Pengaruh, kekuasaan, maupun kemashuran itu sungguh berpotensi melenakan, sehingga tidak setiap orang sanggup memikul marwahnya. Limpahan kelebihan dibanding orang kebanyakan itu mampu menjadikan seseorang jumawa serta melupakan tanggung jawabnya kepada rakyat banyak. Semakin berkuasa, kian berpengaruh, maupun bertambah mashur, semakin besar pula tanggung jawabnya—termasuk di dalamnya memberi keteladanan tentang perilaku sosial yang baik agar banyak orang selamat dari persoalan yang tak perlu dialami.
Sebaliknya, orang-orang yang tak sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya, ia akan terlena oleh besarnya pengaruh, kekuasaan, maupun kemashuran yang ia miliki. Ia mungkin terkejut betapa orang mengelu-elukannya. Bukannya hatinya merunduk, tapi ia malah merasa memilik hak untuk melakukan apapun yang orang banyak tidak diperbolehkan melakukannya.
Umpamanya saja, menggelar kegiatan yang berpotensi menarik orang untuk berjibun di satu tempat seolah-olah keadaan sedang normal sedia kala. Apakah ia lupa bahwa saat ini tengah pandemi? Bahwa sebagai figur magnetis—yang mampu menarik orang untuk datang secara sukarela ataupun terpaksa, ia seharusnya ingat akan tanggungjawabnya kepada orang banyak.
Sebagai figur terkemuka, mestinya ia juga tahu bahwa imbauan saja tidaklah cukup untuk membuat massa yang datang akan mematuhi protokol kesehatan. Massa akan cenderung berkerumun dan alpa, atau setidaknya kesulitan, menjaga jarak. Ketika berkerumun, orang banyak akan ‘berebut’ oksigen di udara, sehingga orang-orang merasa tidak nyaman mengenakan masker. Mereka mulai menarik masker ke bawah, mula-mula hingga ke mulut dan membiarkan hidung terbuka, lalu menariknya lebih ke bawah hingga dagu dan membiarkan hidung serta mulut tak terlindungi.
Perilaku kerumunan selalu memiliki potensi berlawanan dengan aturan yang berlaku—tidak terkecuali protokol kesehatan yang mengharuskan menjaga jarak, memakai masker sebagaimana mestinya [bukan sebagai penutup dagu, melainkan mulut dan hidung], mencuci tangan agar selalu bersih terlindungi. Perilaku berlawanan dengan protokol itu sangat mungkin terjadi, kendati tak selalu disengaja, karena itu tidak cukup ditegakkan hanya dengan imbauan, melainkan harus dengan pengaturan.
Bila merasa tidak mampu mengendalikan kerumunan lewat pengaturan, ya tidak usah menyelenggarakan acara yang mengundang kerumunan. Tidak usah mengadakan perhelatan perkawinan yang mengundang ratusan hingga ribuan orang, tidak usah mengadakan reuni ini dan itu, tidak usah mengadakan munas ini dan itu, tidak usah mengadakan kampanye pilkada tatap muka—mungkin kita belum lagi lupa bahwa pendaftaran pilkada September lalu pada umumnya dipenuhi banyak orang yang berdesakan, tidak usah mengadakan perayaan ulang tahun institusi dengan upacara ini dan itu, kongres ini dan itu, ataupun kirab ini dan itu.
Para dokter sudah berkali-kali mengatakan kita tak boleh abai, tak boleh kendor menegakkan protokol karena wabah belum usai, dan tak boleh meremehkan multiplier effect dari proses penularan dan penyebaran virus Corona. Satu orang yang terpapar dapat menularkan sejumlah orang yang berada di sekitarnya. Masing-masing orang di sekitarnya ini dapat menularkan kepada sejumlah orang lagi di tempat lain yang ia jumpai ketika ia berjalan menuju tempat tinggalnya; dan berpotensi menulari kerabat yang tinggal bersamanya. Tentu saja, kita percaya kepada perlindungan Allah, namun kita juga tetap harus berikhtiar.
Orang-orang yang merasa punya pengaruh, kuasa, ataupun kemashuran semestinya lebih punya tanggung jawab dalam ikhtiar menjaga keselamatan orang banyak. Ia dapat memanfaatkan kharisma dan pengaruh terhadap komunitasnya untuk melakukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencegah potensi penularan virus Corona. Mencapai tujuan yang baik mesti dibarengi dengan ikhtiar yang baik. Imbauan oleh orang yang berpengaruh mesti tetap disertai dengan tindakan penegakan protokol kesehatan. Tak ada pilihan lain, sebab Corona tidak memilah-milah mana acara tokoh masyarakat, pejabat publik, atau warga biasa dan wong cilik.
Pendeknya: ojo dumeh (jangan mentang-mentang) jadi tokoh masyarakat ataupun pejabat tinggi terus merasa boleh melakukan kegiatan apapun tanpa mengupayakan secara serius menjaga keselamatan hidup banyak orang. Bila tak sanggup, lebih baik tidak usah menggelar acara. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.