x

Iklan

Fatwa Azmi Asy-syahriza

Anak ingusan yang mengetik dengan jari kecilnya, memandang dengan dua bola mata indahnya, dan mempunyai hati sebagaimana hati manusia.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 23 Oktober 2020 09:35 WIB

Abu Hasan al-Syadzili, Cahaya Suci dari Maroko

Dunia Islam sangatlah luas dengan segala kompenennya. Bagaikan sebuah samudera yang terbentang dengan berbagai isi namun masih banyak ruang-ruang kosong belum banyak orang menjamahnya. Di antara ruang kosong tersebut adalah dunia tasawuf. Cukup banyak tokoh tasawuf alias sufi, termasuk dari masa silam, yang sangat berpengaruh hingga saat ini, salah satunya adalah Abu Hasan al-Syadzili, dari Maroko. Mari mengenal perjalanan manusia mulia ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dunia Islam sangatlah luas ketika didalami segala komponen-kompenennya. Bagaikan sebuah samudera luas yang terbentang dengan berbagai isi di dalamnya, masih banyak ruang-ruang kosong yang tidak dimasuki oleh semua orang. Banyak tempat-tempat misteri yang belum banyak orang menjamahnya.

Di antara ruang kosong tersebut adalah dunia tasawuf yang sering dianggap sebagai suatu upaya mendalami sisi religiusitas seseorang. Tasawuf merupakan wujud pemahaman agama yang lebih mengedepankan esensi ketimbang memahami Islam dengan syariat yang lebih berorientasi pada fomalisme beragama yang kerap berujung kepada pemahaman artifisial agama dengan sebuah ibadah atau ritual rutinitas. Lebih dari itu, tasawuf yang sering menjadikan tarekat sebagai jalannya merupakan jalan untuk mencapai tingkatan demi tingkatan menuju pada satu ruang yaitu ruang spiritualitas tinggi yang sering disebut dengan tingkatan makrifat.

Cukup banyak tokoh-tokoh tasawuf atau yang biasa disebut sufi yang sangat berpengaruh di dunia bahkan hingga saat ini. Pemikira-pemikiran ahli tasawuf tersebut dianggap relevan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dunia saat ini. Oleh karena itu, banyak orang yang mendalami keilmuan tokoh-tokoh tasawuf yang fenomenal tersebut. Sebagian dari mereka bahkan bergabung dengan tarekat-tarekat yang telah didirikan ahli tasawuf tersebut. Salah satunya adalah Abu Hasan al-Syadzili yang menjadi pendiri dari tarekat Syadziliyah, tarekat yang cukup besar dan tersebar di berbagai belahan dunia  termasuk Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ketika aku menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dan ketika aku menyebut tuanku Syekh Abdu Qadir al-Jailani, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, karena keduanya memiliki dejarat yang sama, dan sirr (rahasia Allah) di dalam keduanya juga sama, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.” Begitu kata al-Qarasyi dalam menggambarkan Imam Abu Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah yang namanya selalu dikaitkan dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Hampir 1 abad yang lalu, tepatnya pada tahun 593 Hijriah, di desa Ghumarah, sebuah perkampungan dekat kota Ceuta di negeri Maroko, lahir seorang manusia mulia yang kelak menjadi wali agung dari negerinya. Seseorang yang merupakan keturunan Rasulullah SAW dari keturunan Sayyidina Hasan RA, cucu Rasulullah SAW. Beliau diberi nama Ali oleh ayahnya yang bernama Abdullah bin Abdul Jabbar. Ali yang nantinya dikenal dengan nama Abu Hasan al-Syadzili hidup di lingkungan yang taat beragama.

Bernama lengkap Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya' bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad. Ketika kecil, beliau diberi gelar Taqiyuddin. Sedangkan nisbat nama al-Syadziliyah berasal dari kota tempat tinggalnya ketika merantau belajar dan tinggal di kota Syadzilah di negeri Tunisia. Maka dari itu, beliau diberi nisbat nama al-Syadziliyah meskipun tidak lahir di kota tersebut.

Di kota asalnya beliau belajar syariat seraya menghafalkan al-Quran di usianya yang masih sangat muda belia sebelum akhirnya pergi ke kota Tunis untuk mempelajari ilmunya lebih dalam lagi.

Imam al-Qasim menjelaskan berbagai bentuk fisik Imam Abu Hasan al-Syadzili, yakni berkulit sawo matang, berbadan kurus, berperawakan tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya cukup panjang, hingga lidahnya fasih dalam berkata baik. Setiap memasuki masjid, beliau senantiasa menggunakan pakaian yang indah dan tidak pernah terlihat berpenampilan sembarangan.  

Perjalanan keilmuan Imam Abu Hasan al-Syadzili dimulai ketika mengambil sanad ilmu tasawuf kepada Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Harazim (w. 633 H) di negara Maroko. Dari Syekh Abu Abdillah Muhammad tersebutlah, Imam Abu Hasan al-Syadzili mendapatkan pengesahan sanad ilmu tasawuf yang dipelajarinya serta menjadi pengikut ajaran tasawuf.

Setelah sekian lama menimba ilmu di negerinya sendiri, Imam Abu Hasan al-Syadzili pun akhirnya berkenala ke Tunis dan menuntut ilmu kepada Syekh Abu Sa’id Khalaf bin Yahya at-Tamimi al-Baji (w. 628 H). Kedua guru agung Imam Abu Hasan asy-Syadzili ini adalah dua murid kesayangan Syekh Abu Madyan al-Maghrabi.

Sekitar tahun 618 Hijriah, Imam Abu Hasan al-Syadzili akhirnya berguru kepada Abu al-Fath Najmuddin Muhammad al-Wasithi (w. 632 H). Beliau adalah seorang murid dari Syekh Ahmad al-Rifai. Ketika Imam Abu Hasan al-Syadzili meminta petunjuk kepada gurunya, Abu al-Fath Najmuddin Muhammad al-Wasithi terkait adanya wali quthb di negeri Irak, gurunya tersebut  malah meminta Imam Abu Hasan al-Syadzili untuk kembali ke negerinya di Maroko karena di sana juga terdapat wali quthb yang akan ditemui oleh Imam Abu Hasan al-Syadzili.

Ibnu ‘Iyadh dalam kitab al-Mafakir al-‘Aliyyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah menuliskan kisah ketika Imam Abu Hasan al-Syadzili bertemu dengan wali quthb yang menjadi guru spiritualnya tersebut yang bernama yekh Abdus Salam bin Masyisy.

“Aku bertemu dengannya ketika ia menetap di pucuk gunung. Ketika aku melihatnya aku pun bergegas untuk mandi seraya berniat dalam hati bahwa aku adalah seorang yang tak memiiki ilmu sedikit pun agar ia mau mengajarkan ilmu tasawuf kepadaku. Ketika aku mendatanginya ia berkata, ‘Selamat datang wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar’. Kemudian, ia menyebutkan silsilah nasabku hingga Rasulullah ﷺ seraya berkata, ‘Wahai Ali, engkau datang kepadaku dengan hati yang butuh terhadap ilmu dan amal, maka engkau berhak untuk mendapatkan dariku ilmu dunia dan akhirat.’ Aku terkejut dengan apa yang aku alami, aku pun berguru kepadanya selama beberapa hari hingga aku sampai pada derajat futuh (terbuka mata hati).

Selama aku berguru kepadanya, aku menemukan banyak keramat dan khariqul ‘adat yang keluar darinya”.   “Suatu ketika aku duduk bersamanya dan ketika itu ada seorang anak kecil yang duduk di sisi Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Terbesit dalam benakku untuk menanyakan kepadanya tentang Asma’ Allah al-Mu’adzam. Anak kecil itu pun berkata, ‘Wahai Abu Hasan, engkau ingin bertanya kepada Syekh tentang Asma’ Allah al-Mu’adzam, sungguh di dalam hatimu telah terdapat sirr (rahasia) dari Asma’ Allah al-Mu’adzam. Kemudian, Syekh Abdus Salam bin Masyisy tersenyum seraya mengatakan, ‘Itulah jawaban yang engkau dapatkan.’ Syekh Abdus Salam bin Masyisy berkata, ‘Wahai Ali, berjalanlah menyusuriluasnya benua Afrika, kemudian menetaplah di sebuah desa bernama Syadzilah, niscaya kelak Allah akan memberikanmu gelar al-Syadzili’.”

Di dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hasan al-Syadzili banyak menghadapi tantangan, rintangan, bahkan fitnah yang mengarah kepadanya. Seperti adanya fitnah yang dilemparkan oleh Abu Qasim bin Barra’ ketika Imam Abu Hasan al-Syadzili berdakwah di ibu kota Tunisia.

Imam Abu Hasan al-Syadzili berdakwah dan menetap di rumah dekat Masjid al-Bilath. Tak berapa lama, para ulama lain pun berbondong-bondong mendatanginya untuk belajar kepada Imam Abu Hasan al-Syadzili. Semakin tinggi pohon maka akan semakin kencang pula angin yang menghantamnya. Begitu kalimat yang cocok ketika menggambarkan dakwah Imam Abu Hasan al-Syadzili. Di saat derasnya dukungan para ulama untuk belajar kepadanya, ternyata Abu Qasim bin Barra’ yang juga merupakan pakar fiqh di kota tersebut merasa dengki kepada Imam Abu Hasan al-Syadzili hingga akhirnya melaporkan dakwah beliau ke Sultan Abu Zakaria.

Puncak dari laporan Abu Qasim bin Barra’ tersebut ialah diselenggarakannya perdebatan antara Abu Qasim bin Barra’ dengan Imam Abu Hasan al-Syadzili. Namun pada perdebatan tersebut ternyata Imam Abu Hasan al-Syadzili mampu menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh lawan debatnya tersebut. Tetapi tetap saja, kedengkian kepada Imam Abu Hasan al-Syadzili masih terlintas dari para oknum yang mengadudomba.

Selang beberapa waktu, selir dari Sultan Abu Zakaria wafat karena sakit. Ketika pihak pemerintah sedang sibuk mengurusi pemakaman, tiba-tiba saja rumah Sultan Abu Zakaria terbakar api hingga melahap berbagai barang berharga sang sultan. Sultan Abu Zakaria menyadari bahwa hal tersebut merupakan akibat dari perlakuannya terhadap Imam Abu Hasan al-Syadzili. Sultan pun akhirnya meminta maaf dan mencium tangan Imam Abu Hasan al-Syadzili. Namun setelah kejadian tersebut, Imam Abu Hasan al-Syadzili memilih untuk pindah ke Mesir. Sedangkan Abu Qasim bin Barra’ kelak mendapat balasan dari perlakuannya tersebut.

Di akhir hayatnya, Imam Abu Hasan al-Syadzili berangkat ke Makkah untuk pergi haji. Namun di tengah perjalanannya, beliau sakit parah. Berbagai kejadian luar biasa terjadi sebelum wafatnya beliau, seperti isyarat mengenai tempat wafatnya beliau, air sumur yang awalnya asin berubah menjadi tawar dan segar, hingga banyaknya pesan beliau kepada murid-muridnya untuk senantiasa mengamalkan Hizb Bahr yang merupakan karangannya.

Imam Abu Hasan asy-Syadili wafat pada tahun 656 H di sebuah gurun pasir bernama Humaitsarah yang berada di antara daerah Luxor dan Qina. Penerus tarekat Syadziliyyah setelah beliau adalah Abu ‘Abbas al-Mursi.

Ikuti tulisan menarik Fatwa Azmi Asy-syahriza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB