Pilkada Sebuah Refleksi Kehidupan Berdemokrasi
Kamis, 31 Desember 2020 13:26 WIBSekedar merefresh, bahwa bangsa Indonesia sudah pernah melaksanakan Pilkada melalui DPRD, yaitu pada zaman Orde Baru. Pasca rezim Orba, banga ini memasuki zaman Reformasi dengan cita-cita mulianya adalah pelaksanaan demokrasi yang selama ini menjadi “idaman”, dan salah satu penanda pelaksanaan demokrasi adalah ditandai dengan pelaksanaan Pilkada hingga pemilihan presiden secara langsung. Sementara itu, Pilkada secara langsung akan memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk memimpin mereka. Selama periode pemberlakuan pemilihan langsung yang kurang lebih sudah berjalan 10 tahun terakhir, telah banyak memberikan pembelajaran buat kita semua. Kalau ada yang mengatakan bahwa pilkada langsung itu butuh anggaran banyak, itu bisa saja benar, tapi yang perlu diketahui juga bahwa untuk membangun negara demokrasi, sangat membutuhkan pengorbanan yang luar biasa dan waktu yang cukup lama. Negara-negara yang dicap sebagai negara demokrasi saat ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kehidupan berdemokrasi, hingga pada akhirnya rakyatnya bisa menikmati hingga saat ini. Sementara Indonesia, baru 10 tahun terakhir ini menjalani kehidupan berdemokrasi, itupun belum sampai pada titik yang ideal, masih butuh proses panjang untuk membangun kehidupan berdomokrasi yang mapan. Bukan sistem pemilihannya yang harus diubah, tapi mekanisme dari awal hingga pada saat penentuan pilihan yang perlu dikaji ulang. Mekanisme rekruitmen calon kepala daerah oleh partai politik juga harus diperketat dan diubah (berlakukan fit and proper test), maksimalkan peran partai politik sebagai alat demokrasi (lakukan pendidikan politik yang benar dan beradab), tidak ada lagi istilah membayar mahar bagi calon kepala daerah kepada partai politik yang akan mengusung, partai politik harus berkomitmen untuk menolak segala bentuk money politic (termasuk mencabut mandat calon yang diusungnya bila ketahuan melakukan money politic), dan mekanisme serta masa kampanye juga menjadi hal yang perlu untuk dikaji ulang.
Dinamika perpolitikan di Indonesia seolah tiada hentinya. Belum lepas dari ingatan kita, bagaimana hingar bingarnya Pemilihan Presiden 2019 yang cukup menguras waktu, pikiran dan tenaga kita. Pasca pemilihan pun tidak berarti selesai sudah dinamika pesta demokrasi itu dan pilkada serentak tahun 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah, hingga pada saat ini beberapa pasangan calon kepala daerah memutuskan untuk melakukan gugutan ke Mahkamah Konstitusi.
Rakyat Indonesia seharusnya sudah tenang dan lega pasca penetapan hasil Pemilu Presiden tersebut, itu yang menjadi harapan kita semua. Akan tetapi dunia perpolitikan Indonesia kembali “terguncang” dengan permainan politik yang diperankan oleh para anggota dewan ataupun elit-elit politik di negeri ini.
Sekedar merefresh, bahwa bangsa Indonesia sudah pernah melaksanakan Pilkada melalui DPRD, yaitu pada zaman Orde Baru. Pasca rezim Orba, banga ini memasuki zaman Reformasi dengan cita-cita mulianya adalah pelaksanaan demokrasi yang selama ini menjadi “idaman”, dan salah satu penanda pelaksanaan demokrasi adalah ditandai dengan pelaksanaan Pilkada hingga pemilihan presiden secara langsung.
Sementara itu, Pilkada secara langsung akan memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk memimpin mereka. Selama periode pemberlakuan pemilihan langsung yang kurang lebih sudah berjalan 10 tahun terakhir, telah banyak memberikan pembelajaran buat kita semua. Kalau ada yang mengatakan bahwa pilkada langsung itu butuh anggaran banyak, itu bisa saja benar, tapi yang perlu diketahui juga bahwa untuk membangun negara demokrasi, sangat membutuhkan pengorbanan yang luar biasa dan waktu yang cukup lama.
Negara-negara yang dicap sebagai negara demokrasi saat ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kehidupan berdemokrasi, hingga pada akhirnya rakyatnya bisa menikmati hingga saat ini. Sementara Indonesia, baru 10 tahun terakhir ini menjalani kehidupan berdemokrasi, itupun belum sampai pada titik yang ideal, masih butuh proses panjang untuk membangun kehidupan berdomokrasi yang mapan.
Bukan sistem pemilihannya yang harus diubah, tapi mekanisme dari awal hingga pada saat penentuan pilihan yang perlu dikaji ulang. Mekanisme rekruitmen calon kepala daerah oleh partai politik juga harus diperketat dan diubah (berlakukan fit and proper test), maksimalkan peran partai politik sebagai alat demokrasi (lakukan pendidikan politik yang benar dan beradab), tidak ada lagi istilah membayar mahar bagi calon kepala daerah kepada partai politik yang akan mengusung, partai politik harus berkomitmen untuk menolak segala bentuk money politic (termasuk mencabut mandat calon yang diusungnya bila ketahuan melakukan money politic), dan mekanisme serta masa kampanye juga menjadi hal yang perlu untuk dikaji ulang.
Dalam konteks pilkada yang sudah berjalan selama ini, sebenarnya kita bisa melihat bahwa yang membuat pilkada langsung itu membutuhkan anggaran yang banyak (dilihat dari biaya yang dikeluarkan oleh kandidat kepala daerah), itu karean partai politik yang tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya. Idealnya bahwa partai politik harusnya menjadi ujung tombak dalam melakukan pendidikan politik, bagaimana berdemokrasi yang baik, menjadi ujung tombak dalam penolakan berbagai bentuk kecurangan dalam pilkada. Partai politik harusnya menjadi ujung tombak dalam memikirkan dan mengimplementasikan konsep-konsep dalam rangka mensejahterakan rakyat, bukan malah sebaliknya, memelihara dan mensejahterakan individu-individu yang menjadi kader parpol. Intinya bahwa partai politik menjadi tauladan dalam pesta demokrasi.
Biarkan rakyat yang menentukan, karena rakyat adalah pemegang kedaulatan dan pemilik sah demokrasi di negeri ini. Karena status tertinggi itulah, rakyat yang berhak menentukan siapa yang harus mendapat mandat untuk menjadi pemimpin diantara mereka dan siapa yang berhak mendapat mandat untuk menjadi wakil mereka di dewan. Sekedar mengingatkan kembali bahwa Negara Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan kedalam tiga macam bentuk kekuasaan yang disebut Trias Politika, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang) dan yudikatif (pengawas pelaksanaan undang-undang). Kekuasaan rakyat sangat jelas dalam sistem pembagian kekuasaan ini, rakyat memiliki kekuasaan dalam menentukan siapa saja yang pantas untuk duduk di salah dua dari tiga lembaga tersebut (legislatif dan eksekutif).
Ideal demokrasi bertujuan untuk mencapai kehidupan pada derajat kebaikan, atau kebahagiaan bersama. Sebesar-besaarnya kebaikan tersebut dapat dirasakan oleh rakyat. Rakyat harus merasakan impact positif dari penerapan demokrasi tersebut dalam pemenuhan hak-haknya. Hak-hak politik rakyat harus terjamin dan terlayani dengan baik. Hak mendapatkan kehidupan yang layak. Hak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Hak mendapatkan jaminan kesehatan. Hak mendapatkan informasi. Hak mendapatkan pekerjaan. Hak berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hak-hak lainnya sebagai warga Negara sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Negara atau pemerintah dan jajaran birokrasi di semua level harus memberikan pelayanan yang maksimal dalam rangka pemenuhan-hak-hak sipil tersebut. Rakyat harus dibuat sejahtera. Rakyat harus dibuat bahagia. Untuk itu rakyat harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Memimpin adalah melayani. Bukan justru sebaliknya, rakyat yang harus melayani pemimpinnya.
Pada akhirnya kembali kepada kita semua untuk memaknai arti sejatinya sebuah demokrasi. Apa yang telah penulis ulas dan gambarkan di atas, adalah sebuah refleksi dari kehidupan demokrasi versi Indonesia yang penulis jalani selama ini, yaitu zaman dimana diberlakukannya Pilkada lewat DPRD (zaman Orde Baru) dan Pilkada oleh rakyat (zaman reformasi).
Oleh: SAPARUDDIN
Panitia Pemilihan Kecamatan Rao Utara Kabupaten Pasaman
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Politik Peres di Pilpres
Jumat, 8 Juli 2022 12:57 WIBBaznas Pasaman Mengadakan Pelatihan Tanggap Bencana
Selasa, 5 April 2022 19:40 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler