x

Marah

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 24 Oktober 2020 15:27 WIB

Gejolak RUU Cipta Kerja Penuh Drama Marah Tingkat Rendah

Apa yang kini sedang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dengan berbagai cara mempertahankan UU Cipta Kerja, saya sebut sebagai kategori Marah Tingkat Rendah alias MTR karena terus memaksakan kehendaknya dengan membentengi diri dengan berbagai cara. Sementara buruh dan mahasiswa pun ikut-ikutan MTR dalam menyikapi penolakan UU Cipta Kerja lewat demonstrasi. Karena DPR dan pemerintah seolah tak menganggap rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin tidak populer, namun istilah Marah Tingkat Rendah dan Marah Tingkat Tinggi (MTR dan MTT) dalam dunia pendidikan sudah pernah saya bagi kepada murid-murid sejak puluhan tahun silam. Hal ini termasuk dalam ranah keterampilan berbahasa dan literasi seseorang.

Intinya bila ada skala 0-10 saat kita marah baik dari segi vokal (volume suara), intonasi, ekspresi, dan bahasa tubuh. Saat harus marah kepada orang yang kecerdasan integensi dan emosiya tinggi, tak perlu kita MTR. Ini kemarahan skala 8/9/10. Tak perlu dengan lontaran kata-kata, tak ada volume bicara, tak ada intonasi dan ekspresi. Cukup dengan bahasa tubuh diam. Maka, orang yang kita tuju marah, tentu akan paham dengan sikap yang kita tunjukkan itu.

Berbeda dengan saat marah kepada orang yang tingkat intelegensi dan emosinya rendah. Mereka tak akan paham kita marah bila hanya dengan cara diam. Menghadapi mereka, kita butuh mengeluarkan energi lebih. Karena bisa jadi kita harus marah dengan bersuara, berintonasi, berekspresi, dan berbahasa tubuh skala tinggi, antara 8 sampai 10. Dengan begitu, mereka akan paham bahwa kita sedang marah.

Artinya, bila kita marah kepada orang yang cerdas intelegensi dan emosi, tekniknya berbeda saat marah kepada orang yang tak cerdas intelegensi dan emosi.

Jadi, istilah MTR itu, harus dengan skala 7-10. Sebaliknya, MTT cukup dengan skala 0 atau 1.

Indonesia penuh MTR

Mengapa istilah MTR dan MTT ini saya kemukakan? Pasalnya di Indonesia kini sedang berlangsung "pertunjukkan drama" yang terus berkutat pada adegan-adegan MTR. Dan itu diaktingkan oleh para aktor-aktornya.

Siapa aktor-aktor yang menjadi pemeran utamanya? Mereka adalah para elite partai di parlemen, elite partai di pemerintahan. Juga  para buzzer, polisi, penunggang kepentingan, anarko, media massa, serta buruh dan mahasiswa yang merepresantiskan rakyat.

Masing-masing dari semua tokoh tersebut, semuanya hampir sama sedang memerankan tokoh yang mengusung misi dan tujuan berbeda. Namun akting mereka sama, yaitu melakukan adegan sesuai skenario masing-masing dengan format MTR. Sejatinya, mereka semua dapat memerankan tokoh yang mengusung format adegan MTT. Namun, sesuai tugas dan fungsinya, serta situasinya, terpaksa mereka semua sedang memainkan adegan MTR.

Sebagai aktor-aktor handal yang cerdas intelegensi dan emosi, sebenarnya bisa saja, mereka melakukan adegan dengan MTT. Tapi kali ini terpaksa mereka harus akting dengan MTR tanpa memikirkan rakyat jelata. Khalayak yang belum pandai berakting MTR dan MTT itu menjadi korban permainan tingkat tinggi atau tingkat dewa.

Sebagai contoh adegan drama dalam kasus UU Cipta Kerja. DPR dan Pemerintah sengaja melakukan adegan MTR yaitu dengan tidak mendengarkan suara rakyat hingga terus melahirkan UU yang sejak awal penuh kontroversi ini.

Tidak hanya memksakan kehendak, DPR dan Pemerintah pun telah menyiapkan diri dengan segenap timnya, seperti polisi, perangkat hukum, media massa yang memihak, serta influencer dan buzzer. Semuanya hampir dengan skala 8 hingga 10 "nantangin rakyat".

Sementara buruh dan mahasiswa pun ikut-ikutan MTR dalam menyikapi penolakan UU Cipta Kerja lewat demonstrasi. Karena DPR dan pemerintah seolah tak menganggap rakyat.

Akhirnya, balas-membalas adegan kemarahan tingkat rendah pun terus terjadi. DPR dan Pemerintah, melalui semua divisi pendukungnya terus stabil dalam tingkat MTRnya. Contoh MTR yang dilakukan DPR dan Pemerintah adalah mengabaikan suara rakyat sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Menyuruh dan menantang rakyat menempuh jalur hukum ke MK. Polisi menangkap rakyat yang dianggap melawan hukum. Para Menteri terus bersuara lantang dan keras membentengi diri coba terus mematahkan aspirasi rakyat. Terus membela diri dengan cara apa pun agar UU Cipta Kerja tetap mulus.

Apa yang kini sedang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dengan berbagai cara mempertahankan UU Cipta Kerja, saya sebut sebagai kategori MTR karena terus memaksakan kehendaknya dengan membentengi diri dengan berbagai cara.

Akibat cara seperti demikian, tak menganggap aspirasi rakyat, maka rakyat pun membalas dengan cara MTR juga, Mereka berdemonstrasi. Bersuara lantang, intonasi tinggi dan ekspresi marah, serta bahasa tubuh melawan. Sebab, demonstran murni yang direpresentasikan oleh buruh dan mahasiswa, tak ubahnya sedang menghadapi orang yang tak cerdas intelegensi dan tak cerdas emosi. Maka dari itu, demonstrasi adalah analogi dari MTR yang skalanya 9 atau 10.

Dari berbagai literasi dan penelitian, orang yang sukses dalam hidupnya tak cukup hanya bermodal cerdas intelegensi. Mereka juga wajib mengasah kecerdasan emosionalnya (emotional intellegence/EQ). Bahkan ada penelitian yang mengungkap bahwa 90 persen orang yang berada di puncak kesuksesan karirnya, terbukti memiliki EQ yang tinggi.

Kendati EQ sulit diukur, pada umumnya orang yang cerdas emosi memiliki kepribadian yang disukai. Karena mereka mampu mengelola emosinya dengan baik dan otomatis akan mampu membina hubungan baik dengan orang lain.

Pertanyaannya, kira-kira bagaimana hubungan kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosi para elite partai yang duduk di parlemen dan pemerintah? Serta juga kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosi rakyat Indonesia terkini bila dikaitkan dengan berbagai sengkarut, terutama menyoal UU Cipta Kerja? Apakah pengelolaan kecerdasan intelegensi dan emosi ini digunakan oleh mereka semua dalam berbagai kasus sengkarut di NKRI?

Dalam kasus UU Cipta Kerja, yang hingga kini masih terus berlangsung demonstrasi penolakan di berbagai daerah Indonesia. Bahkan kini juga diapungkan demonstrasi penolakan ini dengan istilah "pembangkangan sipil" oleh media massa, mendeskripsikan bahwa praktik dan aplikasi dari kecerdasan intelegensi dan emosi ini benar-benar dapat dilihat dengan kasat mata atau tanpa kasat mata, karena di dalamnya ada skenario-skenario cerdas yang menjadi arah.

Jadi, baik DPR, pemerintah, buruh, dan mahasiswa, kini semuanya sedang memerankan tokoh yang dialognya wajib dimainkan dengan cara MTR. Hal itu juga didukung oleh para pemeran pembantu yang juga memainkan adegan MTR, seperti para polisi, penyusup dalam aksi demonstrasi, media massa pendukung A dan B, serta para influencer dan buzzer.

Andai DPR dan Pemerintah melakukan MTT, yakin mereka tanpa perlu menanggapi berbagai pihak dan rakyat, langsung mengesahkan UU Cipta Kerja. Presiden pun langsung tanda tangan, polisi langsung tangkapi rakyat yang membangkang dan abaikan demokrasi.

Namun, yang pasti, bila kita terpaksa harus Marah Tingkat Rendah kepada seseorang, karena orang itu memang bodoh, tak cerdas intelegensi, tak cerdas emosi, dan tak berpendidikan, tetap harus melihat situasi, kondisi, dan memikirkan akibatnya.

Sebaliknya, saat kita harus Marah Tingkat Rendah, dengan teriak-teriak, anarki, dan sikap kasar lainnya kepada orang yang cerdas intelegensi dan cerdas emosi, maka kita hanya akan dipermainkan oleh orang itu. Sebab, orang itu sejatinya sedang menguji kita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler