Menanggulangi Mahalnya Harga Tempe dan Tahu
Rabu, 6 Januari 2021 18:11 WIBAwal tahun 2021,rakyat mendapatkan kado pahit berupa naiknya harga komoditas kebutuhan pokok. Salah satu yang nail harganya adalah tempe dan tahu. Padahal kita mengetahui tempe dan tahu menjadi kebutuhan hampir sebagian besar penduduk khususnya kalangan menengah ke bawah.
Menanggulangi Mahalnya Tempe dan Tahu
Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Di awal tahun 2021, rakyat mendapat kado mahalnya harga tempe dan tahu. Di Kota Batu, harga tahu goreng naik dari Rp 250 menjadi Rp 300-Rp 400 per kotak. Ukuran tahunya berkurang. Sedangkan produksi tempe sudah berhenti. 30 pengrajin tempe di Batu tidak berproduksi lagi.
Di Sidoarjo harga tempe di pasaran mengalami kenaikan. Dari yang semula Rp 8000 menjadi Rp 10 ribu per potong. Jadi kenaikan harga tempe di Sidoarjo termasuk di Pasar Baru Porong berkisar antara Rp 2000 hingga Rp 5000. Para produsen tempe tidak pernah mengurangi ukuran tempe dan tahu yang diproduksi. Yang dilakukannya adalah menaikkan harga. Hal tersebut dilakukan untuk menyesuaikan harga kedelai impor yang mahal. Harga kedelai impor sekitar Rp 9.200 hingga Rp 9.500 per kilogram.
Jadi para pedagang telah menaikkan harga tempe dan tahu hingga 20 persen. Bahkan juga melakukan pengurangan ukuran tempe dan tahu yang diproduksinya.
Sebelumnya para produsen tempe dan tahu melakukan aksi mogok. Selama 3 hari mulai 1 Januari, tempe dan tahu di pasaran menjadi hilang. Tentunya ini merugikan masyarakat. Mengingat tempe dan tahu merupakan makanan hampir sebagian besar rakyat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Sekarang di tengah kondisi ekonomi sulit, rakyat harus menelan pil pahit mahalnya beberapa komoditas kebutuhan pokok. Naiknya harga tempe dan tahu hanya melengkapi derita rakyat di tengah pandemi.
Produksi tempe dan tahu terkait dengan harga dan ketersediaan kedelai. Adapun ketersediaan kedelai terkait erat dengan kebijakan pertanian negara.
Negara mestinya melakukan langkah-langkah untuk mencapai swasembada kedelai nasional. Dengan begitu negara tidak tergantung lagi pada impor kedelai.
Pada tahun 2018, volume impor kedelai Indonesia mencapai 1,17 juta ton. Di tahun 2019, volume impor kedelai naik menjadi 2,67 juta ton. Pada semester 1 tahun 2020, volume impor kedelai mengalami sedikit penurunan menjadi 1,28 juta ton.
Alasan yang digunakan untuk membenarkan kebijakan impor kedelai karena besarnya konsumsi kedelai nasional dibandingkan produksi kedelai dalam negeri. Secara logis mestinya solusi yang diambil bukan impor kedelai. Artinya negara tidak melakukan upaya peningkatan produksi kedelai nasional. Padahal dengan terus mengimpor justru mematikan salah satu sektor pertanian dalam negeri.
Sudah saatnya negara berpikir serius untuk meningkatkan stok kedelai nasional. Negara melakukan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Ketersediaan lahan yang cukup untuk menghasilkan kedelai yang mencukupi kebutuhan nasional menjadi goal setting ekstensifikasi pertanian. Diperlukan pemetaan wilayah lebih detail. Wilayah yang memiliki potensi pertanian lebih menonjol harus diperuntukkan guna menopang ketahanan pangan nasional. Ketika suatu wilayah diperuntukkan untuk pertanian tidak boleh dialihfungsikan menjadi daerah pemukiman dan industri.
Bagi para petani yang tidak punya lahan atau tidak punya modal untuk membeli lahan, negara membantunya. Di sinilah negara memberikan lahan cuma-cuma untuk produksi kedelai. Selama 3 tahun berturut-turut tidak boleh menelantarkan lahan pemberian negara. Hal ini dimaksudkan agar lahan tersebut selalu produktif.
Terkait usaha intensifikasi pertanian, negara melakukan beberapa upaya. Memberi bantuan bibit kedelai, pupuk, peralatan pertanian dan modal keuangan kepada para petani. Bahkan negara bisa memberi bantuan modal cuma-cuma, di samping memberi subsidi harga bagi alat dan bahan dalam pertanian.
Dengan demikian target memenuhi kebutuhan dalam negeri bisa dicapai. Setelah itu, negara bisa berpikir untuk melakukan ekspor kedelai ke luar negeri. Hal ini dilakukan agar negara bisa mendapatkan mata uang asing demi tujuan akselerasi terwujudnya revolusi industri.
Sedangkan terkait aspek perdagangan, negara harus mencegah terjadinya praktek kartel. Negara harus memastikan transaksi kedelai dan tempe-tahu mengikuti mekanisme pasar.
Praktek kartel di dalamnya terjadi manipulasi. Kelangkaan komoditas tidak boleh ditangani oleh dunia usaha. Negara yang paling berhak untuk menghilangkan kelangkaan. Negara mendatangkan komoditas yang langka dari daerah lain yang stoknya besar. Dengan begitu inflasi bisa dicegah.
Demikianlah kebijakan Islam dalam memajukan sektor pertanian. Harga-harga tempe dan tahu bisa stabil. Produksi kedelai dalam negeri bisa mencukupi kebutuhan nasional. Walhasil sektor pertanian semakin maju. Ketahanan pangan nasional bisa stabil.
# 05 Januari 2021
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Demam Pilpres 2024, Cermin Politik Pragmatis Demokrasi
Kamis, 24 Juni 2021 06:39 WIBMempertanyakan Urgensi Kursus Komisaris
Senin, 14 Juni 2021 18:53 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler