x

MK

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 4 Desember 2020 12:54 WIB

Sampai Kapan Demokrasi Dibenturkan dengan Mahkamah Konstitusi?

Apa pun kebijakan dan UU yang akan terbit lagi, bila rakyat tak setuju, silakan ke MK. Mungkin, bila kisah nyata ini diangkat ke panggung drama, judulnya cukup "Tak Setuju, Silahkan ke MK". Sebab, pemerintah dan parlemen tak lagi bekerja dari, oleh, dan untuk rakyat. Bila demikian, lalu apakah DPR masih layak disingkat Dewan Perwakilan Rakyat, karena rakyat justru selalu dibenturkan dengan MK.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Sebagai negara demokrasi dan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat, tetapi rakyat selalu diarahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila tidak setuju dengan terbitnya kebijakan dan keputusan berupa Undang-Undang (UU) oleh pemerintah dan parlemen.

Tak perlu lagi diidentifikasi, berapa banyak UU yang diterbitkan, sebelumnya bahkan sudah didemonstrasi oleh rakyat karena suara rakyat tak didengar dalam melahirkan UU tersebut.

Sudah suara rakyat tak didengar, demontrasi yang bahkan lahirkan korban jiwa, tak digubris oleh sang penguasa. Malah banyak yang ditangkapi karena dianggap anarkis dan sebagainya, meski belakangan diketahui bahwa itu hanyalah skenario dalam rangka memuluskan UU tetap terbit dan berlaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aneh, rakyat tidak setuju dengan terbitnya UU, namun pemerintah dan parlemen memaksakan kehendaknya karena beban mereka bukan amanah untuk rakyat, tapi amanah kepada pihak aseng dan asing.

Lalu, mengarahkan rakyat menempuh jalur hukum. Seperti terbitnya UU Cipta Kerja, meski rakyat sampai berkali-kali demonstrasi, Presiden Jokowi bukannya merespin tuntutan rakyat, namun dengan enteng mempersilakan yang tidak setuju melakukan uji materi ke MK jika keberatan dengan UU Cipta Kerja padahal rakyat berkehendak Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan omnibus law itu.

Bahkan jauh sebelumnya, rakyat pun sudah berteriak dan seharusnya tidak sampai terbit UU Cipta Kerja, tidak perlu ada tuntutan terbit perpu. Tapi semua tak dianggap, dan ujungnya enteng sekali, rakyat yang tidak setuju untuk menuntut via MK.

Luar biasa, tradisi menempuh jalur ke MK rasanya kini memang sengaja dibudayakan oleh rezim sekarang. Pun rakyat juga tahu dan paham siapa yang ada di balik keberadaan MK.

Semua semakin menunjukkan bahwa suara rakyat tak lagi dibutuhkan oleh pemerintah dan parlemen. Mereka bekerja hanya demi untuk rezimnya, kelompok oligarkinya, dinasti politiknya, dan patuh kepada junjungan yang memberikan pendanaan.

Kedaulatan rakyat tak ada lagi harganya. Keadilan dan demokrasi hanya kata-kata yang tak membumi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas kondisi ini, memang sangat wajar bila pada akhirnya sejumlah tokoh menghadiri kegiatan dialog nasional secara virtual, sebab sikap pemerintah dan parlemen sudah tak seperti harapan rakyat.

Bahkan, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro sampai menilai bahwa kelompok seperti Alumni 212 bisa jadi tetap eksis ke depannya selama misinya belum terwujud. "Ke depan 212 bisa jadi tetap eksis selama misinya belum terwujud. Mereka tak hanya solid tapi akan tetap menjaga solidaritas antar mereka," ujar Siti Zuhro, seperti saya kutip dari SINDOnews, Rabu (2/11/2020).

Zuhro juga menambahkan, sistem demokrasi mensyaratkan adanya checks and balances antara legislatif dan eksekutif. Sistem demokrasi juga membolehkan dan memberi peluang adanya oposisi sebagai pengimbang penguasa.

Karenanya, societal forces (kekuatan sosial) atau kelompok strategis diperlukan untuk melakukan pressure terhadap pengambil kebijakan terkait kebijakan publik yang dinilai merugikan rakyat, serta bersikap kritis atas kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan rakyat.

Adanya akumulasi rasa kecewa dan tidak puas karena aspirasi rakyat yang tidak diakomodasi, meski sampai dalam wujud demonstrasi, lalu respon dan tanggapannya hanya mengarahkan agar rakyat menempuh jalur hukum ke MK bila tak setuju kebijakan dan UU yang diterbitkan, benar-benar menjadi tradisi dan budaya yang sangat memprihatinkan di negeri yang tajuknya negara demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat.

Sampai kapan, rakyat akan menerima kenyataan bahwa kedaulatannya sudah tak lagi berharga dan dihargai? Suaranya tak berarti dan tak didengar?

Di tengah pandemi corona yang terus menggila, "mereka" justru sedang bersiap menyambut pesta demokrasi untuk keluarganya, kerabatnya, dan golongannya, untuk duduk dalam dinasti dan oligarki, bukan pesta rakyat.

Pilkada terus dipuja, aspirasi rakyat tak lagi berharga, dan corona pun siap menyambut pesta pora semakin mewabahnya.

Lalu, apa pun kebijakan dan UU yang akan terbit lagi, bila rakyat tak setuju, silakan ke MK. Mungkin, bila kisah nyata ini diangkat ke panggung drama, judulnya cukup "Tak Setuju, Silahkan ke MK". Sebab, pemerintah dan parlemen tak lagi bekerja dari, oleh, dan untuk rakyat. Bila demikian, lalu apakah DPR masih layak disingkat Dewan Perwakilan Rakyat, karena rakyat justru selalu dibenturkan dengan MK.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu