Melepas senja menjamu malam,
aku bagai sekumpulan ombak,
yang tertatih-tatih di antara pelukan hampa,
yang dilupakan di antara batas-batas muara,
hingga tersesat pada dahan-dahan tajam di tepi jalan pulang.
Senja yang raib itu sepertinya lupa,
dan aku pun sama egoisnya untuk memulangkan mimpi,
di mana sepi bagaikan tunas-tunas layu,
dengan beraninya menjatuhkan rindu-rindu ini,
sampai pada titik diam yang tak bermakna.
Bersama sunyi dan ranting-ranting kering,
Kulahirkan asap dan cahaya,
Bertengger di ujung timur bak mahkota,
kokoh di kepalamu,
atas lelah tubuhku, akulah akar yang menelusuri keheningan.
Dari tanah menatap napas terakhir dengan tegak lurus,
tapi aku pohon yang tak bertunas,
biarlah Tuhan menamai diriku,
tak mau menjadi debu dang arang-arang hitam,
pada tumpukan semak-semak,
yang bersembunyi di tanah gersang ini.
Bersama musim yang datang terlambat,
rumah-rumah dengan dinding yang menjamur,
goyah dicumbu keramaian bintik-bintik amarah,
aku ingin pulang padaMu.
===
Atambua, 28 November 2020
Silivester Kiik : Penulis, Penggiat Literasi, dan Founder Sahabat Pena Likurai.
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.