x

Mudik dengan bus di masa pageblug. Antara/Fakhri Hermansyah

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 31 Desember 2020 07:27 WIB

Corona dan Kegemaran Kita Mengulang-ulang Paradoks

Berulangkali kita libur panjang dan diikuti peningkatan kasus positif. Meskipun begitu, di akhir tahun kita pun tetap ingin menjalani libur panjang keluar kota. Kita tahu bahwa itu berisiko buruk, tapi kita tetap melakukannya. Paradoksal. Paradoksal. Kita ingin semua hal segera kembali normal, tapi kita mementahkannya setiap libur panjang tiba. Paradoksal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagian orang beranggapan bahwa pandemi telah mengubah permainan, sebab virus Corona telah berperan sebagai game changer yang dahsyat dan belum tertaklukkan. Kita manusia dipaksa untuk berubah, baik dalam hal berperilaku sehari-hari, menjalani relasi dengan sesama, menempuh pendidikan, maupun menjalankan bisnis. Pandemi bahkan telah melahirkan batasan-batasan kepada kita yang ingin beribadah di masjid, gereja, dan tempat ibadah lain seperti biasa dijalankan.

Kita umumnya melakukan aturan main baru itu sebagai kiat agar terhindar dari kecupan Corona: bekerja dari dan di rumah, belajar secara daring, dan berbisnis online sangat dianjurkan. Norma baru pun terbentuk dan kini menjadi kebiasaan sehari-hari, meskipun mungkin belum setiap orang melakukannya secara disiplin: memakai masker, menjaga jarak antaorang, mencuci tangan secara teratur—juga berjemur di bawah matahari pagi, olahraga ringan, membuka pintu dan jendela rumah, menyantap makanan sehat dan bernutrisi yang semestinya, serta tidur yang cukup pada waktu yang benar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dibandingkan masa-masa kini, betapa mewah bukan kebiasaan hidup kita di zaman normal dulu? Dan betapa kini kita dipaksa untuk mengerti benar bagaimana hidup yang semestinya demi menjaga kelestarian hidup sesama maupun Bumi tempat kita hidup? Kita dipaksa untuk memahami bahwa apa yang kita lakukan memengaruhi hidup orang lain, meskipun sebagian kita tetap bandel.

Kebiasan baru seperti itu terbentuk karena kita, individu dan masyarakat, dipaksa oleh pandemi untuk berubah. Namun begitu, dan entah kenapa, kebiasaan kita dalam menghadapi hari libur panjang tidak ikut berubah. Meskipun berbulan-bulan tinggal bersama keluarga di rumah, kita begitu antusias melihat kalender merah yang berturutan, lalu kita ingat pada agenda cuti bersama, lalu kita tergoda pada tawaran promosi perjalanan dan menginap.

Rasa bosan yang menguar karena berbulan-bulan tinggal di rumah menjadi pendorong lain untuk menikmati liburan di luar kota. Kita merasa bahwa bersama keluarga di dalam rumah selama berbulan-bulan tetap saja menjemukan. Lalu kita mengambil risiko bepergian. Hasrat berlibur pun bertemu dengan promosi maskapai penerbangan, kereta api, hotel, tempat tujuan wisata.

Dapat dimaklumi bahwa bisnis harus berjalan bila ingin bertahan: bisnis transportasi, hotel, restoran, dan seterusnya. Namun ini juga membawa konsekuensi pada meningkatnya mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas berdampak pada penyebaran dan penularan virus. Melalui perjalanan diharapkan ekonomi wilayah yang dilalui dapat menggeliat, tapi seberapa besar efek ekonominya dan sebandingkah dengan efek kesehatannya?

Sepanjang pandemi berbulan-bulan ini, kita bergerak dalam paradoks: ingin segera mengakhiri pandemi, tapi juga ingin ekonomi segera pulih. Akibatnya, langkah-langkah yang diambil serba tanggung; kadang ketat, kadang kendor; sebentar ketat, sebentar longgar; katanya kesehatan dinomorsatukan, kadang pula ekonomi dikedepankan. Jadilah pandemi berkepanjangan.

Libur panjang telah terbukti mendongkrak penularan. Mari kita kutip penjelasan Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19, Sonny Harry B. Harmadi, seperti dikutip beberapa media. Setiap periode libur panjang selalu diiringi peningkatan kasus positif. Libur Idul Fitri 22-25 Mei 2020: peningkatan kasus positif 69-93 persen pada tanggal 6-28 Juni 2020.  Libur HUT RI 15-17 Agustus 2020: peningkatan kasus positif 58-188 persen pada tanggal 1-3 September 2020. Libur akhir Oktober: Peningkatan kasus positif 17-22 persen pada tanggal 8-22 November 2020.

Lalu bagaimana dengan libur Natal dan tahun baru? Bagaimana dengan libur tahun baru Imlek pada Februari nanti? Dampak bepergian di masa libur panjang terlihat jelas sekitar 2 minggu kemudian.

Berulangkali kita libur panjang dan diikuti peningkatan kasus positif. Meskipun begitu, di akhir tahun kita pun tetap ingin menjalani libur panjang keluar kota. Kita tahu bahwa itu berisiko buruk, tapi kita tetap melakukannya. Paradoksal. Keadaan sedang tidak normal, kita berlibur keluar rumah dan bepergian jauh seolah keadaan normal-normal saja. Paradoksal. Kita ingin semua hal segera kembali normal, tapi kita mementahkannya setiap libur panjang tiba. Paradoksal.

Menurut Anda: kita tergolong orang yang sabar karena sanggup menjalani pandemi berbulan-bulan, ataukah kita sesungguhnya tergolong tidak sabar sebab setiap kali masa liburan tiba kita tak mampu membendung hasrat bepergian jauh? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler