Wahai Allah, Muhammad-kan kami

Rabu, 4 November 2020 17:30 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Duhai Lelaki Pembawa Kabar Gembira, kedua cucu kinasihmu mengitarimu saat engkau shalat, engkau merelakan dirimu digelayuti mereka, engkau merenggangkan rukukmu agak lebar agar Hasan dan Husain bisa bermain-main di bawahnya, lalu saat dirimu bersujud, mereka bergantian menaiki punggungmu. Engkau menahan sujudmu agar semata-mata mereka puas bermain dengan tubuh muliamu.

 

 

Duhai putra Abdullah, saat itu engkau sedang bersujud, lalu cucu kinasihmu, Hasan dan Husain berlari menuju dirimu. Putra Azzahra itu bergantian menunggangimu, menganggapmu kuda. Mereka tertawa riang di atas punggung yang pernah ke sidratul muntaha. Engkau memilih memperlama sujudmu. Para sahabat gelisah, khawatir sesuatu terjadi pada dirimu, atau wahyu sedang turun kepada dirimu, wahai Laki-Laki yang Berwajah Purnama. Sujudku lama yang tak biasanya semata-mata agar cucuku itu puas menunggangiku, demikian engkau menjawab pertanyaan para sahabatmu. Siapa mencintaiku, maka cintailah kedua anak ini. Engkau melanjutkan sabda muliamu.

Duhai Lelaki Pembawa Kabar Gembira, kedua cucu kinasihmu mengitarimu saat engkau shalat, engkau merelakan dirimu digelayuti mereka, engkau merenggangkan rukukmu agak lebar agar Hasan dan Husain bisa bermain-main di bawahnya, lalu saat dirimu bersujud, mereka bergantian menaiki punggungmu. Engkau menahan sujudmu agar semata-mata mereka puas bermain dengan tubuh muliamu.

Duhai Lelaki Yang Senantiasa Tersenyum, saat itu Hasan dan Husain memintamu menjadi kuda mainan. Engkau mengiyakan dengan gembira. Lalu keduanya bergantian menunggangimu. Tawa cucu yang riang membuatmu bahagia hingga Umar, sahabatmu yang mulia, merasa perlu berkomentar, duhai putra putra Ali, alangkah mulia kuda tunggangan kalian. Dengan tersenyum, engkau pun menjawab, sebaik-baik penunggang kuda adalah mereka berdua.

Duhai putra wanita mulia Aminah, menjelang shalat engkau memomong Umamah bin Abd Al-Ash, cucu kinasihmu yang lahir dari rahim Zainab. Agar tak menangis, engkau menggendongnya sambil shalat, lalu meletakkan balita ini di sampingmu saat engkau bersujud, kemudian menggendongnya kembali saat engkau berdiri dalam shalat.

Duhai Lelaki Pemilik Hati yang Peka, engkau sedang memimpin shalat sampai terdengar tangisan seorang anak. Engkau, utusan Allah, memilih mempercepat shalat agar ibunya tidak terganggu tangisan buah hatinya.

Duhai Lelaki Pemberi Syafaat, bersama beberapa sahabat, engkau berkunjung ke rumah shahibul bait yang mengundangmu makan bersama. Di tengah jalan, engkau melihat Husain bermain-main di tengah jalan. Melihat cucu kinasihmu ini, engkau pun menghampirinya dengan membuka kedua tanganmu untuk menyambut putera Ali itu. Husain berlarian kesana-kemari hingga engkau, wahai Rasulullah, berhasil menangkap bocah lincah itu. Engkau memegang dagu cucumu, sedangkan tanganmu yang lain mengelus-elus kepalanya. Lalu, dengan kasih sayangmu, engkau memeluk Husain, pemuka para pemuda surga itu. Husain merupakan bagian dariku, dan aku bagian dari Husain, semoga Allah mencintai Husain, Husain adalah salah satu keturunanku. Demikian sabdamu di hadapan para sahabatmu yang mulia.

Duhai Laki-Laki Berhati Samudera, engkau menyayangi Usamah bin Zaid bin Haritsah, sebagaimana engkau mengasihi Hasan-Husain, dua permata hati Azzahra. Engkau menaunginya dengan cinta, hingga pada suatu ketika bocah Usamah tergelincir di depan pintu rumahmu. Engkau tergopoh-gopoh menyongsongnya, mendudukkannya di pangkuanmu, mendiamkan tangisnya. Ketika kening Usamah mengucurkan darah, dengan kasih sayangmu, engkau rela menyesap darah luka tersebut, kemudian meludahkannya. Kami iri kepadamu, wahai Usamah al-Hibb ibn al-Hibb, kekasih putra kekasih.

Duhai Laki-Laki yang Menggetarkan Jiwa dengan Cinta, engkau baru saja tiba di Madinah setelah melakukan perjalanan panjang dari Makkah. Zaid putra Tsabit, seorang yatim, dengan senyum merekah menyambutmu dengan semangkuk roti berkuah susu. Ibuku mengirim hidangan ini untuk dirimu, duhai utusan Allah, kata bocah kecil itu. Di hadapanmu, Zaid kemudian menunjukkan hafalan beberapa Surah al-Qur'an. Engkau yang bangga, mendoakan agar Allah memberkahi Zaid. Saat pasukan muslim menawan beberapa musuh yang kalah dalam Perang Badar, engkau memanggil Zaid dan beberapa anak lain. Engkau meminta agar para tawanan ini mengajar baca-tulis kepada Zaid dan kawan-kawannya, sebagai syarat pembebasan diri. Sebuah langkah strategis nan cerdas yang engkau ambil, duhai Madinatul Ilmi, Sang Kota Ilmu. Engkau telah memperkenalkan anak-anak pada tonggak peradaban: kemampuan membaca dan menulis.

Duhai Panglima yang Cemerlang, ketika sepupumu, Ja'far putra Abu Thalib gugur di Palagan Mu'tah, engkau mengumpulkan anak-anaknya yang masih kecil, merawatnya dengan sepenuh kasih sayang, mengajak mereka bermain, sambil menyiapkan kehidupan baru agak anak-anak yatim ini tidak goncang sepeninggal ayahnya tercinta. Engkau seringkali mengajak jalan-jalan Abdullah putra Ja'far yang masih kecil, mendudukkannya di pelana unta, sembari mengelus kepalanya dan mendoakan agar anak yatim itu menjadi penerus ayahnya. Alangkah bangganya manakala engkau melihat Abdullah, anak yatim yang wajah dan perilakunya mirip denganmu itu, sedang berjualan di pasar. Kemandirianmu di masa remaja rupanya mulai menulari keponakanmu itu, duhai Abul Qasim, hingga engkau mendoakan keponakanmu ini agar dagangannya diberkahi Allah.

Wahai Laki-Laki dengan Kepribadian Mempesona, pernah engkau mengumpulkan bocah-bocah, lalu membuat permainan sayembara agar mereka gembira. Engkau meminta anak-anak berbaris, lalu berkata, siapa yang paling cepat, dia akan mendapatkan hadiah. Anak-anak menyambut tantangan ini dengan gembira, hingga mereka berhasil menggapai tubuh muliamu, mengerumunimu, memelukmu sambil bergelayut manja di dada dan tubuhmu. Duhai manusia paripurna, betapa irinya kami atas polahtingkah anak-anak yang menggelayuti tubuh wangimu.

Duhai Allah, Muhammad-kan kami!

Duhai al-Amin, engkau yang memegang teguh kejujuran, pemilik kunci perbendaharaan di negeri Barat dan Timur, yang hanya tidur di atas tikar kasar, yang berbaju kain yang tidak lembut, yang hanya menyantap roti bertekstur keras dan beberapa butir kurma, tapi Allah menganugerahkanmu shalawat. Sebagaimana Allah memuliakan Adam alaihissalam dengan memerintahkan malaikat bersujud kepadanya, memuliakan Nuh alaihissalam dengan mengabulkan munajatnya, memuliakan Ibrahim alaihissalam dengan menjadikannya Khalilullah, serta memuliakan Musa alaihissalam dengan mengajaknya bercakap-cakap.

 

Duhai An-Najm ats-Tsaqib, seorang perempuan pernah sowan kepadamu dan memberi hadiah. Ini adalah kain yang kutenun sendiri, semoga engkau berkenan menggunakannya, wahai utusan Allah. Kata perempuan itu. Engkau berbahagia menerimanya hingga ada seorang sahabat yang memberanikan diri meminta kain indah itu, padahal engkau belum pernah sama sekali mengenakannya. Engkau tersenyum, masuk kamar, melipat kain indah itu lalu menghadiahkannya kepada sahabatmu tadi. Duhai Rasulullah, demi Allah, aku menginginkan kain ini bukan untuk kupakai, tapi untuk kujadikan kafan saat mati kelak. Kata sahabatmu dengan suara bergetar. Engkau lagi-lagi tersenyum mendengar alasan sahabatmu. Sungguh mempesona kedermawananmu, duhai Shahib al-Maqam al-Mahmud.

 

Duhai Utusan Allah yang memilih menambal baju dan memperbaiki terompah menggunakan tangannya sendiri, saat itu engkau memakai baju Najran yang tepiannya tebal, berjalan-jalan bersama Anas bin Malik, abdi ndalem yang engkau kasihi. Tiba-tiba seorang pria Badui menyusul dan menarik bajumu dengan keras, hingga bahumu terlihat dan tampak pula bekas tarikan yang kasar itu. Badui itu meminta harta kepadamu. Harta itu milik Allah, engkau menjawab. Tak takutkah kau mati dengan tindakanmu terhadapku tadi, engkau bertanya. Tidak, jawab orang dusun itu. Aku tidak takut karena engkau mustahil membahas keburukan dengan keburukan, ia melanjutkan. Dengan senyummu yang mempesona, engkau malah memberi orang udik itu gandum dan kurma yang masing-masing dimuat seekor unta.

 

Duhai Lelaki Penebar Cinta, di majelismu, semua duduk sama-rata, sama-rasa. Tak ada orang yang merasa lebih mulia-rendah dibandingkan orang lain. Tak ada suara keras. Tak ada kesalahan yang diungkit. Engkau memenuhinya dengan cinta, kesabaran, kemurahan dan kerendahan hati. Di majelismu, duhai baginda, engkau mengajarkan agar menghormati yang tua, mengasihi yang muda, & mencintai sesama.

 

Duhai laki-laki Pembelah Bulan, pernah engkau menanyakan kabar perempuan tua berkulit hitam yang biasanya tinggal di masjid. Engkau sedih mendengar kabar perempuan itu meninggal, dan engkau kecewa terhadap sikap para sahabat yang tidak mengabarkan kewafatan perempuan itu kepadamu. Engkau kemudian menziarahi kuburannya dan mendoakannya. Demikian sayangnya engkau pada umatmu, sehingga kepada sosok perempuan lanjut usia yang dianggap "tidak penting", dirimu masih menanyakan kabar dan menziarahi makamnya.
Duhai laki-laki yang Gemar Berziarah Kubur, ketika engkau beriringan bersama Umar bin Khattab, Zaid bin Sa'nah tiba-tiba-tiba menarik bajumu lalu mengumpatmu dan mencaci leluhur muliamu. Rupanya dia menagih utang, meski tempo pembayarannya masih beberapa hari lagi. Umar tidak terima dan melabrak Yahudi itu hingga dia gemetar ketakutan. Biarkan Umar, katamu menenangkan sahabat yang dikenal tegas itu. Ini urusanku dengan orang ini, mestinya engkau menyuruhku membayar lebih baik, dan kau minta orang ini menagih dengan baik pula, lanjutmu. Kemudian, engkau menunaikan kewajibanmu. Rupanya tindakan kasar Yahudi ini adalah semata-mata mengetes kesabaranmu sebagai seorang Utusan Allah, sebelum kemudian dia memilih bersyahadat di hadapanmu.

Duhai Ahmad al-Mujtaba, belahan jiwa Khadijah al-Kubra, engkau senantiasa meletakkan cinta istri kinasihmu itu di serambi sanubarimu. Saat Fath Makkah, engkau mengambil waktu khusus di sela-sela Yaumul Marhamah ini dengan menziarahi pusara Khadijah, meletakkan jubahmu di sisi makam, dan engkau pun bernostalgia dengan menyebut kemuliaan perempuan agung itu. Khadijah tak pernah pergi dari sanubarimu, duhai Khairul Bariyyah. Ketika engkau diberi hadiah daging, yang engkau ingat adalah Khadijah. Engkau mengambil bagian terbaik dari daging itu, lalu menyedekahkannya atas nama Khadijah kepada kaum miskin. Engkau memahat nama ibunda anak-anakmu itu dalam amal keseharianmu, hingga dalam berbagai kesempatan dirimu memujinya dalam kalimat-kalimat indah dengan balutan cinta. Bahkan, ketika seorang nenek bernama Hasanah al-Muzayyanah mengunjungimu, engkau menghormati dan memuliakannya, semata-mata karena Hasanah memiliki kedudukan istimewa di mata Khadijah.


Duhai Laki-laki yang Berwajah Purnama, di Mina, tatkala Haji Wada', Ma'mar bin Nahdlah memangkas rambutmu. Saat itu tidak selembar pun rambutmu jatuh kecuali tangan-tangan para sahabatmu siap menyambutnya. Mereka mencari keberkahan dari helai demi helai rambut muliamu. Bahkan, Khalid putra Walid, panglima kesayanganmu, memilih menyisipkan selembar rambutmu di helm perangnya dan berharap lantaran sehelai rambut itu pasukannya diberi keberkahan dan kemenangan dalam berbagai peperangan.


Duhai Allah, Muhammad-kan kami...

Rijal Mumazziq Z

Imtiyaz.id

(Di depan pusara mulia Baginda Rasulullah, 6 Jumadil Akhir 1441 H/31 Januari 2020 M. Isak tangisku semoga menjadi saksi kerinduanku kepada panjenengan, Gusti Kanjeng Nabi)

----

Yuk kita memperbanyak sholawat Kepada Nabi Muhammad saw

Sholawat Busyro 

yang ingin belajar bahasa arab gratis silahkan mampir Bahasaarab.org

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hilyah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Belajar Mencintai Indonesia

Kamis, 19 Agustus 2021 21:00 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler