x

Bhineka

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 27 November 2020 12:52 WIB

Rindu Bhineka Tunggal Ika

Betapa rindu dan kangennya Bhineka Tunggal Ika itu hadir nyata dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan (tanda atau alamat untuk memberitahukan sesuatu), bukan slogan (perkataan atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa ada pihak-pihak yang begitu mudahnya terus membuat konflik dan perseteruan tak berujung di NKRI? Sungguh ini berbanding terbalik dengan pengorbanan para pejuang dan pahlawan berjuang yang merelakan darah dan nyawa demi Indonesia merdeka.

Membayangkan masa-masa sekolah zaman ketika saya masih SD, SMP, hingga SMA, rasanya masih lekat bagaimana para guru-guru di kelas selalu mengingatkan dan mendidik para muridnya tentang nasionalisme, rasa memiliki, rendah hati, sopan-santun, etika, dan luhur budi. Hingga bagaimana mencintai bangsa dan negeri ini yang berbhineka.

Setelah masa-masa itu lewat, sepertinya generasi sekarang tak dapat lagi menikmati masa-masa yang saya sebut indah itu. Banyak sekali faktor yang menjadi penyebab, hingga Bhineka Tunggal Ika, terasa semakin jauh menancap dalam pikiran dan hati generasi sekarang. Apa, Siapa, Mengapa, Kapan, di Mana, Bagaimana kisah Bhineka Tunggal Ika ini berubah menjadi sekadar slogan? Pasalnya, hal yang terkait Bhineka Tunggal Ika, kini justru menjadi bahan gorengan untuk cikal bakal semua sengkarut yang tiada pernah habis di negeri ini.

Satu di antara penyebab mengapa Bhineka Tunggal Ika, semakin tak merasuk dan melekat di hati segenap rakyat Indonesia adalah karena pendidikan yang terus terpuruk. Padahal melalui pintu pendidikan jiwa Bhineka Tunggal Ika akan terus bersemi hingga akhirnya terpatri.

Pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, kampus, juga di kehidupan sehari-hari mulai dari lingkungan RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Kota, Ptovinsi, hingga pemerintah pusat, sangat terasa tidak lagi menjadi kolaborasi yang solid, tapi justru seolah berdiri sendiri-sendiri dan tak saling menguatkan. Sebaliknya, kolaborasi saling mencipta konflik dan permusuhan terus disemai. Kehidupan di Indonesia, kini jauh dari cita-cita Bhineka Tunggal Ika.

Bhinneka Tunggal Ika bermakna berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari Buku atau Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Bhineka Tunggal Ika juga bermakna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air.

Wujud dari Bhineka Tunggal Ika itu dipersatukan oleh bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama. Kata Bhinneka Tunggal Ika juga terpatri pada lambang negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila, tepatnya di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Berikutnya, wujud penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut termaktub dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17 Oktober, diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No. II tahun 1951.

Makna Bhineka Tunggal Ika yang juga berarti keanekaragaman, meski perbedaan dan pertentangan, namun justru keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.

Degradasi Nasionalisme

Harapan agar Bhineka Tunggal Ika seperti cita-cita pendiri bangsa, nampaknya tanpa disadari kian terdegradasi. Sehingga sikap nasionalisme masyarakat pun kian merosot. Selalu bicara persatuan dan kesatuan bangsa, faktanya berseteru dan berkonflik kini menjadi tradisi dan budaya setiap waktu yang dipicu oleh apa pun masalahnya.

Dalam perkembangannya, tumbuhnya rasa persatuan bangsa (nasionalisme) sejatinya dapat ditelisik dari dua aspek. Pertama kekuasaan fisik (lahir), atau disebut juga kekuasan material berupa kekerasan, paksaan. Kedua kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide, dan kepercayaan-kepercayaan.

Dengan demikian, semakin tipisnya rasa nasionalisme yang berakar dari lunturnya sikap Bhineka di masyarakat, manakah di antara kekuasaan fisik atau bathin yang kini dominan menyerang hati dan pikiran rakyat akibat dari kekuasaan yang memimpin bangsa ini?

Sekali lagi, Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Sewajibnya, kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit, dan lain-lain.

Lebih dari itu, Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap daerah memiliki adat istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, bila tanpa adanya kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka tunggal Ika, maka akan terjadi berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang sekarang terus terjadi di Indonesia, terutama karena dipicu oleh konflik Pilkada dan Pilpres, hingga terus melebar dan melebar dan bersembunyi di balik kepentingan dan kepentingan yang terus menggelora dan sangat membahayakan disintegrasi bangsa.

Yah, kini terasa begitu mudahnya membuat konflik dan perseteruan di NKRI ini, berbanding terbalik dengan bagaimana para pejuang dan pahlawan berjuang dengan rela mengorbankan darah dan nyawa demi Indonesia merdeka.

Betapa rindu dan kangennya Bhineka Tunggal Ika itu hadir nyata dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan (tanda atau alamat untuk memberitahukan sesuatu), bukan slogan (perkataan atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler