x

Iklan

Media Cendekia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Oktober 2020

Senin, 2 November 2020 14:57 WIB

Suara Kosong Bisa Saja Memenangi Kontestasi Pilkada, loh!

Kotak suara yang penuh surat suara tercoblos pun bisa jadi nyatanya hanya berisi suara kosong. Ini terjadi manakala suara yang dimasukkan dalam kotak suara hanyalah asal coblos. Suara yang yang bukan merupakan pilihan sesuai hati nurani. Atau bahkan karena keterpaksaan dan hasil pilihan transaksional. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oligarki (foto: Tempo)

KOTAK suara yang berisi banyak surat suara sah yang sudah dicoblos saat pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah menjadi harapan semua pihak. Tak hanya bagi kontestan pemilu, melainkan juga penyelenggara sendiri. 
 
Semakin banyak surat suara yang dimasukkan ke kotak suara, menunjukkan partisipasi pemilih yang tinggi dalam menggunakan hak pilihnya. Surat suara sah terbanyak yang diperoleh kandidat juga menentukan kemenangan dalam kontestasi pemilu atau pun pilkada. 
 
Kita kerap mendengar akhir-akhir ini munculnya istilah 'melawan bumbung atau kotak kosong'. Ini diasosiasikan dengan kontestasi yang jauh tak berimbang. Meski ada perebutan suara pemilih, kotak kosong menggambarkan perolehan suara minim, yang berarti kandidat juga rival tidak mungkin memenangi kontestasi.
 
Dalam konteks yang masih terkait, kotak suara yang penuh surat suara tercoblos pun bisa jadi nyatanya hanya berisi 'suara kosong.' Ini manakala suara yang dimasukkan dalam kotak suara saat pemilu atau pilkada hanyalah asal coblos. Suara yang dimasukkan dalam kotak suara bukan pilihan sesuai hati nurani, atau bahkan karena keterpaksaan dan hasil pilihan transaksional. 
 
Disadari ataupun tidak, dan diakui atau tidak, 'kotak suara kosong' ini bisa jadi satu fenomena dan nyata adanya. Siapa bisa menjamin, semua surat suara yang digunakan dan tercoblos pemilih, murni berangkat dari pilihan sesuai harapan dan keyakinan nurani? 
 
Pilihan pemilih melalui surat suara yang dicoblos semestinya adalah amanat yang dititipkan pada figur yang dipilihnya. Jika dilakukan dengan sadar dan tulus, sejatinya itu harapan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Tetapi, jika memilih dilakukan atas dasar imbalan misalnya, maka akan cukup di situ. 
 
Selesai pemungutan suara, mungkin saja pemilih tidak terlalu peduli pada apa yang akan dilakukan orang yang dipilihnya. Hasil dengan cara pilihan yang seperti inilah yang penulis sebut tak ubahnya 'kotak kosong,' meski berisi banyak jumlah surat suara pilihan pemilihnya. 
 
Adanya fenomena ini tentunya tidak lantas cepat-cepat membuat kandidat calon pemenang pilkada jumawa. Terlebih, jika nyata-nyata suara mereka didapatkan dari hasil transaksi layaknya jual beli. Suara sedikit yang didapatkan dari pilihan sadar sesuai nurani akan lebih mendatangkan kehormatan, daripada suara kemenangan karena diawali praktik yang bisa membutakan akal budi dan hati nurani pemilihnya. 
 
Suara sah pilihan pemilih bertendensi materi yang didapat dari praktik money politic ini juga tak patut dibanggakan, meski didapati signifikan dan menjadikan perolehan pilihan terbanyak. Ini karena, harapan mereka mungkin saja awu-awu dan palsu. Tak ubahnya dari kotak kosong, karena kemenangan dari suara karena iming-iming uang ini sebenarnya juga harapan semu. 
 
Jika yang terjadi adalah praktik tak semestinya ini, tak salah sekiranya kita juga bertanya soal kemenangan yang didapat dari isi kotak suara pemilu ataupun pilkada. Bahwa 'teori kedaulatan rakyat' yang kerap dan jamak disebut para politisi, bahwa suara rakyat dalam kotak suara, apakah benar-benar bisa dimaknai sebagai 'suara Tuhan'? 
 
Sebagai rakyat yang juga menyuarakan harapan dengan memilih, tidak salah juga kita berefleksi. Jika pemimpin yang kita pilih karena imbalan yang diberikan saat pemilihan, bisa jadi wajar saja suara yang sudah kita berikan bebas dimaknai apapun. Maka, jangan heran jika mungkin nantinya pemimpin lupa dengan suara kita. 
 
Karena pilihan dengan embel-embel imbalan ini tak lagi murni dan luntur nilai harapan dan amanah. Bahkan, bisa saja dipahami pemimpin terpilih, bahwa tidak ada kewajiban moral apapun untuk menjadikan suara kemenangan dari 'kotak kosong' yang didapatkan menjadi sesuatu yang harus diwujudkan nantinya. 
 
Memenangkan pemilihan dengan perolehan suara terbanyak memang jadi keinginan kandidat berikut pendukungnya. Akan tetapi, suara yang didapatkan murni bukan karena imbalan apapun, lebih kita harapkan tentunya. Semoga! (*)
 
Ditulis Choirul Amin, esais dan pegiat literasi media berplatform inspirasicendekia.com

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Media Cendekia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB