x

cover foto Eddie Lembong

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 15 Desember 2020 12:30 WIB

Eddie Lembong - Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati

Peran Eddie Lembong dalam industri obat di Indonesia dan dalam penyerbukan antarbudaya dalam rangka memperkuat Kebangsaan Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Eddie Lembong – Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati

Penulis: Bonnie Triyana

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas                                                                         

Tebal: x + 318

ISBN: 978-979-709-603-8

Buku “Eddie Lembong – Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati” karya Bonnie Triyana ini menggambarkan bagaimana sosok seorang Tionghoa yang berjuang di jalur produksi dan perdagangan obat dan perannya dalam membangun bangsa. Nation Building. Bonnie Triyana menempatkan gagasan Penyerbukan Silang Antarbudaya di bab pertama. Cara ini jelas tidak lazim dalam penulisan biografi seorang tokoh. Namun cara ini justru membuat buku ini menjadi sangat menarik. Sebab dengan demikian meletakkan Sang Tokoh, yaitu Eddie Lembong tepat pada peran utamanya. Eddie Lembong memang seorang tokoh yang getol memperjuangkan multikulturaisme. Bagi Eddie Lembong, multikulturalisme dengan cara penyerbukan silang antarbudaya adalah saca ampuh untuk memperkuat Bangsa Indonesia sehingga menjadi bangsa yang maju.

Eddie Lembong dilahirkan di Desa Palasa, Tinomba Sulawesi Utara pada tanggal 30 September 1936. Anak kelima pasangan Joseph dan Maria Lembong ini menghabiskan masa kecilnya di Tinombo - Gorontalo dan Manado. Eddie Lembong sempat bersekolah SMA di Jakarta, tetapi kemudian menyelesaikan SMA-nya di Manado. Saat bersekolah SMA di Jakarta inilah langkah keindonesiaan Eddie Lembong berawal. Ia mengusulkan supaya SMA Pei Hwa - dimana dia bersekolah, menjadi sekolah nasional. SMA Pei Hwa adalah sekolah eksklusif Tionghoa. Direktur SMA Pei Hwa menyetujui usulan Eddie Lembong. Padahal saat itu Eddie baru duduk di kelas 1 SMA.

Setelah menamatkan SMA di Manado, Eddie Lembong melanjutkan kuliah di ITB. Ia masuk jurusan farmasi pada tahun 1957. Saat itu ITB masih berstatus sebagai Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Dari sinilah awal kecintaannya pada dunia obat-obatan tumbuh. Eddie berpesan besar dalam menyelesaikan masalah langkanya diktat yang dihadapi oleh para mahasiswa. Ia mengupayakan pencetakan diktat yang saat itu jumlahnya sangat terbatas, sehingga semua mahasiswa bisa mendapatkan akses terhadap diktat dengan harga murah. Eddie juga membenahi perpustakaan jurusan dengan mendatangkan buku-buku bermutu dari Amerika. Eddie akhirnya memilih untuk mengajar di almamaternya. Ia juga berjuang supaya lulusan jurusan farmasi ITB mendapatkan gelar Drs, bukan sekadar gelar Apoteker saja.

Pada saat kuliah, Eddie sekali lagi menyaksikan perseturan ras yang luar biasa. Perebutan kursi saat kuliah seringkali berakhir dengan pertengkaran bernuansa ras. Namun Eddie berhasil membangun pertemanan lintasras yang membuatnya diterima di semua kalangan. Itulah sebabnya, ketika terjadi kerusuhan ras di Bandung pada 10 Mei tahun 1963, Eddie selamat.

Aktifis Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) ini akhirnya memilih untuk terjun di dunia bisnis obat dan meninggalkan posisinya sebagai akademisi. Ia memilih bergabung dengan PT. Wigo yang hamper bangkrut daripada bergabung dengan perusahaan obat internasional. Eddie Lembong berhasil mengangkat PT. Wigo menjadi sehat Kembali. Saat kebijakan Penananam Modal Dalam Negeri (PMDM) diterapkan di Indonesia, Eddie Lembong mendirikan PT. Pharos. Di awal berdirinya, Pharos mengalami masalah keuangan yang parah. Namun ketekunan Eddie membawa Pharos berkembang menjadi perusahaan obat yang sehat. Strategi untuk memperluas jaringan pemasaran dan mengikuti perkembangan teknologi industri farmasi membuat Pharos bisa berkembang. Ketika pembatasan impor obat diterapkan pada tahun 1974, banyak perusahaan obat asing yang mencari mitra dalam negeri supaya tetap bisa memasarkan obatnya di Indonesia. Saat itulah Pharos dipercaya oleh perusahaan obat asing Glaxo Wellcome. Perusahaan obat asing lainnya kemudian menyusul bekerjasama dengan Pharos. Keberhasilan Pharos sebagai pabrik obat terkemuka bukan saja karena jaringannya luas, tetapi juga karena ada divisi riset yang kuat dan penggunaan mesin termutakhir.

Eddie Lembong memiliki peran yang unik dalam panggung farmasi Indonesia. Perannya sebagai penghubung antara pengusaha obat dengan Pemerintah ini bisa ditafsirkan lain oleh berbagai pihak. Eddie disangka sebagai seorang peloby yang menguntungkan para produsen obat. Namun sesungguhnya Eddie berupaya mecari titik tengah antara kebijakan Pemerintah dalam mengupayakan harga obat yang terjangkau dengan beban pengusaha obat yang memerlukan biaya riset yang tidak murah. Melalui Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Eddie selalu berupaya untuk membicarakan konsen Pemerintah dan konsen para pengusaha obat sehingga bisa dicapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. GPFI mewakili empat pihak, yakni pabrik obat, distributor, apotek dan took obat berizin.

Persoalan beda pandangan tentang harga obat terjadi sejak awal Orde Baru. Terbukanya perusahaan asing bermitra dengan perusahaan lokal di awal 1970-an telah membuat persoalan kelangkaan obat bisa diatasi. Namun persoalan baru muncul, yaitu melambungnya harga obat. Pada tahun 1978, ketika terjadi devaluasi rupiah, seharunya harga obat ikut turun. Tetapi yang terjadi adalah harga obat malah semakin melambung. Pemerintah menuduh pengusaha obat mau untung sendiri, sementara pengusaha obat merasa beban biaya produksi semakin besar, karena bahan baku obat harus diimpor. Pemerintah mewajibkan pengusaha obat untuk mendaftarkan komponen pembentuk harga. Eddie berhasil mengusulkan supaya pendaftaran obat sudah disertai dengan harga-harga yang telah diberlakukan oleh produsen sebelum dilepas ke pasaran.

Gesekan antara Pemerintah dengan produsen obat Kembali terjadi di tahun 1980-an. Pada tahun 1980 Pemerintah menerapkan konsep Obat Esensial dari WHO. Kebijakan ini mewajibkan produsen obat untuk mendaftarkan semua jenis obat dan komponen pembentuk harga. Namun Pemerintah tidak mengeluarkan bentuk mekanismenya, sehingga dianggap oleh produsen obat justru akan menghambat penyesuaian harga obat. Selain mengawasi harga obat, Pemerintah mengeluarkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Pemerintah memproduksi sendiri obat generik tak bermerk. Namun kedua kebijakan ini tidak berjalan baik. Kegagalan DOEN adalah karena Pemerintah tidak memperhitungkan para dokter yang enggan menulis resep obat generic. Lagipula distribusi produsen obat Pemerintah tidak seluas produsen obat swasta. Kebijakan berikutnya, yaitu kebijakan Informasi Harga Obat (IHO) mengalami nasip yang sama. Gagal. Eddie kemudian mendekati Dirjen POM supaya kebijakan tersebut direvisi, alih-alih ditetapkan dua kali setahun, Eddie menyarankan supaya diperbarui setahun sekali, serta produsen obat diijinkan menyesuaikan tarif. Imbalannya GPFI membantu mengumumkan penyesiuaian harga obat kepada anggotanya.

Investigasi Majalah Tempo tentang penyuapan dokter dari produsen obat di tahun 1984 membuat geger dunia farmasi Indonesia. Dirjen POM kemudian membuat kebijakan untuk memproduksi 34 paling esensial. Namun kebijakan tersebut terkendala ketidak-siapan pabrik obat milik negara. Eddie datang kepada Midian Sirait yang saat itu menjadi Dirjen POM untuk mendiskusikan hal tersebut. Pada tahun 1986, sekali lagi Pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengendalikan harga obat. Kali ini Pemerintah membentuk Panitia Pengkajian Kerasionalan Penggunaan dan Harga Obat. Panitia yang anggotanya meliputi pemerintah, GPFI, IDI, IDGI dan ISFI. Sekali lagi Eddie datang untuk melakukan loby. Eddie menawarkan supaya produsen obat boleh mengambil untung maksimal 15%. Usulan ini disetujui.

Selain sebagai peloby ulung yang berupaya mencari jalan tengah antara kepentingan Pemerintah dan kepentingan produsen obat, Eddie juga sering diajak oleh Departemen Kesehatan dalam pertemuan-pertemuan farmasi tingkat internasional.

Sebagai seorang produsen obat, Eddie Lembong juga berperan besar dalam pengadaan vaksin hepatitis. Melalui Pharos, Eddie mengimpor vaksin rekombinan untuk mengatasi masalah hepatitis B di Indonesia. Vaksin hepatitis B jenis mutakhir ini ternyata direspon baik oleh masyarakat.

Sekarang, mari kita lihat peran Eddie Lembong dalam memperkuat mata rantai kebangsaan. Eddie Lembong adalah pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Dilatarbelakangi oleh peristiwa Mei 1998, Eddie Lembong bersama dengan kawan-kawannya mendirikan INTI pada tanggal 5 Februari 1999. INTI didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi manusia, egaliter, pluralis, inklusif dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain menyelesaikan ‘masalah Tionghoa’ di Indonesia, menuju terwujudnya Kebangsaan Indonesia yang kokoh, rukun Bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai dan saling percaya. INTI memprakarsai seminar-seminar kebangsaan, menjalin Kerjasama dengan berbagai universitas dan penerbitan buku-buku yang mendorong tumbuhnya Kebangsaan Indonesia yang lebih solid.

Selepas mengomandani INTI, Eddie Lembong mendirikan Yayasan Nation Building (NABIL). Melalui Yayasan NABIL inilah Eddie Lembong menuangkan gagasannya tentang penyerbukan silang antar budaya dituangkan dalam kegiatan-kegiatan. Yayasan yang berdiri pada tanggal 30 September 2006 ini memberikan penghargaan (NABIL Award) kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa besar dalam memecahkan masalah Tionghoa di Indonesia. Pemberian award ini tidak terbtas kepada orang Indonesia saja, tetapi juga tokoh-tokoh dari luar Indonesia tetapi mempunyai peran besar dalam memberikan sumbangan untuk memecahkan masalah Tionghoa di Indonesia. Itulah sebabnya nama-nama Claudine Salmon, Mary Somers dan Carles Coppel pernah mendapat penghargaan dari NABIL. Peran pengadaan buku bacaan yang mendorong terciptanya Kebangsaan Indonesia yang lebih solid, yang telah dimulai di INTI, diteruskan oleh Eddie Lembong di Yayasan NABIL. Yayasan NABIL banyak memberikan bantuan untuk penerbitan dan distribusi buku-buku tersebut.

Pandangannya tentang kebhinnekaan diwujudkan saat Yayasan NABIL mempelopori pengajuan gelar Pahlawan Nasional untuk John Lie dan A.R. Baswedan. Pemerintah akhirnya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada dua orang berbeda etnis tersebut. John Lie beretnis Tionghoa, sementara A.R. Baswedan beretnis Arab.

Eddie Lembong memang mencintai tanah air sepenuh hati. Baik saat ia menjadi akademisi, menjadi produsen obat maupun saat menjadi tokoh Tionghoa. Semoga sumbangan Eddie Lembong, yaitu peyerbukan antarbudaya dalam rangka memperkuat Kebangsaan Indonesia bisa terus berlanjut, sampai akhirnya Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berkebudayaan.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB