenisnya, dalam hal ini korupsi. Tindakan tersebut kadang kala tidak di tindak-lanjuti secara serius bahkan dalam putusan hukumannya cenderung bias atau ringan jika dibandingkan dengan kasus nenek Minah yang hanya memetik 3 buah kakao dari pada koruptor yang megkorupsi ratusan miliaran bahkan triliunan mengambil hak-hak umum. Kisruh yang berakhir dramatis tersebut bukan karena kosongnya hukum yang mengatur, melainkan proses hukum berkelindan dengan kekuasaan.

Di Indonesia, penegak hukum sering berperilaku sebagai penguasa daripada hamba hukum. Dengan kasatmata pelanggaran hukum dibiarkan di jalan raya, ironisnya ada yang karena membayar pungutan liar. Sopir angkutan umum yang membayar sejumlah uang kepada kolektor dengan berani melakukan pelanggaran lalu lintas di sepanjang rute yang dilalui dan menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan.

Di tengah penegakan hukum yang lemah, hukum bisa tiba-tiba tegak karena subyek hukum tidak memiliki akses kepada kekuasaan. Ketika penguasa memiliki kepentingan, masuklah unsur politis dalam penegakan hukum. Masyarakat pun tidak mudah percaya dengan pernyataan normatif bahwa proses hukum dilakukan secara independe dan adil. padahal itu adalah pencitraan dari kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Dari kasus tersebut terlihat jelas adanya dominasi kekuasaan selaku penegak hukum terhadap hukum itu sendiri, baik itu kekuasaan lembaga peradilan maupun oleh kekuasaan dalam sistem sosial. Oleh karenanya hukum menjadi gagal dalam realitas. Kegagalan itu disebabkan oleh penerapan dan penegakannya dengan menggunakan pendekatan politis bukan pendekatan hukum. Padahal pendekatan hukum sebenarnya jauh lebih mudah dan efektif ketimbang pendekatan politik yang niatannya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Sehingga tujuannya pun bukan menerangkan yang benar dan salah melainkan siapa yang menang dan yang kalah berdasarkan kemampuan materi dan kedudukan semata. Oleh karenanya, hukum menjadi nihil bahkan bias ketika muatan politis yang menyusupi rumusan, dan penegakan pada tataran penyidik, penyelidikan dan peradilan. Oleh karena demikian menjadi benarlah ungkapan "kekuasaan mempunyai jantung dan wajahnya sendiri. Dia hanya moral berlapis-lapis menurut kebutuhan." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, 716)

Selain itu, bentuk dialektika hukum dan kekuasaan banyak terjadi di Indonesia antara lain; perumusan kebijakan hukum oleh kekuasaan (legislatif) banyak menuai pro dan kontra, yaitu terkait RUU Omnibus law, RUU HIP dan tidak disahkannya RUU PKS. Pertama, RUU Omnibus law mencoba merangkum semua UU dalam satu kesatuan yang oleh masyarakat dan akademisi RUU ini di anggap berbahaya karena tidak pro terhadap kepentingan masyarakat bahkan cenderung menjarah SDA negara dengan memudahkan perizinan investor.

Oleh karenanya banyak kalangan yang melakukan penolakan terhadap RUU tersebut melalui demonstrasi, salah satunya demonstrasi yang dilakukan di Yogyakarta, simpang tiga Gejayan, 16/07. Salah satu demonstran selaku Humas dalam aksi tersebut; Refo mengatakan, penolakan terhadap RUU Cipta Kerja digelar karena rancangan aturan itu akan merampas hak-hak dasar warga negara dari sisi ketenagakerjaan, lingkungan, keamanan dan pendidikan. Salah satunya karena akan memperpanjang jam kerja dan lembur, lalu menyebabkan penetapan upah minimum menjadi rendah.

Selain itu, aturan itu berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak pekerja untuk berserikat dan RUU Cipta Kerja juga akan menghilangkan hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil dan keguguran. "Omnibus Law ini ada pasal-pasal yang menyulitkan para pekerja, mudah direkrut, mudahkan PHK. Bukanya menyerap tenaga kerja, tetapi justru memperpanjang barisan pengangguran, bahkan PHK sudah terjadi."

RUU Cipta Kerja juga dianggap akan berdampak bagi pendidikan jika disahkan Sebab hanya akan melanggengkan penciptaan institusi pendidikan tinggi sebagai institusi neoliberal. Pengaturan jenjang pendidikan dan perguruan tinggi sangat berorientasi pada pasar, sehingga mengabaikan pendidikan kritis dan akses pendidikan yang murah ke rakyat. Selain itu, aliansi Rakyat Bergerak, melihat RUU ini hanya akan mengakibatkan kerusakan alam dan hilangnya penghidupan masyarakat adat, pesisir kepulauan, serta semakin masifnya kriminalisasi petani.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi ( Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi. Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut. "Ketika kita melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," kata Charles di kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta, Kamis, 5/3.

Kedua, setelah RUU Omnibus Law menuai kontroversi RUU HIP ( Haluan ideologi Pancasila ) muncul sebagai polemik baru. Banyak pihak menyoroti adanya konsep Trisila dan Ekasila dalam salah satu pasal pada RUU HIP. Kedua konsep tersebut termaktub dalam Bab II Pasal 7 yang berbunyi:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri pokok Ppancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Di antara pihak yang menyoroti dua konsep tersebut adalah Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas.

Menurut Anwar, "memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Sebab, Pancasila sebagai norma fundamental harus dilihat dalam satu kesatuan utuh dan tak bisa dipisahkan. Urutannya pun tak boleh diubah."

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mempertanyakan tak adanya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 dalam RUU HIP itu. TAP MPR yang dimaksud terkait pelarangan terhadap paham komunisme atau Marxisme. Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Habib Aboe bakar Alhabsy pun menilai aneh jika Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tidak merujuk pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme.

Pasalnya, lanjut Aboe, TAP MPR tersebut lahir sebagai upaya mengingatkan pentingnya ideologi pancasila yang pernah hendak diganti oleh komunisme. Bangsa Indonesia kemudian memperingatinya dengan hari kesaktian pancasila. Itu semua adalah sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan keberadaan Pancasila.

TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme adalah sumber penting Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Karena lahirnya RUU HIP adalah adanya pemikiran perlunya penegasan pancasila sebagai soko guru ideologi bangsa. Dengan Undang-Undang tersebut, nantinya diharapkan dapat menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat,ujar Aboe dalam siaran persnya, Senin, 18/5.

Politisi Fraksi PKS ini menambahkan, tak berlebihan jika kemudian tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan, apa sebenarnya motif penyingkiran TAP MPR tentang Komunisme tersebut dari RUU HIP. Masyarakat kemudian akan melihat, seolah-olah ada upaya pengaburan sejarah bahwa komunisme merupakan musuh dari ideologi pancasila. Tentu kita semua tidak boleh menutup nutupi sejarah tersebut. Jas Merah kata Bung Karno, Jangan Sekali Kali melupakan sejarah. Hal ini tentunya harus benar-benar diperhatikan, apalagi para senior kita sudah mengingatkannya dalam bentum TAP MPR, sebuah produk konstitusi yang sangat penting.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa dalam perumusan kedua RUU di atas terdapat hubungan dominatif dari kekuasaan terhadap hukum yang kemudian menimbulkan reaksi efek dari setiap lapisan sosial masyarakat bahwa rumusan hukum tersebut tidak memberikan manfaat atu keadilan terhadap masyarakat itu. Bahkan RUU tersebut menjadikan masyarakat sebagai objek kolonialisme dalam format baru. Ironisnya hukum tersebut bukan hanya gagal dalam realitas (dass sein) melainkan juga gagal sebagai harapan (das sollen).

Oleh karenanya antara hukum dan kekuasaan harus selaras dalam hubungannya tanpa dominasi salah satu dari keduanya. sehingga dari hubungan tersebut dapat menghasilkan apa yang menjadi tujuan utama hukum yaitu kepastian, daya guna dan yang menghimpunnya adalah keadilan sosial.

Ikuti tulisan menarik Setiaone Setiaone lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu