x

Pengendara melintas di depan mural (gambar dinding) tentang Pemilu 2019, di Jalan Samudera, Padang, Sumatera Barat, Selasa 12 Februari 2019. Mural tersebut mengajak warga untuk mensukseskan Pemilu pada 17 April 2019 dengan dengan berpartisipasi dan tidak \x22golput\x22. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 17 Desember 2020 15:37 WIB

Golput Unggul di Kota Depok dan Kota Medan; Bagaimana Masa Depan Pilkada?

Setelah di Kota Depok, golpuit juga mengungguli pemenang Pilkada di Kota Medan. Ini membuktikan warga tak lagi percaya pada Pilkada. Kita tunggu bagaimana dengan warga golput di daerah lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Golput

Pilkada tak menarik bagi warga Kota Depok, karena pemenangnya adalah golongan putih (golput). Ternyata di Kota Medan pun golput menjadi pemenang, bahkan jauh meninggalkan golput Kota Depok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasil rekapitulasi penghitungan suara usai pleno penetapan hasil rekapitulasi di Santika Dyadra Convention Center Medan, Selasa, 15/12, malam menetapkan Bobby-Aulia memperoleh 393.327 suara atau 53,45 persen dari suara sah. Sementara pasangan nomor urut 1, Akhyar Nasution-Salman Alfarisi, hanya memperoleh 342.580 suara atau 46,55 persen.

Raupan suara sah dari dua Paslon dalam Pilkada kali ini memang mencapai total 735.907 suara, yang tidak sah 12.915 suara, sehungga total 748.882 orang menggunakan hak pilihnya. Namun, meski jumlah pemilih dua Paslon di gabung, tetap saja tak mampu mengalahkan si golput. Pasalnya, orang yang tidak memberikan suaranya di Kota Medan, kembali 'menang' pada pilkada kali ini, yaitu mencapai 886.964 orang atau 54,22 persen dari 1.635.846 total pemilih.

Uniknya, meskipun golput di Kota Medan hampir dua kali lipat dari Kota Depok, tetapi angka golput 54,22 persen ini ternyata membaik dibanding Pilkada 2015. Saat itu orang yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 74,44 persen. Luar biasa.

Kendati demikian bila melihat catatan warga Kota Medan yang menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2010 yang hanya 38 persen, lalu Pilkada 2015, hanya 25 persen, dan Pilkada 2020 mencapai 46 persen, sebenarnya dari kenaikan margin partisipasi naik. Namun, target nasional 77,5 persen tetap jauh dari harapan.

Bila kali ini si golput di Kota Depok satu di antara sebabnya karena Kota Depok hanya jadi tempat berKTP dan numpang tidur warganya karena kebanyakan bekerja di Jabotabek, berangkat pagi pulang malam, sehingga kurang rasa memiliki dan sebab lainnya tentu memang karena Pikada sudah tak menarik bagi mereka.

Ternyata di Kota Medan si golput bahkan sudah dalam tiga periode Pilkada terus menjadi pemenang. Tentu saja alasan si golput ini pun menjadi terbaca bahwa Pilkada memang tetap tidak menarik bagi warga Kota Medan. Dalam tiga periode Pilkada itu, jangankan mencapai target nasional, mencapai 50 persen saja susah.

Pilkada tak menarik, apa masalahnya?

Dari dua kota yang sudah terbukti pemenangnya adalah si golput, bukan tidak mungkin akan menyusul di kota atau kabupaten lain. Tetap dominannya golput di setiap kota dan kabupaten dalam Pilkada kali ini dapat dijadikan indikasi pemerintah dan Partai Politik terbukti gagal menarik simpati rakyat.

Bahkan rangkaian pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang diawali dengan pendaftaran para calon dan sempat memunculkan persoalan adanya pasangan calon tunggal di beberapa daerah. Hal itu benar-benar menjadi bukti bahwa ajang pilkada tidak menarik lagi.

Atas kondisi ini sangat jelas bahwa partai politik telah gagal dalam melakukan kaderisasi yang baik sehingga tidak melahirkan banyak calon kepala daerah. Selain itu,  partai politik juga gagal dalam meyakinkan tentang dirinya kepada rakyat.

Di sisi lain, fakta bahwa lebih dari 92 persen Paslon dalam Pilkada 2020 telah dibiayai oleh cukong seperti diungkap oleh Menkopolhukam dan sudah saya tulis di artikel-artikel sebelumnya, tentu juga menambah keyakinan warga untuk tak perlu datang ke TPS.  Untuk apa datang ke TPS dan mencoblos calon pemimpin daerahnya, namun calon pemimpin tersebut dipastikan akan lebih memikirkan balas budi dan amanah kepada cukong, bukan kepada rakyat?

Selama ini, sejak nama cukong belum mencuat menjadi pemodal para calon pemimpin daerah di NKRI, rakyat pun sudah jengah kepada para pemimpin. Karena mereka hanya butuh suara rakyat saat Pilkada maupun Pilpres demi memperoleh kursi. Faktanya, setelah kursi di dapat, mereka bahkan tak lagi mau mendengarkan suara rakyat. Apalagi amanah terhadap penderitaan dan kesusahan rakyat. Yang ada para pemimpin ini sibuk dengan urusan dirinya, keluarganya, partainya, hingga para pemodal, dan melupakan rakyat yang telah mengantarnya duduk di kursi pemimpin.

Setelah warga Kota Depok dan Kota Medan,  kita tunggu bagaimana dengan warga golput di daerah lain. Karena di dua kota itu terbukti bahwa banyak yang tak lagi percaya dengan Pilkada.

Bila nanti warga golput mendominasi Pilkada , terlepas dari masalah corona, maka perlu dipikirkan oleh Indonesia soal kekecewaan rakyat yang begitu mendalam kepada para pemimpin tak amanah. Cara-cara Pilkada untuk memilih pemimpin sepertinya akan semakin tak laku lagi.

Indikasi golput juga bukan karena corona, di Kota Medan, jumlah warga yang datang ke TPS kali ini lebih banyak di banding Pilkada 2010 dan 2015, si golput tetap unggul.



Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB