x

media massa

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 16 November 2020 07:28 WIB

Indahnya Bila Media Massa Memihak Kedamaian dan Persatuan

Seandainya media massa khususnya media online dan media televisi dan media massa pada umumnya di +62 benar-benar berperan sesuai fungsi dan tugasnya, obyektif dan berimbang dalam mengangkat dan menyiarkan berita, maka kisruh, perseteruan, hingga kehidupan hedonis di tengah masyarakat yang terpuruk tidak akan terus terjadi dan semakin tumbuh subur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seandainya media massa khususnya media online dan media televisi dan media massa pada umumnya di +62 benar-benar berperan sesuai fungsi dan tugasnya, obyektif dan berimbang dalam mengangkat dan menyiarkan berita, maka kisruh, perseteruan, hingga kehidupan hedonis di tengah masyarakat yang terpuruk tidak akan terus terjadi dan semakin tumbuh subur.

Sudah begitu, di Republik ini juga ada pihak yang justru membiayai influencer dan buzzer demi mengamankan dan melindungi kepentingannya. 

Sementara para hedonis yang juga terus menghiasi berita dan tayangan selebritis, semuanya hanya pamer kemewahan, menjual kisah kesedihan, dan lainnya demi rating, demi konten, demi viewers, pemirsa yang siginifikan dengan rupiah untuk kantong pribadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak kapan suasana semacam ini mulai tumbuh dan terus berkecamuk di negeri ini? Nampaknya, jawabnya semua masyarakat pun setuju bahwa semua peristiwa ini terjadi sejak zaman Pilgub DKI dan Pilpres. 

Di sisi lain, di tengah pandemi corona, pertinjukkan hedonis semakin subur sejak media sosial menjinakkan masyarakat Indonesia hingga terus terlena dengan kemewahan duniawi. 

Sampai ada yang dengan bangga mengangkat dirinya menjadi sultan, pamer motor besar konvoi hingga bikin ribut, pamer kemewahan berwisata dan dijadikan tontonan umum yang hanya demi konten dan pansos, saat sebagian besar rakyat Indonesia menderita.

Juga sudah bukan rahasia, ada pihak yang bagi-bagi kursi kedudukan dan jabatan gratis dengan gaji wah dari uang rakyat. Bagi-bagi penghargaan demi kepentingan, ada yang berulangkali mengeluarkan pernyataan kontroversial yang justru menyakiti hati rakyat.

Semua hal tersebut kini sangat mudah tersaji dan mudah diakses beritanya oleh masyarakat, tapi masyarakat yang diperas dan dijadikan viewers oleh berbagai media demi klik rupiah, tetap saja menjadi korban, tetap saja sengsara dan menderita.

Undang-Undang (UU) ITE pun terus mencari mangsa dan para mangsanya adalah masyarakat yang terpancing isu atau berita yang diprovokator oleh para buzzer dan influenser yang tentunya tidak berdiri dan bertindak atas nama sendiri.

Sungguh, negeri ini kini penuh carut marut. Namun uniknya, siapa yang berbicara dan memihak penguasa aman. Siapa yang sok kaya dan hedon, tetap dibiarkan "berkeliaran" dan terus diapungkan demi oplah dan rating, demi uang untuk kantong mereka sediri.

Provokator dipelihara

Bila diidentifikasi, khususnya saya sebut sebagai oknum penebar kebencian dan pemecah belah persatuan di media massa yang terkait politik, ada beberapa yang sangat menonjol dan selalu berkomentar yang bukan lagi pedas, namun lebih tepatnya jadi provokator perseteruan tak berujung, ada beberapa gelintir orang dan sepertinya dipelihara.

Masyarakat pasti sudah paham siapa orang-orang itu yang setiap komentar provokasinya terus digelontorkan oleh media massa pendukung yang tentu juga menjadi bagian dari paket penebar kebencian itu karena demi klik uang dan mungkin bayaran. 

Sehingga kini nampak ada orang yang semakin terlihat bahwa pekerjaan utamanya malah sebagai provokator, malah masih bebas berbicara dan diberikan ruang,  meski setiap pembicaraan dan komentarnya justru terus memanas-manasi dan seolah menantang pihak yang berseberangan.

Namun herannya, orang ini masih terus bebas berkeliaran menjadi provokator setiap masalah dan isu. Tragisnya, media-media juga terlihat terus menjadikan tokoh provokator sebagai sumber berita.

Saat provokator berbicara atau berkomentar lalu dijadikan komoditas berita, maka bermainlah para buzzer di kolom komentar. Kolom komentar pun dibanjiri perseteruan dengan diksi-diksi kasar yang tak pantas dan hawanya hanya menantang dan mencari musuh, benar-benar lebih mendominasi.

Mengapa semua itu kini terus biarkan, padahal setiap isu dan kasusnya justru lebih mengancam disintegrasi bangsa dibanding para pelanggar yang dijerat UU ITE.

Sejatinya, adakah pihak yang tidak menyadari bahwa semua yang kini terus terjadi sebagai sebuah peristiwa yang mengalir begitu saja? Setiap satu masalah, satu isu. Langsung jadi bahan untuk berseteru. Belum usai isu yang satu, dilahirkan kisah yang baru, demi mengalihkan opini masyarakat . Begitu seterusnya. 

Kolabrasi yang sangat cantik antara berbagai pihak, dan media massa "bayaran" menjadi ujung tombak dari suksesor setiap skenario pihak berkepentingan mainkan. Siapa aktor dan sutradaranya? Dapat ditebak pun mudah dibaca. Karena memang semua yang terjadi tak lebih sebagai sebuah permainan. Sebuah drama dan sandiwara demi melayani sebuah kepentingan.

Luar biasa. Semakin kita.dapat menyelami kedalaman setiap alur kisahnya, maka semakin benderang tat kala kita "Membaca Indonesia Terkini".

Siapa yang dibebaskan " berkeliaran dalam pernyataan dan komentar". Siapa yang dicegah, dicekal, dibungkam.

Menebar kebencian, pamer hedonisme, berseteru, terus disemai dan budidayakan. Sementara kedamaian dan persatuan hanya slogan demi menutupi kepentingan. Dan, media massa adalah ujung tombak dari yang memanfaatkan. Seharusnya, media mSsa kembali ke kitahnya, menjadi ujung tombak kedamaian di +62.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler