x

Gedung Putih, Pixabay.com

Iklan

Mizan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Oktober 2019

Senin, 11 Januari 2021 14:50 WIB

Insiden Capitol Hill: Runtuhnya Supremasi Demokrasi

Insiden Capitol Hill ini telah membuat kaget dan syok dunia. Para pemimpin dunia seolah tidak percaya bahwa hal demikian terjadi di AS. Serangan terhadap konggres AS bagi mereka merupakan serangan terhadap demokrasi dan nilai-nilainya. Selama ini AS menjadi model penerapan demokrasi di dunia. Akan tetapi hari ini demokrasi di AS telah mengalami kejatuhan supremasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Insiden Capitol Hill: Runtuhnya Supremasi Demokrasi

Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)

Pada tanggal 6 Januari 2021, terjadi serbuan terhadap Capitol Hill. Para pendukung Trump melakukan demonstrasi di depan gedung konggres AS tersebut. Mereka memaksa masuk dan menggedor-gedor pintu ruangan konggres. Rencananya saat itu konggres akan mengukuhkan kemenangan Joe Biden sebagai presiden AS ke-46.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para demonstran membawa plakat bertuliskan "Trump adalah Presiden Kami". Terjadilah bentrokan antara demonstran dengan petugas keamanan. Insiden tersebut telah menelan korban 4 orang meninggal dunia. Sementara sidang konggres ditetapkan untuk reses.

Insiden Capitol Hill ini telah membuat kaget dan syok dunia. Para pemimpin dunia seolah tidak percaya bahwa hal demikian terjadi di AS. Serangan terhadap konggres AS bagi mereka merupakan serangan terhadap demokrasi dan nilai-nilainya. Selama ini AS menjadi model penerapan demokrasi di dunia. Akan tetapi hari ini demokrasi di AS telah mengalami kejatuhan supremasi.

Insiden 6 Januari 2021 di Capitol Hill merupakan yang terburuk sejak insiden serbuan di tahun 1812. Memang Capitol Hill ini mengalami banyak insiden. Akan tetapi insiden-insiden sebelumnya masih belum menggoyahkan posisi AS sebagai kampium demokrasi. Selama sekitar 220 tahun, Capitol Hill masih menjadi Kuil Demokrasi. Capitol Hill masih disakralkan sebagai pusat demokrasi dunia. Bila di belahan dunia lain terjadi pelanggaran terhadap demokrasi, mereka akan diingatkan untuk selalu memperbaiki kehidupan demokrasinya. AS seolah mendapat legitimasi untuk mengintervensi negara lain yang 'kurang demokrasinya' tersebut.

Tatkala suatu wilayah dipandang menjadi basis pertumbuhan bagi bibit otoritarianisme, AS pun tampil di wilayah tersebut bak pahlawan yang akan menyelamatkan demokrasi dan rakyat. Pada tahun 2003, dengan gagahnya AS menyerang Irak. Serangan darat yang begitu masif akhirnya mampu menjatuhkan Saddam Husein. Begitu pula waktu terjadi Arab Spring, AS segera bergerak cepat untuk mengakhiri pemerintahan yang dipandangnya otoriter. Sebutan otoriter hanyalah basa-basi AS guna mengganti bonekanya yang sudah tidak menguntungkannya. Beberapa rejim pun tumbang berganti ke rejim lainnya. Boneka baru menggantikan boneka lainnya. Hanya saja ketika pengganti belum ditemukan, maka saat itu masih dipertahankan. Apa yang bisa kita lihat pada rejim Bashar Asad hari ini, telah membuktikannya.

Di Indonesia sendiri, pemilu 2019 menjadi pemilu paling buruk sepanjang sejarah. Sudah menelan korban ratusan nyawa petugas KPPS, terjadi juga kecurangan yang terstruktur dan masif. Sebenarnya supremasi demokrasi jauh sebelum 6 Januari sudah runtuh. Akan tetapi kuil demokrasi masih sakral. Capitol Hill masih berdiri kokoh. Capitol Hill dengan angkuhnya seolah mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik, menghormati hak asasi manusia.

Apakah anda menilai bahwa program War on Terorisme itu sebagai hal yang wajar terjadi? Siapapun yang jeli tentunya bisa melihat bahwa tidak ada kejujuran politik AS di dunia. Atas nama demokrasi, AS mengintervensi negara lain. Demokrasi hanyalah alat penjajahan. Bukankah AS sendiri telah melanggar nilai HAM ketika korporasi raksasanya misalnya masih bercokol di Papua mengeksploitasi puluhan tahun tambang emas?

Selama pandemi Covid-19 berlangsung, sebenarnya demokrasi sudah gagal. Dunia mengalami resesi ekonomi. Dunia mengalami krisis kesehatan. Akan tetapi, para pemimpin dunia masih berusaha menjaga supremasi demokrasi. Betul, walaupun terjadi penurunan kepercayaan kepada pemerintahan yang ada. Di Indonesia sendiri survey ketidakpercayaan terhadap setahun pemerintahan Jokowi-Makruf Amin bisa menembus angka di atas 50 persen. Hanya saja demokrasi masih dipandang sebagai hal yang baik.

Akan tetapi, saat ini pasca insiden 6 Januari, demokrasi telah mengalami kejatuhan. Capitol Hill sebagai kuil demokrasi yang tidak lagi sakral. Pelanggaran nilai demokrasi di AS telah membuka cacat demokrasi. The Globe Cop telah menunjukkan pesta demokrasi yang diselenggarakannya adalah yang terburuk dalam sejarah. Kandidat presiden terpilih harus gagal dikukuhkan hari itu. Kekuasaan dan kedaulatan rakyat telah dirobek oleh tingkah laku para politisi di AS. Mereka yang mengaku paling demokratis.

Dari insiden Capitol Hill mestinya bisa membuka mata dunia. Demokrasi itu sudah gagal. Gagal dalam menyejahterakan manusia. Bahkan demokrasi adalah sistem tidak manusiawi bahkan di tengah pandemi. Ekonomi dipandang lebih penting daripada nyawa dan kesehatan. Demokrasi itu self destruction. Demokrasi telah menodai kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, dunia membutuhkan sistem alternatif. Sebuah sistem yang tidak pernah dan tidak akan berdusta pada kemanusiaan. Sudah saatnya manusia insyaf untuk mengambil sistem kehidupan yang berasal dari Tuhan semesta alam, Allah SWT.

Apabila keinsyofan dunia terhadap Islam membutuhkan kajian dan penela'ahan intens. Mari kita mengajak dunia untuk melakukannya. Artinya bukan lagi waktunya untuk curiga terhadap kajian-kajian Islam yang ideologis. Bukankah eranya sudah demikian? Biarlah manusia menemukan sistem hidup terbaiknya pasca demokrasi sudah kehilangan supremasinya.

# 10 Januari 2021

Ikuti tulisan menarik Mizan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler