Pembukaan sekolah perlu memperhatikan data penyebaran wabah dan kesiapan sekolah. (Sumber gambar: Media Indonesia)
Penutupan sekolah untuk membatasi penyebaran Covid-19 membuat sebagian siswa dan guru tidak nyaman. Pembelajaran secara daring mempersulit penyampaian materi karena keterbatasan fasilitas perangkat elektronik dan akses internet.
Karenanya, pemerintah mernecanakan pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka (PTM) per Januari 2021. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 yang diterbitkan pada November 2020 ini diatandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehetan, dan Menteri Dalam Negeri.
PTM bersifat tidak wajib dan dapat dilaksanakan bila memenuhi dua syarat. Pertama, mendapat persetujuan pemerintah daerah, pihak sekolah, dan komite sekolah. Kedua, sekolah memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan serta menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Kaji Ulang
Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang SKB 4 Menteri tersebut berdasarkan kondisi penyebaran wabah terbaru. Penambahan kasus drastis terjadi sejak November 2020 hingga Januari 2021. Sementara, rasio positivitas tes Covid19 Indonesia berada di atas 20 persen berturut-turut sejak 31 Desember 2020 hingga 4 Januari 2021. Indikator ini menunjukkan wabah belum terkontrol baik.
Di sisi lain, SKB ini memberi kewenangan kepada pemda untuk mengambil keputusan tidak didasari data. Sebagai contoh, Pemda Jawa Barat, Yogyakarta, dan Bali menyatakan kesiapan PTM, padahal ketiganya merupakan 10 besar provinsi dengan laporan kasus Covid-19 tertinggi per 3 Januari 2021.
Selain itu, meski rencana pembukaan sekolah juga didukung mayoritas siswa dan guru, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan masih minim sekolah yang menerapkan sosialisasi protokol kesehatan. Belum lagi, tidak semua sekolah memiliki fasilitas kesehatan lengkap untuk adakan PTM kembali.
Penyebaran Melalui Anak
Riset Massachusetts General Hospital dan Mass General Hospital for Children menemukan anak-anak berpotensi sebagai silent spreader Covid-19. Anak yang terinfeksi jarang menunjukkan gejala parah, namun membawa viral load (jumlah virus) lebih tinggi daripada pasien dewasa. Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Yogi Prawira, SpA(K), juga mengatakan sebanyak 11,3 persen dari total pasien Covid-19 di Indonesia adalah anak-anak.
Temuan-temuan di atas menegaskan, pembukaan sekolah dapat memicu terbentuknya klaster baru Covid-19. Karenanya, pembelajaran tatap muka seharusnya mengacu panduan WHO, yakni dibolehkan di wilayah dengan penularan di bawah 1 per 100.000 penduduk dengan rasio positif kurang dari 5 persen selama dua minggu berturut-turut. Sayangnya, Indonesia masih belum memenuhi syarat-syarat tersebut.
Dalam rekomendasi kebijakan CISDI berjudul COVID-19: Disrupsi pada Layanan Kesehatan Esensial, Dampak yang Ditimbulkan dan Jalan Membangun Kembali Sektor Kesehatan Indonesia, dijelaskan keraguan pemerintah mengambil tindakan tegas akan membawa dampak serius bagi kesehatan masyarakat. Karenanya, penting mempertimbangkan ulang kesiapan pembukaan sekolah berdasarkan data penyebaran wabah dan kesiapan sekolah di tiap daerah.
Unduh dan simak uraian lengkap perihal tersebut dalam dokumen Health Outlook 2021 melalui tautan ini!
Tentang CISDI
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.
Penulis
Ardiani Hanifa Audwina
Ikuti tulisan menarik CISDI ID lainnya di sini.