Putu Suasta
Sekalipun aksi-aksi protes terhadap UU Cipta Kerja telah demikian bergemuruh, bahkan telah menimbulkan banyak kerusakan (fasilitas) dan mengganggu aktivitas masyarakat luas, perdebatan di ruang-ruang publik ternyata lebih banyak mengandalkan penjelasan-penjelasan yang terlalu menyerdahanakan persoalan (simplikasi). Pemerintah telah gagal mencegah kesalahpahaman karena turut melakukan simplikasi dan menghasilkan disinformasi yang lebih luas.
Pemerintah (presiden dan para pembantunya) tampak lebih berupaya melakukan upaya-upaya defensif tiap kali memberikan keterangan atau tanggapan atas isu ini, daripada membantu publik untuk memahami secara jernih akar persoalan dan pilihan-pilihan sulit yang mesti diambil sekaitan dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Umpaya-upaya defensif tersebut ditempuh dengan melakukan berbagai simplikasi sehingga persoalan mendasar tak dipahami masyarakat luas.
Dua Pilihan Sulit
Terlepas dari berbagai kejanggalan yang menyertai pengesahan UU tersebut (pemilihan waktu yang tidak tepat, pembahasan yang tergesa-gesa dan misteri draf final), pemerintah semestinya dengan jujur mengakui bahwa UU tersebut mewadahi berbagai pelonggaran kewajiban dan tanggungjawab pengusaha terhadap pekerja dan lingkungan. Dengan kata lain, mesti diakui dengan jujur bahwa UU Cipta Kerja memberi kemudahan berusaha yang lebih luas bagi para pengusaha dan implikasinya adalah mengurangi perlindungan hak-hak pekerja serta perlindungan kelestarian alam.
Kejujuran ini penting agar masyarakat dapat memiliki dasar pengetahuan yang kuat dalam menentukan pilihan apakah akan mendukung UU tersebut atau menolaknya. Jika mendukung, masyarakat berarti lebih memprioritaskan pembukaan lapangan kerja yang lebih banyak (karena pengusaha akan lebih tertarik masuk ke Indonesia berkat pelonggaran berbagai kewajiban), tapi konsekuensinya adalah hak-hak pekerja dan kelestarian lingkungan kurang terlindungi.
Jika menolak, berarti masyarakat lebih memprioritaskan perlindungan hak-hak pekerja dan kelestarian alam dibanding kesempatan mengakselerasi pembukaan lanpangan kerja yang lebih luas.
Dua piliahan di atas sama-sama sulit jika kita berkaca pada kondisi objektif pasar tenaga kerja Indonesia saat ini. Dengan kata lain, salah satu dari dua pilihan itu mesti diambil karena belum memungkinkan bagi Indonesia untuk menarik investor sebanyak mungkin sambil tetap dapat menjamin kesejahteraan para pekerja dan kelestarian alam secara maksimal. Daya tarik tenaga kerja Indonesia sebagian besar terletak pada ketersediaan tenaga-tenaga murah daripada ketersediaan tenaga-tenaga terampil.
Kondisi objektif inilah yang menggoda pemerintah untuk mengambil jalan cepat untuk memaksimalkan daya tarik tenaga kerja murah tersebut melalui berbagai kemudahan dan pelonggaran aturan-aturan ketenagakerjaan, daripada mengambil jalan panjang yakni meningkatkan keterampilan-keterampilan para pekerja agar menjadi core value daya tarik pasar tenaga kerja Indonesia.
Simplikasi melalui Disimformasi
Simpang siur informasi tentang polemik UU Cipta Kerja yang kini membingungkan masyarakat luas sebagian besar dipicu oleh kegagalan mengkomunikasikan dengan tepat dua pilihan sulit di atas. Pemerintah dan pihak-pihak yang pro hanya menekankan peluang-peluang yang dapat terwujud jika UU tersebut digunakan. Sebaliknya, pihak-pihak yang kontra hanya berkonsentrasi menyebar luaskan konsekuensi-konsekuensi negatifnya bagi para pekerja dan lingkungan. Jelas di sini telah terjadi upaya penyederhaan (simplikasi) melalui penjelasan-penjelasan dan informasi-informasi yang tak lengkap bahkan terkesan sebagai framing.
Sebagai contoh konkrit, presiden baru-baru ini membantah bahwa UU tersebut memungkinkan terjadinya PHK secara sewenang-wenang, bahkan melabeli informasi tersebut sebagai “hoaks” tapi tidak mengakui dengan jujur bahwa berbagai ketentuan dalam proses PHK yang dulu cukup memberatkan pengusaha telah dihapuskan dan diganti dengan mekanisme yang jauh lebih mudah dalam UU Cipta Kerja.
Masih banyak contoh-contoh misinformasi yang disebarkan oleh pemerintah sekaitan dengan kemelut UU ini dan preseden seperti itu harus dilawan karena tak menyehatkan demokrasi. Demokrasi dapat berbuah dengan baik hanya jika masyarakat mendapatkan informasi-informasi yang benar dan tanggungjawab terbesar untuk itu berada di pundak pemerintah.
Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.