x

tak konsisten

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 25 Desember 2020 05:38 WIB

Prabowo-Sandi Tak Konsisten, Rakyat Semakin Enggan Berpolitik

Sikap inkonsisten Prabowo-Sandi menjadi pendidikan buruk dalam perpolitikan bangsa. Masyarakat pun akan semakin menjauhkan diri dari dari politik,. Mereka jelas akan kapok dengan pilihannya selama ini. Sebab setelah dibela hingga berdarah-darah, akhirnya justru mau bergabung dengan lawan-lawan politiknya mencicipi ikut berkuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masuknya Sandiaga Uno menyusul Prabowo ke dalam kabinet Jokowi, yang menjadi lawan dalam Pilpres 2019, masih terus menjadi perbincangan hangat berbagai pihak. Dari perbincangan tersebut mengemuka pilihan kata tentang tidak konsisten atau inskonsistensi.

Pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam, kepada awak media, Selasa, 22/12, mengungkapkan Sandiaga Uno yang akhirnya mau jadi menteri Jokowi, menjadikan lengkapnya deretan politisi yang tidak konsisten atas pilihan politiknya.

Lebih dari itu, masyarakat juga banyak yang kecewa bukan pada masalah jabatan menjadi abdi negara dan duduk di pemerintahan, namun pada sikap pribadinya. Hal ini karena mereka sebagai duet justru dicatat telah inkonsisten setelah Pilpres 2019.

Sikap inkonsisten Prabowo-Sandi menjadi pendidikan buruk dalam perpolitikan bangsa. Masyarakat pun akan semakin menjauhkan diri dari keengganannya kepada politik. Mereka jelas kapok dengan pilihannya, sebab pada akhirnya setelah dibela hingga "berdarah-darah", justru mau bergabung dengan lawan-lawan politiknya.

Buntutnya, atas sikap Prabowo-Sandi yang juga dianggap "tak punya muka dan merendahkan diri", rakyat Indonesia pun digaransi akan kapok memilih partainya dalam semua kontestasi politik baik Pilkada, Pileg, maupun Pilpres.

Lebih kasar, masyarakat juga banyak yang menyatakan sudah tidak lagi simpati kepada pemimpin yang tidak konsisten dalam pilihan politik yang diambilnya. Meninggalkan para pendukungnya yang telah mati-matian membelanya, namun keduanya justru dengan tanpa perasaan meninggalkan sekaligus mengambil kesempatan yang ditawarkan "lawan" demi "kepentingan dan ambisi".

Di sisi lain, para pendukung dan simpatisan Jokowi pun banyak yang kecewa, karena persaingan yang membuat perseteruan tak berujung akibat Pilpres hingga kini tetap membara, seperti dilupakan oleh Jokowi, dengan merekrut musuhnya masuk dalam kabinetnya.

Sejatinya, terlepas dari maksud baik Jokowi dengan mempersatukan lawan dalam gerbong kabinet demi tujuan menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa yang masih terus dihiasi percikan api permusuhan antara pendukung kedua belah pihak dapat dimahfumi.

Bukan kontestasi OSIS

Namun, kontestasi politik dalam Pilpres kelasnya bukan semacam kontestasi dalam pemilihan Ketua OSIS SMP dan SMA yang para calonnya justru dibina dalam satu gerbong semacam program Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) yang wajib diikuti oleh seluruh siswa dan menjadi program kurikulum, lalu mengerucut dan terpilih calon Kader Pengurus OSIS (KPO) yang jumlahnya disesuaikan dengan kursi jabatan di kepengurusan OSIS.

Sehingga, saat ada pemilihan Ketua OSIS, maka calonnya ibaratnya dari partai yang sama alias Partai KPO yang menaungi dan siapa yang jadi Ketua OSIS akan berdasarkan jumlah perolehan suara yang juga dari partai yang sama, yaitu seluruh siswa sebagai anggota OSIS satu sekolah bersangkutan. Maka, ketika ada calon yang tidak terpilih, maka calon tersebut sudah pasti kembali dalam gerbong dan otomatis akan mendapat jabatan sebagai seksi apa atau menjabat bidang apa. Tidak akan ada anggota OSIS dari sekolah itu yang protes. Pun tidak akan ada pengurus OSIS yang diambil sembarangan dari anggota OSIS yang tidak terpilih masuk dalam KPO.

Andai saja Pilpres para calonnya di dadar dalam wadah dan partai yang sama dan seluruh rakyat Indonesia menjadi semacam anggota OSIS yang sama di suatu sekolah, lalu Jokowi-Amin (JA) dan Prabowo-Sandi (PS) dari KPO yang sama, maka bersatunya mereka dalam gerbong kabinet menjadi kewajiban.

LDKS hingga KPO sebagai wadah pendidikan dan pengkaderan calon pemimpin di tataran sekolah berbeda dengan fakta dan kenyataan saat sudah ada dalam dunia nyata dan politik yang ada dalam suatu negara. Partainya berbeda, pengkaderannya berbeda, visi-misinya berbeda, pun massanya juga berbeda.

Sehingga dengan pendidikan politik yang dilakukan oleh Jokowi, jelas menciderai massa yang telah mendukung dan simpati hingga memberikan suara dalam Pilpres dan membuat JA menang.

Sebaliknya, saat Prabowo mau bergabung ke dalam gerbong Kabinet Indonesia Maju (KIM), juga melukai pendukungnya. Kini, Sandiaga pun ikutan langkah Prabowo bergabung dengan JA. Tak pelak, jelas membikin masyarakat semakin merasa ditipu baik oleh JA maupun PS yang hanya memikirkan kepentingannya bersembunyi di balik kepetingan rakyat, atas nama rakyat demi persatuan, kesatuan, dan pembangunan. Klise.

Inilah yang menjadi sebab masyarakat Indonesia semakin banyak yang memilih menjadi golongan putih (golput), sebab kontestasi politik mulai dari Pilkada, Pileg, hingga Pilpres sejak proses hingga ujung, hanya sekadar memanfaatkan rakyat demi meraih suara. Setelahnya, mereka akan lupa dan melupakan rakyat. Tidak ada efek signifikan yang mereka perjuangkan untuk rakyat, meski mereka terpilih karena suara rakyat.

Bahkan demi kepentingan dan jabatan, mereka tak perlu lagi butuh simpati dan empati rakyat. Ewuh-pekewuh/sungkan dan rasa malu pun dibuang meski harus dengan cara merendahkan diri.

Sepertinya, masa depan Pilkada, Pileg, hingga Pilpres di Indonesia tak akan lagi laku karena nilai kesakralannya telah dirusak sendiri oleh "mereka". Merekalah yang membikin rakyat tidak lagi percaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler