x

Instan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 30 November 2020 17:16 WIB

Penyakit Sepak Bola Akar Rumput, Instan dan Gratisan

Sejak nama SSB diapungkan di Indonesia tahun 1999 secara resmi di bawah Direktur Pembina Usia Muda PSSI, Ronny Pattinasarani melalui Turnamen SSB perdana di Indonesia yang hanya dipilih 16 SSB terbaik di Jabodetabek, bernama Kid's Soccer Tournament 1999 di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojinegoro (GMSB) Kuningan Jakarta, hingga kini, saya mencatat berbagai SSB instan yang umurnya tak lama, karena pemilik dan pembinanya hanya sekadar gaya-gayaan, sekadar melayani anaknya, namun setelah anaknya lewat dari usia SSB, SSB instan yang didirikannya pun mati. SSB pelopor masih hidup Sebagai bukti, lihat 16 SSB yang dipilih oleh Ronny Pattinasarani masuk dalam turnamen perdana SSB di Indonesia oleh PSSI era kepemimpinan Agum Gumelar. Dari 16 SSB tersebut, di antaranya ASIOP, Bina Taruna, Mutiara Cempaka, Sukmajaya, Gala Puri, Bekasi Putra, Pelita Jaya, Jayakarta, BIFA, Pamulang, Harapan Utama, Bintaro Jaya, Bareti, Camp 82, Depok Jaya, dan Kemang Pratama. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kendati pandemi corona masih merajalela di Indonesia, meski PSSI juga masih belum mampu menjadi federasi yang duduk dalam fungsi dan tugasnya menggawangi pembinaan dan kompetisi sepak bola akar rumput (usia dini dan usia muda) sebagai pondasi sepak bola nasional, nyatanya sekadar uji tanding, trofeo, festival, hingga kompetisi di kelompok ini tetap membara.

Filanesia tak yambung dengan STy

Bahkan, kehadiran Shin Tae-yong (Sty) yang membawa misi meraih prestasi untuk timnas U-19/20 justru mengaburkan filosofi sepak bola Indonesia (Filanesia) yang digagas Danurwindo dan sudah termaktub dalam sebuah rujukan bernama Kurikulum Filanesia (meski masih wajib diperbaiki dan disempurnakan ) namun sudah dipraktikkan di sepak bola akar rumput Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehingga apa yang kini dikerjakan oleh STy pada Timnas U-19 memang tak nyambung dengan Filanesia. STy justru membangun Timnas U-19 dengan materi karakter, fisik, dan pola permainan 4-4-2 demi mengejar ketertinggalan anak-anak Indonesia agar lekas sejajar dengan irama dan kondisi sepak bola dunia.

Menyoal STy dan Filanesia yang tak seirama, memang wajib dipikirkan solusinya oleh PSSI termasuk memikirkan dan mengevaluasi materi kursus kepelatihan dari mulai lisensi D dan seterusnya agar nyambung dengan kebutuhan di lapangan dan perkembangan sepak bola modern.

Kembali ke masalah pembinaan dan kompetisi sepak bola akar rumput, wadah kompetisi yang dihelat pihak swasta justru wajib diacungi jempol.

Kendati dalam kondisi pandemi, wadah kompetisi sepak bola swasta yang justru banyak menyumbang pemain muda ke Timnas Indonesia, malah justru terus berjibaku mengelola dan membentuk calon pesepak bola nasional ada dalam wadah kompetisi mereka, di saat PSSI tak berkutik.

Kompetisi swasta terbaik

Bahkan wadah kompetisi sepak bola akar rumput yang masuk dalam catatan saya sebagai wadah terbaik di Indonesia bahkan mengalahkan PSSI, sudah menggulirkan Kompetisi, di antaranya Indonesia Junior League (IJL) yang menggawangi U-9, U-11, dan U-13 bahkan sudah kick off Kompetisi. 

Berikutnya, Liga TopSkor yang menempa U-12, 13, 15, 16, dan 17, malah sudah menyelesaukan babak play off untuk U-12. Kini sedang proses play off U-15 dan menyusul akan play off U-16. Artinya, saat hampir bersamaan, di akhir Desember dan awal Januari 2021, Liga TopSkor semua kelompok umur akan kick off.

Sementara, kompetisi Indonesia Junior Soccer League (IJSL) yang sangat identik dengan Sentul City sebagai venue kompetisi, baik panitia maupun peserta kompetisinya U-8, U-10, dan U-12, masih harus bersabar karena Sentul City juga masih ditutup.

Setali tiga uang, Liga Kompas Gramedia (LKG) pun juga masih harus menahan.diri karena situasi yang belum memungkinkan untuk bergerak dan berkompetisi seperti IJSL.

Di sisi lain, sepak bola akar rumput juga ada gairah baru, sebab akan lahir kompetisi baru bernama Jakarta League (JL) yang akan digulirkan awal Januari 2021. Mengakomodir pemain kelahiran 200/2009 dan 2005/2006, JL bertajuk Kompetisi U-13 dan U-15 dengan venue tetap di Lapangan Sintetis Mutiara Cempaka Jakarta.

Sayangnya, dengan wadah kompetisi liga swasta yang semakin lengkap, digarap dengan profesional dan terbukti saling berkolaborasi menghasilkan pemain nasional usia muda yang berkualitas, tetap tak dapat mencegah sikap negatif para pemilik/pembina, pelatih, dan para orang tua di masing-masing SSB/Akademi/Diklat yang tetap.menghalalkan segala cara demi menggaet siswanya tanpa melalukan pembinaan dan pelatihan yang benar.

Pendiri/pemilik/pembina tak bikin kacau

Harus diakui, semua peserta baik SSB/Akademi/Diklat yang terlibat dalam wadah kompetisi sepak bola swasta itu dapat "hidup" karena para orang tualah yang membiayai. Tanpa dukungan finansial dari para orang tua siswa, mustahil SSB/Akademi/Diklat dapat membiayai siswanya ikut berkompetisi.

Namun, karena kebutuhan pemain dan tim demi mengikuti kompetisi dan niat mencari prestasi, kini sudah mentradisi, sebuah SSB/Akademi/Diklat, pemilik/pembinanya menerima atau merekrut pemain "jadi" yang sudah di bina di SSB/Akademi/Diklat lain dengan iming-iming gratisan.

Siapa orang tua yang lantas merasa terbang ke awang ketika anaknya ternyata diminta gabung dengan tim SSB/Akademi/Diklat lain karena digaransi gratis, padahal kompetisi yang diikuti, wadahnya sama dengan kompetisi yang juga diikuti oleh SSB/Akademi/Diklat yang telah membina dan berjibaku sebelumnya. Dan, biasanya orang tua akan menggunakan seribu alasan meninggalkan SSB/Akademi/Diklat yang telah menampung anaknya demi bergabung dengan SSB/Akademi/Diklat yang menggaransi.gratisan.

Lebih miris, kini banyak bermunculan yang mungkin seperti Orang Kaya Baru (OKB), ada yang berasal dari trah sepak bola, ada yang sekadar tahu dunia sepak bola, pun banyak yang asing dari dunia sepak bola, gara-gara anaknya suka bola atau gara-gara untuk gaya-gaya an malah membentuk wadah SSB baru. Lalu, memaksakan diri dengan cara instan, merekrut siswa dengan iming-iming gratisan, pun merusak tatanan pembinaan, pelatihan, dan kompetisi yang diikuti oleh SSB/Akademi/Diklat yang sudah ada.

Sejak nama SSB diapungkan di Indonesia tahun 1999 secara resmi di bawah Direktur Pembina Usia Muda PSSI, Ronny Pattinasarani melalui Turnamen SSB perdana di Indonesia yang hanya dipilih 16 SSB terbaik di Jabodetabek, bernama Kid's Soccer Tournament 1999 di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojonegoro (GMSB) Kuningan Jakarta, hingga kini, saya mencatat berbagai SSB instan yang umurnya tak lama, karena pemilik dan pembinanya hanya sekadar gaya-gayaan, sekadar melayani anaknya, namun setelah anaknya lewat dari usia SSB, SSB instan yang didirikannya pun mati.

SSB pelopor masih hidup

Sebagai bukti, lihat 16 SSB yang dipilih oleh Ronny Pattinasarani masuk dalam turnamen perdana SSB di Indonesia oleh PSSI era kepemimpinan Agum Gumelar. Dari 16 SSB tersebut, di antaranya ASIOP, Bina Taruna, Mutiara Cempaka, Sukmajaya, Gala Puri, Bekasi Putra, Pelita Jaya, Jayakarta, BIFA, Pamulang, Harapan Utama, Bintaro Jaya, Bareti, Camp 82, Depok Jaya, dan Kemang Pratama. 

Ternyata Ronny tidak salah, sebab 16 SSB yang saya sebut sebagai SSB pelopor di Indonesia, sebagian besar hingga kini (22 tahun) SSB-SSB pelopor itu masih hidup dan bahkan beberapa makin bersinar. Meski ada yang tak terdengar lagi namanya, mungkin ada sesuatu alasan mengapa SSB bersangkutan tak hidup lagi. 

Namun, bisa saya pastikan, sebab saya ada dan menjadi bagian sejarah Turnamen dan munculnya secara resmi nama SSB di Indonesia oleh PSSI, maka para pendiri/pemilik/pembina 16 SSB pelopor itu memang berasal dari para insan yang benar-benar menjadi praktisi sepak bola. Membuka wadah SSB bukan untuk gaya-gayaan dan lagi "sok" kaya, pun bukan karena dan demi anaknya tapi demi masyarakat dan demi Indonesia, maka hingga saat ini masih bertahan, masih konsiten melakukan pembinaan, pelatihan, dan kompetisi, tak tergerus oleh hadirnya SSB/Akademi/Diklat baru yang terus bermunculan. Termasuk SSB instan yang merusak tatanan pembinaan karena mengimingi gratisan. Bukan menampung anak berbakat yang memang oramg tuanya tak mampu.

Inilah fakta pembinaan, pelatihan, hingga kompetisi yang terjadi dalam sepak bola akar rumput kita, yang sangat sulit di urai benang kusutnya, karena PSSI sendiri saya anggap tak mampu mengurus dengan benar sektor vital, sektor pondasi timnas ini. Sehingga, kasus-kasus munculnya SSB instan, perekrutan siswa instan dan gratisan, akan terus terjadi entah kapan.

Uniknya, kini para pemilik/pendiri/pembina/pelatih/orang tua SSB instan itu, justru sangat bermimpi anak-anak nya bisa masuk Timnas, karena memang tak paham atau tak mau tahu, fungsi dan tugas pembinaan sampai kompetisi sepak bola akar rumput itu apa. Miris.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler