x

cover buku Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 9 Desember 2020 06:02 WIB

Sofjan Wanandi dan Hubungan Panas-dinginnya dengan Tujuh Presiden RI

Buku ini sebenranya disiapkan untuk memperingati perkawinan emas Sofjan Wanandi dan isterinya Riantini “Kiauw” Sutedja. Tapi lebih jhauh f]dari itu, nyatanya halaman-halaman lebih banyak diisi kisah hubungannya dengan 7 presiden sepanjang republik berdiir. Inilah hubungan panas dingin Sofjan Wanandi dengan orang nomor satu di negeri ini beserta kisah-kisah menariknya. Kisah hidup Sofjan Wanandi ini membuktikan bahwa Tionghoa yang menekuni karir di bidang bisnis tetap bisa memberi sumbangan nyata bagi kemajuan NKRI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden

Penulis: Robert Adhi Ksp

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas                                                                         

Tebal: xiv + 306

ISBN: 978-602-412-394-9

Dari sekian banyak tokoh mahasiswa tahun 1966 yang saya kenal, saya baru membaca kisah Soe Hok Gie dan sedikit Cosmas Batubara. Padahal banyak tokoh yang menonjol yang berperan besar untuk menumbangkan Orde Lama dan membantu berkuasanya Orde Baru. Salah satunya adalah Sofjan Wanandi (SW) yang saat itu masih dikenal sebagai Lim Bian Koen. Beruntunglah saya karena akhirnya saya mendapatkan buku kisah hidup Lim Bian Koen yang ditulis oleh Robert Adhi Ksp. Buku ini disiapkan untuk menyambut 50 tahun pernikahan Lim Bian Koen dengan Riantini “Kiauw” Sutedja.

Meski buku ini disiapkan untuk acara ulang tahun pernikahan emas, namun isinya lebih banyak terntang hubungan SW dengan tujuh Presiden yang berinteraksi dengannya. Informasi tentang keluarga hanyalah pelengkap saja. Informasi tentang keluarga ada di bagian awal yang menjelaskan papa, kakek dan buyut Lim Bian Koen, masa kecilya di Sawahlunto dan Padang, saudara-saudaranya dan masa sekolahnya. Informasi tentang keluarga juga bisa dilihat di bagian akhir dimana istri, ketiga anak dan menantunya, serta cucu-cucunya menuliskan kesan tentang sosok SW. Di buku ini juga ada informasi tentang mengapa ia memilih nama Sofjan Wanandi. Nama Sofjan diusulkan oleh Duta Besar RI di Bulgaria, saat Lim Bian Koen berkunjung ke Sofia (Sofia menjadi Sofjan). Sedangkan Wanandi diambil dari kata Lim yang dalam Bahasa Sansekerta adalah “wana.” Nama Wanandi sudah terlebih dahulu dipakai oleh Jusuf Wanandi sang kakak sulung.

Interaksi Sofjan Wanandi dengan Presiden pertama terjadi karena SW menjadi salah satu tokoh demonstran yang menuntut dibubarkannya PKI, dirombaknya kabinet dan diturunkannya harga-harga yang saat itu melambung (Tritura). Perpindahannya kuliah ke Jakarta dari Bandung membuat SW aktif di kepengurusan Persatuan Mahasiswa Katholik Indonesia (PMKRI). PMKRi sangat aktif terlibat demo-demo mahasiswa selepas peristiwa G30S. Bersama dengan Cosmas Batubara yang memimpin PMKRI Pusat, SW yang saat itu memimpin PMKRI Jakarta beberapa kali mewakili mahasiswa untuk bertemu dengan berbagai pejabat, termasuk dengan Presiden Sukarno dan Suharto.

Terlihat jelas bahwa SW dan PMKRI berdemo untuk Tritura. Tidak ada maksud sedikitpun untuk menurunkan Sukarno. Namun dalam buku ini ada beberapa hal yang menarik yang diungkapkan oleh SW. Pertama, adalah tentang siapa yang mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Ternyata pendiri KAMI adalah Sjarief Thajeb yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Kedua, adalah tentang tuntutan penurunan harga bensin di depo Pertamina Tanjungpriok, yang esok harinya sudah langsung dipenuhi. Mahasiswa bertemu dengan Ibnu Sutowo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pertamina. Meski Ibnu Sutowo hanya berjanji untuk menyampaikan tuntutan mahasiswa tersebut, nyatanya esoknya harga bensin telah turun sesuai dengan harga yang dituntut oleh mahasiswa.

Ketiga, adalah pernyataan Suharto saat bertemu dengan perwakilan mahasiswa setelah penguburan Arief Rahman Hakim. Ketika Suharto dimarahi oleh SW karena tidak membela mahasiswa, Suharto menyampaikan: “Kalau kalian tidak percaya, jalan saja sendiri-sendiri. Kalau kalian mau jalan sendiri-sendiri, silakan saja. Pokoknya kalua kalian percaya ABRI, percayakan kepada saya. Kami yang akan tentukan waktunya. Saat ini Bung Karno masih kuat.” Pernyataan tersebut membuat saya berpendapat bahwa sudah ada kehendak untuk melengserkan Sukarno setelah peristiwa G30S.

Ketiga fakta yang diungkapkan oleh SW di atas menunjukkan bahwa ada orang-orang yang saat itu masih bekerja Bersama Sukarno tetapi tidak lagi mentaai garis kebijakan Sukarno.

Setelah Sukarno tumbang dan Orde Baru berdiri, SW menolak untuk dijadikan Menteri. SW memang konsisten menolak jabatan Menteri sejak dari era Suharto, Gus Dur, Megawati, SBY maupun Joko Widodo. Hanya pada era Joko Widodo, SW bersedia menjadi Staf Khusus Wakil Presiden. Ia dipilih untuk menjadi anggota DPR-GR. Dan kemudian aktif membantu Soedjono Hoemardani di Kantor Keuangan DPR-GR.

Peran SW di jaman Suharto adalah membantu loby-loby pihak Jepang. SW menjadi Asisten Pribadi Soedjono Hoemardani yang diberi tugas oleh Suharto untuk melakukan loby, sebelum Suharto mengirimkan utusan resmi. Soedjono Hoemardani dan SW sangat berhasil menghubungkan pengusaha-pengusaha Indonesia untuk berpartner dengan pengusaha-pengusaha Jepang. Atas keberhasilannya tersebut, baik Soedjono Hoemardani maupun SW mendapat penghargaan dari Pemerintah Jepang.

Selain dari melakukan loby-loby. SW juga berperan dalam mendirikan Center for Strategic International Studies (CSIS). CSIS mempunyai peran advisory yang luar biasa bagi pemerintahan Suharto. Tokoh-tokoh seperti Ali Murtopo, Hari Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi dan kemudian Daoed Joesoef adalah beberapa intelektual yang berperan besar di CSIS.

Namun justru karena saat peristiwa Malasri dia dituduh sebagai antek Jepang, makai a berketetapan untuk berhenti di politik praktis dan beralih menjadi pengusaha. Meski telah beralih menjadi pengusaha, namun semangatnya untuk membangun Indonesia tidaklah padam. Ia mendirikan beberapa perusahaan, mengorganisir para pengusaha untuk memberi kontribusi kepada negara.

Pada saat demo-demo dilakukan, SW menjadi dekat dengan tentara. Itulah sebabnya SW ingin membalas kebaikan tentara dengan membantu mengembangkan bisnis yang berada di bawah KOSTRAD. SW membantu mengelola perusahaan-perusahaan KOSTRAD dibawah delapan Pangkonstrad yang berbeda.

Sejak menjadi pengusaha, SW rajin membantu Orde Baru dalam memfasilitasi peran pengusaha dengan pemerintah. Ia Bersama dengan beberapa pengusaha sukses beberapa kali bertemu dengan Suharto. Pembahasan penyisihan 2% keuntungan perusahaan dan usulan penyerahan saham kepada koperasi adalah beberapa ide yang didialogkan antara pengusaha dengan penguasa. Pendirian Yayasan Prasetya Mulya yang berkontribusi di sector Pendidikan bisnis adalah upaya lain dari kelompok pengusaha untuk membantu negara. Pertemuan antara para pengusaha dengan penguasa tidak selalu berjalan mulus. Di pertemuan yang diselenggarakan di Tapos – Bogor, terjadi saling sindir antara Suharto dengan SW. Suharto menyindir bahwa modal SW hanyalah jaket kuning, sebelum menjadi konglomerat. SW membalas sindiran tersebut dengan kalimat yang tak kalah tajam: “Pak Harto hanya bermodalkan jaket hijau bisa menjadi Presiden.”

Sejak dari semula SW tidak setuju jika Habibie menjadi Wakil Presiden. SW dengan terbuka membawa isu ini kepada berbagai pihak, termasuk kepada Prabowo Subiyanto, yang adalah menantu Sang Presiden. Alih-alih mendapat dukungan, SW malah dibenci oleh Suharto. Suharto meminta Liem Sioe Liong untuk memecat SW dari Yayasan Prasetya Mulya. Pada jaman Habibie menjadi Presiden inilah SW merasa di kriminalisasi. Rezim Habibie mencari-cari kesalahan bisnis SW dan keluarganya. SW sampai harus menahan diri tidak pulang ke Indinesia, meski sebenarnya dia tidak takut untuk menghadapi proses hukum. Namun atas nasihat Gus Dur dan Benny Murdani, akhirnya SW tidak pulang ke Indonesia di masa Habibie menjadi Presiden.

Ketika Gus Dur menjadi Presiden, SW diminta untuk menjadi salah satu menteri bidang ekonomi. Namun seperti permintaan presiden sebelumnya, SW menolak. SW dilibatkan dalam pemilihan menteri, khususnya yang berasal dari keturunan Tionghoa oleh Gus Dur. Di masa Gus Dur inilah semua tuduhan kepada Sofjan Wanandi dihapuskan. Nama baik SW dipulihkan dengan diterbitkannya SP3 untuk semua kasus yang dituduhkan kepadanya.

Informasi menarik yang disampaikan oleh SW adalah tentang pemilihan Ali Alatas sebagai Menlu. Gus Dur memilih Ali Alatas karena Gus Dur memerlukan Menteri dari keturunan Arab untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gus Dur pasti berpikir bahwa kalua yang membuka hubungan diplomatik adalah seorang menteri keturunan Arab, maka gejolak umat Islam pastilah tidak setinggi jika yang Menlunya orang non Arab. Sayang sekali bahwa upaya Gus Dur untuk membuka hubungan diplomatik Indonesia – Israel akhirnya tidak berhasil.

SW berperan sebagai Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional yang dibentuk oleh Aburizal Bakri yang saat itu menjadi salah satu Menko di era Megawati. Selama Megawati menjadi Presiden, peran SW tidak langsung bersinggungan dengan kekuasaan. Jarak antara SW dengan Megawati ini mungkin disebabkan oleh persepsi Megawati yang tidak suka dengan Angkatan 66 yang dianggap menumbangkan rezim bapaknya (demikianlah pandangan SW).

Saat Megawati masih menjabat, SW sudah mulai mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden. Setahun sebelumnya, tepatnya di sebuah pertemuan di Bali pada tahun 2023, SW telah menggalang dukungan kepada SBY, dengan syarat SBY menggandeng pengusaha sebagai wakilnya. Mula-mula Aburizal Bakri yang disodorkan. Tetapi karena Aburizal merasa percaya diri mencalonkan diri melalui Golkar, maka akhirnya Jusuf Kalla (JK) yang dimajukan. SW memang sangat dekat dengan JK. Pada pemerintahan SBY-JK inilah SW akhirnya mau masuk ke dalam pemerintahan. SW tetap menolak untuk dijadikan menteri. Namun SW membantu SBY-JK untuk mencari menteri, khususnya menteri dari keturunan Tionghoa. Setelah gagal mengajak Teddy Rachmad, akhirnya Marie Pangestu menjadi pilihan untuk mewakili golongan Tionghoa di Kabinet SBY-JK.

Hubungan SW dengan JK memang sangat dekat. Mereka sudah berkawan sejak tahun 1966, Ketika sama-sama menjadi aktifis mahasiswa. SW di Jakarta dan JK di Makkasar. Mereka berdua sama-sama pengusaha. Itulah sebabnya, ketika keduanya masuk dunia politik, mereka berdua sangat dekat. Selain dari memasangkan JK dengan SBY, SW juga mendampingi JK yang merasa dikhianati oleh SBY di pemilu 2009. JK yang merasa sudah pasti akan diajak Kembali, ternyata ditinggalkan.

SW berperan untuk melobi Megawati supaya Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu menjadi Walikota Solo dibawa ke Jakarta untuk berkontestasi dengan Fauzi Bowo. Demikian pun saat mengajukan Jokowi ke kursi RI 1. Pemilihan JK sebagai wakil Jokowi salah satunya adalah peran dari SW. Meski dianggap memiliki peran penting dalam kesuksesan Jokowi-JK, namun SW sekali lagi menolak untuk duduk dalam pemerintahan. Tetapi ia tak bisa menolak saat JK memintanya menjadi Staf Ahli Wakil Presiden.

SW adalah pihak yang memberikan usul kebijakan Tax Amnesty. Kebijakan di era Jokowi ini memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia. Terutama kepada kepercayaan dunia bisnis nasional dan internasional kepada rejim Jokowi-JK di bidang kebijakan ekonomi.

Kisah hidup Sofjan Wanandi ini membuktikan bahwa Tionghoa yang menekuni karir di bidang bisnis tetap bisa memberi sumbangan nyata bagi kemajuan NKRI. Sebab sektor ekonomi adalah salah satu sektor penting dalam menjaga tegaknya negara. (551)

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB