Bila Politisi Hidup untuk Politik, bukan Hidup dari Politik
Minggu, 27 Desember 2020 05:52 WIBJadi, bila para politisi intelek, terdidik, dan dekat dengan sastra, betapa indah, tentram, dan sejahteranya rakyat yang tinggal di negeri itu, sebab mereka "hidup untuk politik" bukan "hidup dari politik".
Dari catatan sejarah di berbagai literasi tertulis bahwa para politisi Indonesia zaman masa pergerakan dan awal kemerdekaan disebut sebagai politikus dari genealogi intelektual terdidik. Saya juga sudah menulis artikel menyoal para pemimpin alias politisi yang bersastra di zaman itu.Mengapa kini kembali saya ungkap menyoal politisi intelektual terdidik dan bersastra? Rasanya, dalam pentas politik sekarang, banyak pihak yang menganggap bahwa rakyat telah "ditipu" mentah-mentah oleh para politisi yang lebih keren disebut elite partai.
Di zaman ini, mereka juga dianggap benar-benar semakin menampakkan diri jauh dari kata intelek terdidik dan bersastra dalam sikap dan perilakunya, sebab keberadaannya tidak lagi atas dasar kepentingan, perasaan, dan amanah rakyat, tapi lebih kepada kolaborasi demi kepentingan mereka sendiri.
Inilah fenomena bahwa nampaknya Indonesia kini, tak lagi didominasi oleh para politisi intelektual terdidik dan dekat dengan sastra seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka dan lainnya.
Pada masa itu perdebatan intelektual ingar-bingar, terutama mengenai ideologi dan strategi pergerakan untuk mencapai kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia.
Namun, setelah masa reformasi terlewati, harus diakui, cara berpolitik elite partai yang seharusnya menjadi contoh, panutan, teladan, kini malah membikin rakyat semakin antipati dengan sikap berpolitiknya yang semakin jauh dari cara-cara intelek terdidik dan jauh dari sastra.
Semisal Bung Karno, pada masa sebelum kemerdekaan, banyak menulis gagasan tentang bangsa, kemanusiaan, dan anti-penjajahan. Lalu, Mohammad Hatta, merumuskan soal kepemimpinan (leadership), sebab kewajiban utama seorang pemimpin adalah membaca perasaan rakyat dan memberikan jalan kepada perasaan itu. Karenanya, seorang pemimpin harus bisa menangkap persoalan rakyat dari yang terkecil hingga terbesar. Juga mengetahui persoalan yang masih terpendam.
Menurut Bung Hatta, rakyat tak tahu bergerak, sekalipun menanggung penindasan yang keji. Penyebabnya, langkah mereka masih terikat oleh pengetahuan mereka yang masih terbelakang. Dan rakyat hanya mampu berpikir pendek, yaitu bagaimana caranya agar tetap bisa makan sehari-hari dan pasrah pada keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa karena terus tertindas.
Parahnya lagi, di zaman rezim yang otoriter, rakyat tak punya ruang untuk bersuara. Rakyat pun tetap dibuat bodoh seperti yang diwariskan penjajah kolonialisme.
Namun, Bung Hatta melihat bahwa rakyat tetap punya kemauan, tujuan, harapan, dan cita-cita. Sebab itu, seorang pemimpin harus bisa membaca perasaan rakyat, menggerakkan massa yang sulit bergerak sendiri, dan menyuluhi jalan pembebasan rakyat yang masih gelap, pemimpin menjadi pengemudi dan membukakan "mata" rakyat.
Bagaimana dengan kisah politik di Republik kita terkini? Banyak rakyat yang sudah menjadi korban dan mengorbankan diri demi mendukung junjungannya, para elite partai itu, politisi itu, bahkan sampai masuk jeruji besi pun ikhlas dilakoni, namun orang yang dijunjung dan didukung benar-benar "lupa" siapa dirinya, hingga 'menggabungkan dan bergabung' dengan lawan politik dan meninggalkan rakyat demi kepentingan dan bangga menggunakan ungkapan dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi.
Sehingga kini tak ada lagi opisisi yang memang dibutuhkan oleh setiap pemerintahan dalam sebuah negara agar terjadi chek and balance karena tetap ada yang "mengontrol", karena situasi ini memang nampaknya diskenariokan atau sebagai sebuah 'kecelakaan' karena masalah intelektual, terdidik, dan sastra itu yang tak lekat dan dekat dengan mereka.
Inilah yang kini sedang terjadi "di sini". Pilihan hidup dan politik mereka semakin menguak keberadaan aslinya, bahwa mereka berpolitik untuk kehidupan atau kehidupan untuk politik?
Hidup dan politik
Hidup sesuai makna KBBI adalah masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya. Sementara arti politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan-kenegaraan atau segala urusan dan tindakan menyoal kebijakan, siasat, dan sebagainya atau cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Karena itu, untuk bertahan hidup, maka orang harus berpolitik. Tetapi, jangan jadikan politik sebagai kendaraan untuk bertahan hidup. Coba simak apa yang pernah diungkap oleh Tan Malaka.
“Politik harus dimengerti semua orang, karena politik adalah kehidupan sehari-hari. Politik adalah kecerdasan dalam memahami keadaan. Politik bukan dunia para dewa. Berpolitiklah kamu untuk memperjuangkan hidupmu.” – Tan Malaka –
Bagaimana dengan model perpolitikan yang kita lihat sekarang? Sebab belum hadir lagi para politikus yang intelektual terdidik sekaligus tak dekat dengan sastra, maka antusiasme rakyat terhadap politik dan para politisinya pun ambyar. Rakyat pesimis, apatis.
Setiap waktu pun media online dan televisi mewartakan menyoal kritik tajam terhadap dunia politik dan kaum politisi dari para pengamat politik maupun pembicaraan masyarakat umum.
Malah, dunia politik di Indonesia kini juga sudah semacam “delman tanpa kusir”, yang dapat diartikan, negara tanpa pemimpin politik yang memiliki kapabiltas dan integritas yang mumpuni.
Apa akibatnya? Rakyat yang bagaikan penumpang delman terpaksa terus menerima dan mengalami nasib buruk karena negara tempat mereka bernaung para pemimpinnya terus asyik masyuk dalam politik kepentingan yang sangat mudah dibaca karena dilakukan dengan cara nonintelektual, tak terdidik, dan jauh dari sastra.
Maximilian Weber, sosiolog dan pemikir sosial terkemuka berkebangsaan Jerman, yang pernah mengajukan gagasan menarik tentang karakter politisi, dalam sebuah artikelnya berjudul Politics as Vocation (1958), membedakan antara kualitas karakter politisi yang “hidup dari politik” (leben von politik) dengan politisi yang “hidup untuk politik” (leben fur politik).
Gagasan Weber ini, nampaknya sangat tepat dan aktual untuk peta politik di Indonesia sekarang.
Kini, di depan mata kita ada karakter politisi yang “hidup dari politik”. Bagi politisi jenis ini, dunia politik hanyalah tempat persinggahan sementara. Karenanya politisi itu tidak akan mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk bidang di kursi jabatannya. Lebih memperhatikan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Sehingga jelas tanggung jawab moral, keseriusan dan pengabdian bukan menjadi nilai utama, karena hanya bekerja demi "kepentingan", yaitu self-interest (kepentingan pribadi).
Selain itu, di Indonesia juga ditambah dengan fenomena group-interst (kepentingan kelompok), dan investors-interst (kepentingan pemodal/cukong).
Seharusnya, politisi itu “hidup untuk politik”. Jadi, dunia politik bukan sekadar tempat persinggahan, melainkan dunia yang sesungguhnya. Maka, akan mencurahkan segala usaha, tenaga, pikiran dan segala kemampuannya, untuk memuliakan politik. Di sinilah kehormatan seorang pemimpin politik itu.
Politisi yang intelek, terdidik, dekat dengan sastra dalam menjalankan jabatan dan kekuasaannya, tidak menjadikan materi sebagai tujuan dari seluruh kekuasaannya, melainkan nilai-nilai intrinsik etis, yakni pengabdian, ketulusan, keseriusan, kepekaan sosial, rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama, untuk amanah rakyat, sehingga tak akan ada ungkapan KKN, oligarki, dinasti hingga kepentingan.
Jadi, bila para politisi intelek, terdidik, dan dekat dengan sastra, betapa indah, tentram, dan sejahteranya rakyat yang tinggal di negeri itu, sebab mereka "hidup untuk politik" bukan "hidup dari politik".
Pengamat
0 Pengikut
Harkitnas ke-65, Stop Kebangkitan yang Tidak Etik dan Tidak Bermoral
Selasa, 21 Mei 2024 14:05 WIBIuran Kelas BPJS Dihapus, KRIS Resmi Penggantinya, Mampukah Rakyat?
Rabu, 15 Mei 2024 09:56 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler