Melawan UU Cipta Kerja, Kenapa Mahasiswa Masih Perlu Turun ke Jalan?
Rabu, 7 Oktober 2020 18:49 WIBMahasiswa lagi-lagi masih perlu turun ke jalan untuk melawan Undang-undang yang berpotensi mengurangi kesejahteraan pekerja dan merusak lingkungan. Sebagai mahasiswa dengan privilege, saya rasa saya punya tanggung jawab untuk memperjuangan orang-orang yang tidak lebih memiliki privilege dari saya. Maka saya memilih untuk berjuang melawan UU ini karena dengan tindakan ini saya menunjukan bagaimana sikap saya terhadap penindasan.
Saya seharusnya masih dianggap mahasiswa, walaupun sudah melebihi batas standar yang ditentukan. Tapi itu masalah prioritas, jangan anggap saya mahasiswa pemalas hanya karena saya lebih satu semester dari masa ideal kelulusan. Di tengah situasi pandemi, lulus bukan hal yang mudah apa lagi saat ini dihadapkan dengan realita bahwa telah lahir undang-undang yang tidak mensejahteraan pekerja. Sebagai mahasiswa kesejahteraan sosial, saya cuma bisa tertawa karena kesejahteraan yang saya pelajari di bangku kuliah bisa jadi hanya kondisi utopis yang sulit dirasakan oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang isi dari undang-undang tersebut, banyak orang yang lebih kompeten dan berkualitas dari saya yang hanya mahasiswa. Tapi saya menuliskan ini sebagai mahasiswa dengan kepentingan memperjuangan kesejahteraan kelompok rentan. Saya memaknai label mahasiswa yang tersemat di diri saya tidak hanya sebagai privilege namun juga tanggung jawab besar.
Saya dengan privilege sebagai seorang mahasiswa punya tanggung jawab untuk mewakili suara orang-orang yang bisa jadi tidak sadar bahwa mereka ditindas. Saya sebagai orang terdidik tidak bisa hanya memanfaatkan pendidikan tersebut untuk diri saya sendiri tanpa mempedulikan kondisi orang banyak.
Saya sadar bahwa tidak banyak orang yang seberuntung saya, bisa menimba ilmu di pendidikan tinggi. Bisa jadi banyak orang-orang yang punya mimpi lebih besar dari saya tersandung langkahnya karena tidak lebih memiliki privilege. Orang-orang bermimpi besar ini akhirnya terpaksa menjadi pekerja untuk membantu asap dapur untuk terus terkepul. Bagi mereka pendidikan tidak menjadi prioritas karena makanan yang membuat mereka bertahan hidup.
Setelah menjadi pekerja, mereka ditampar realita bahwa negara tidak seramah itu untuk hadir dan mempedulikan nasib mereka. Jadi siapa yang bisa membantu mereka selain saya yang hanya seorang mahasiswa?
Belum lagi ada potensi bahwa undang-undang ini akan merusak lingkungan. Saya pribadi sih heran, sepertinya anggota dewan lupa mereka tinggal dimana. Mungkin mereka sudah punya rencana cadangan jika bumi sudah rusak, mereka mau pergi bersama-sama ke Mars. Kan mereka punya uang untuk bayar ongkos ke Mars.
Lingkungan lagi-lagi jadi korban keserakahan manusia, mentang-mentang lingkungan nggak punya mulut buat berbicara. Tapi tentu saja sebagai mahasiswa yang sadar tentang hal tersebut, lagi-lagi saya punya alasan untuk terus berjuang melawan undang-undang ini.
Saya tidak akan memamerkan bagaimana perjuangan mahasiswa bisa mengubah sejarah, karena itu yang para mahasiswa lakukan pada masanya. Berlebihan jika saya terlalu mengungkit-ungkit sejarah tanpa bisa melakukan perjuangan yang sama. Mahasiswa saat ini perlu bergerak dan bertindak untuk menyadarkan anggota dewan bahwa mereka saat ini tidak bekerja mewakili suara rakyat. Anggota dewan sudah terlalu jauh mengambil keputusan atas nama rakyat, entah rakyat mana yang merasa terwakili oleh mereka.
Lalu sebagai mahasiswa apa yang bisa saya lakukan? Saya tunjukkan kepedulian saya dengan meluangkan waktu untuk memantau perkembangan undang-undang ini, saya tidak hanya ingin dianggap sebagai mahasiswa sok tau yang berjuang tanpa tau konteks permasalahan. Selanjutnya saya membuat tulisan ini untuk menyadarkan para pembaca bahwa sekecil apapun sikap yang ditunjukan oleh mahasiswa, tidak perlu ada perjuangannya yang dikerdilkan. Sekalipun hanya berjuang dibalik layar smartphone hingga turun ke jalan.
Jika bertemu demonstran di jalan, bersabarlah dan jangan merutuki perjuangan kami, kita tidak pernah tau bisa jadi orang di sekitar kita terbantu oleh perjuangan ini. Lalu terakhir, saya memutuskan untuk turut hadir dalam demonstrasi di kabupaten tempat saya berkuliah. Bisa jadi kabupaten ini tidak cukup besar seperti kota metropolitan lain yang mendapat sorotan, tapi ini bukan masalah mendapatkan sorotan tapi bagaimana kami berusaha menujukan sikap atas kondisi yang terjadi.
Saya teringat oleh orasi Arie Kriting di aksi kamisan, ya aksi yang dianggap orang tidak berguna karena belum mendapatkan respon pemerintah setelah 13 tahun dilakukan. Dalam orasinya Arie Kriting bercerita tentang kisah seekor semut yang membantu membawa setetes air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Saat itu tindakan yang dilakukan oleh si semut ditertawai oleh seekor burung karena dianggap tidak berguna dan tidak akan mampu memadamkan besarnya api. Namun si semut menjawab bahwa yang dia tidak mempermasalahkan apakah kobaran api tersebut bisa padam dengan setetes air yang dibawanya, apa yang dilakukan adalah bukti bahwa ia menunjukan sikap. Sekecil apapun kontribusi yang kita lakukan untuk melawan ketidakadilan, setidaknya kita sudah menunjukan sikap bahwa kita menentang terjadinya ketidakadilan tersebut.
Akhir kata dari saya, berhentilah mengecilkan perjuangan orang lain sekecil apapun usahanya. Apa yang mereka lakukan adalah bukti bahwa diri mereka sebagai seorang individu menunjukan sikap menentang adanya aturan atau kebijakan yang menindas kelompok lemah. Apa pun yang bisa kamu perjuangkan, lakukanlah. Untuk mahasiswa mari kita tunjukan bahwa ini masa kita untuk membuat perubahan, Hidup Mahasiswa!
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Untuk Apa Menangis?
Senin, 12 September 2022 21:03 WIBBerhenti Menyalahkan Orang Miskin atas Kemiskinannya
Jumat, 30 Oktober 2020 06:53 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler