x

Enita Adyalaksmita Ketua Umum Institut Disabilitas Indonesia mengunjungi Sekolah Khusus Yayasan Padesan Rangkas Bitung

Iklan

Susianah Affandy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 30 Desember 2020 16:33 WIB

Diskriminasi yang Dialami Penyandang Disabilitas

Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penyandang disabilitas merupakan orang yang sakit dan tidak berdaya. Akibat kesakitan dan ketidak berdayaannya tersebut, penyandang disabilitas patut untuk dikasihani, diasuh dan ditopang hidupnya. Mereka rentan mengalami diskriminasi dalam kehidupan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diskriminasi Yang Dialami Penyandang Disabilitas

Sebagai warga Negara kita memiliki harapan dengan hadirnya UU 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU tersebut sebagaimana disosialisasikan oleh para pemangku kepentingan, katanya terdapat perubahan fundamental dalam penanganan disabilitas. Perubahan tersebut salah satunya akan memperlakukan penyandang disabilitas setara dengan non disabilitas. Perlakuan adil tidak hanya dalam pemenuhan hak-hak penyandnag disabilitas, juag perlakuan adil dalam partisipasi pembangunan. Dalam implementasinya, ternyata tidak semudah membalikkan tangan untuk adil kepada para penyandang disabilitas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belum lama ini perlakuan diskriminasi dialami oleh penyandang disabilitas bernama dokter gigi Romi Syofpa Ismael (perempuan) yang sempat lulus sebagai ASN di Kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat namun dibatalkan kelulusannya oleh Bulati dengan alasan yang bersangkutan adalah penyandang disabilitas. Romi, demikian ia dipanggil adalah dokter gigi yang telah mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Puskesmas Talunan, daerah terpencil di Kabupaten Solok Selatan sejak tahun 2015.

Pada tahun 2016 usai melahirkan Romi mengalami lemah tungkai kaki namun ia tetap bekerja memberikan pelayanan masyarakat. Karena prestasi dan dedikasinya yang tinggi, tahun 2017 ia mendapatkan perpanjangan kontrak kerja sebagai tenaga honorer harian lepas. Pada tahun 2018, ia mengikuti seleksi tes ASN (PNS) dan lulus dengan menempati rangking pertama dari peserta tes. Namun ada peserta tes yang melaporkan bahwa Romi adalah penyandang disabilitas. Atas laporan tersebut, kelulusan Romi dicoret oleh Bupati.

Kondisi diskriminasi kepada penyandang disabilitas kerap terjadi di banyak tempat. Meski seorang penyandang disabilitas memiliki kapasitas, dedikasi dan keahlian yang sama bahkan lebih dengan non disabilitas, namun mereka kerap di nomor duakan di dunia kerja. Kondisi seperti ini juga terjadi di luar dunia kerja. Tidak sedikit sekolah negeri menolak anak penyandang disabilitas sebagai siswa, meski kondisi disabilitasnya sesungguhnya tidak berpengaruh dalam proses belajar mengajarnya. Pihak sekolah negeri kerap menyarankan orang tua untuk menyekolahkan anak penyandang disabilitas ke Sekolah Luar Biasa.

Para pakar, praktisi dan peneliti mengungkapkan bahwa diskriminasi kepada penyandang disabilitas berawal dari persepsi masyarakat yang timpang. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penyandang disabilitas merupakan orang yang sakit dan tidak berdaya. Akibat kesakitan dan ketidak berdayaannya tersebut, penyandang disabilitas patut untuk dikasihani, diasuh dan ditopang hidupnya. Atas dasar pemikiran seperti inilah muncul pendekatan charity dalam penanganan disabilitas. Karena dianggap sakit dan tidak berdaya, penyandang disabilitas “seakan” tidak layak untuk sekolah dan memperoleh haknya atas pendidikan. Atas dasar tidak berdaya, penyandang disabilitas disisihkan dari tempat kerja.

Diskriminasi bidang pendidikan

Diskriminasi di bidang pendidikan terjadi dalam mekanisme Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Salah satu contoh di Universitas Indonesia, pada jurusan arsitektur, misalnya, ada persyaratan kode 1 (tunanetra), 2 (tunarungu), dan 5 (buta warna sebagian). Begitu pula untuk jurusan pendidikan dokter, ada persyaratan kode 1 (tunanetra), 2 (tunarungu), 3 (tunawicara), 4 (tunadaksa), 5 (buta warna sebagaian) dan 6 (buta warna keseluruhan maupun sebagian). Dalam pedoman SNMPTN 2014, tidak semua jurusan IPA memberlakukan persyaratan tersebut. Pada jurusan Ilmu Gizi dan Ilmu Kesehatan masyarakat, penyandang disabilitas dapat mengikuti ujian masuk dan memiliki kesempatan kuliah di jurusan tersebut.

SNMPTN Tahun 2014 sangatlah diskriminatif. Tolok ukur kecerdasan calon mahasiswa diruntuhkan dengan kondisi disabilitasnya. Artinya penyandang disabilitas mendapatkan diskriminasi untuk memperoleh haknya atas pendidikan. Dari kasus ini kita dapat memahami adanya datanya rendahnya partsipasi pendidikan pada anak penyandang disabilitas. Meski kita tidak menutup mata, ada Perguruan Tinggi yang membuka akses pendidikan bagi penyandang disabilitas antara lain UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Brawijaya, UIN Syarif Hidayatullah, atau Universitas Diponegoro. Data perguruan tinggi ini sangatlah sedikit dibandingkan dengan jumlah Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia yakni 4.310 kampus.

Pemenuhan hak atas pendidikan bagi penyandang disabilitas mengalami hambatan seiring dengan adanya diskriminasi para pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan peserta didik dmulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya angka pendidikan tinggi bagi disabilitas tidak hanya disebabkan oleh masalah biaya dan adaptasi namun juga adanya perlakukan disakriminasi. Akibatnya factor tersebut mendorong mereka putus asa. Kita masih menunggu bagaimana implementasi UU Penyandang Disabilitas pasal 10 tentang hak pendidikan penyandang disabilitas. Salah satu poinnya: “Hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak: (c) mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan”.

 

 

Ikuti tulisan menarik Susianah Affandy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler