x

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi 1

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Senin, 14 Desember 2020 12:39 WIB

Diharapkan Jadi Solusi, Sejumlah Problem Malah Muncul dalam Pilkada Serentak

Sejak pertama kali digelar pada 2005, Pilkada belum berhasil melahirkan kepala daerah berkualitas. Bahkan Pilkada melah melahirkan segudang permasalahan baru. Praktik politik uang, konflik, sengketa, bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada. Ratusan lebih kepala daerah dan mantan kepala daerah menjadi tersangka atau dipidana dalam perkara korupsi. Pilkada lalu dilakukan serentak guna menepis semua persoalan itu. Berhasilkah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah digelar pertama kali sejak 2005, pemilihan kepala derah (Pilkada) belum berhasil melahirkan atau memunculkan kepala daerah yang berkualitas. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah tidak hanya melahirkan pemimpin-pemimpin baru hasil pilihan rakyat, tetapi juga melahirkan segudang permasalahan baru.

Praktik politik uang yang semakin massif, konflik, sengketa, bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada. Memang, kondisi ini tidak terjadi di semua daerah, karena ada kepala daerah hasil Pilkada yang berhasil memimpin daerahnya. Namun, jika melihat data bahwa sejak 2004, sudah ratusan lebih kepala daerah dan mantan kepala daerah menjadi tersangka atau dipidana dalam pelbagai perkara korupsi yang tiap tahun terus meningkat.

Hal ini tentu  menjadi problem tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga Pilkada perlu dibenahi secara komprehensif. Selain itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah disinyalir menjadi salah satu pangkal terseretnya para kepala daerah dalam pusaran penyelewengan anggaran. Permasalahan Pilkada yang semakin menyeruak ini kemudian oleh Kementerian Dalan Negeri –mengambil inisitif untuk menata Pilkada melalui Pilkada serentak sebagai pintu masuk untuk menata sistem penyelenggaraan Pilakda secera menyeluruh agar jauh lebih baik dan efisien.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aturan Pilkada yang selama ini dititipkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dirasa tidak mampu menjawab tantangan dan problematika Pilkada yang semakin kompleks. Untuk itulah saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dengan UU baru ini, diharapkan Pilkada bisa lebih maju, lebih baik, dan lebih sempurna. Bahkan diharapkan bisa mengurangi serta menghilangkan semua masalah-masalah yang muncul dalam Pilkada. Karena permasalahan terbesar dalam pelaksanaan Pilkada selama ini adalah –belum berhasil melahirkan dan memunculkan pemimpin kepala daerah yang berintegritas, berkualitas, bebas korupsi.

Persoalan lainnya ongkos Pilkada terlalu tinggi (biaya penyelenggaraan dan biaya yang harus dikeluarkan pada calon), kerap terjadi politisasi dalam jabatan birokrasi, praktik politik uang yang semakin massif, dan banyak persoalan lainnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berjalan efektif.

Beranjak dari berbagai problem dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, maka perlu dilakukan berbagai langkah konsolidasi dalam berdemokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan upaya dinamis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas demokrasi (baca: pemilu/pilkada). Setidaknya, saat ini kita dihadapkan pada tiga fenomena sosial yang mengharuskan adanya evaluasi atas sistem, kultur, dan aturan berdemokrasi.

Pertama, sistem demokrasi dalam konteks pemilihan kepala daerah yang menggantungkan kedaulatan rakyat ternyata tidak selalu menghasilkan kepala daerah yang bertindak sesuai aspirasi rakyat. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan cenderung tidak stabil, tidak efektif dan cenderung terjadi politisasi jabatan dalam birokrasi. Ketiga, berjalannya demokrasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Problem ini perlu dipikirkan langka-langkah perbaikan dan pembenahan sistem Pilkada itu sendiri dalam kontek  demokrasi  Indonesia,  khususnya  demokrasi  Pancasila  yang sesuai  dengan kultur dan idelologi bangsa Indonesia.

Terkait dengan berbagai problem Pilkada ini, maka paling tidak terdapat beberapa problem yang mengecewakan terkait dengan pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Pertama; Pilkada selalu disertai dengan konflik masyarakat, mulai dari tahap pencalonan dan bahkan berlanjut pasca Pilkada. Konflik memang merupakan bagian dari demokrasi, tetapi konflik yang berkepanjangan dan mengarah pada kekerasan dan terhentinya pemerintahan tentu sangat merugikan dan mencederai makna demokrasi itu sendiri, khususnya makna demokrasi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Kedua; politik uang (money politic) selalu “tercium” dalam setiap pelaksanaan Pilkada dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Politik uang yang sejatinya merupakan proses suap-menyuap (gratifikasi) telah bergeser menjadi kewajaran, baik bagi calon maupun masyarakat. Pada masa Orde Baru, memang sangat mungkin juga terjadi politik uang, namun saat itu hal tersebut masih dilakukan secara tersembunyi. Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki oleh rakyat. Sebaliknya, para calon terpilih pun lebih memerhatikan kepentingan sendiri daripada kepentingan rakyat. Karena merasa sudah “membeli” suara rakyat, tidak ada hubungan lagi antara kepada daerah terpilih dengan rakyat pemilih. Jual-beli sudah selesai.

Politik uang mengakibatkan pelaksanaan Pilkada menjadi sangat mahal bagi pasangan calon. Padahal, dari sisi pelaksanaan Pilkada tentu membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Apalagi jika harus dilakukan dalam dua putaran, serta kemungkinan pemungutan suara ulang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketiga; terjadi politisasi birokrasi baik menjelang Pilkada maupun sesudah Pilkada. Hal ini mengakibatkan kekacauan dalam dunia pegawai negeri sipil (PNS) di daerah, di mana birokrasi dipaksa oleh politik Pilkada untuk main taktik dalam pemilihan sehingga menjadi tidak netral dan professional. Saat pemilihan usai, pegawai yang dianggap tidak memihak calon yang menang akan di nonjob-kan semua dari jabatannya, sedangkan yang dianggap memihak akan diberi kedudukan padahal tidak sesuai    dengan    kompetensinya.    Bayangkan    bagaimana    pemerintahan    diurus berdasarkan koncoisme seperti itu. Ini sangat serius dan tidak boleh terjadi lagi dalam Pilkada-Pilkada kedepan, jika pemerintah konsisten menata Pilkada ini dalam konteks demokrasi Pancasila kedepan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Keempat, walaupun telah dilakukan Pilkada secara langsung, ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah, termasuk kemajuan demokrasi. Tidak banyak daerah yang mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan. Beberapa daerah memang mengalami kemajuan cukup fenomental di bawah kepemimpinan kepala daerahnya, namun lebih banyak lagi yang jalan di tempat. Bahkan, beberapa daerah yang memiliki potensi ekonomi dan sumber daya alam yang besar, ternyata tak kunjung mengalami kemajuan.

 

Ditulis Oleh: SAPARUDDIN

Panitia Pemilihan Kecamatan Rao Utara Kabupaten Pasaman

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB