x

Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Sosial, Angkie Yudistia melihat langsung proses evakuasi bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang ditemukan petugas di Jakarta International Container Terminal atau JICT Tanjung Priok, Jakarta Utara. Foto: Instagram Angkie Yudistia

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 13 Januari 2021 13:33 WIB

Ulasan Media Asing Soal Kecelakaan Pesawat di Indonesia

Semakin kita memahami kondisi dan fakta-fakta tentang seluk beluk penerbangan, kita akan semakin awas dan bijak dalam menggunakan moda pesawat.  Selain itu, karena seringnya pesawat Indonesia jatuh dan terus duduk di ranking tertinggi di Asia sebagai juara kecelakaan pesawat, maka pemerintah dan stakeholder terkait benar-benar wajib lebih ketat dalam pengawasan laik terbang dan pengingatan tentang kondisi cuaca agar tak ada lagi masyarakat Indonesia dan mancanegara yang meregang nyawa naik pesawat di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SJ 182

Semoga para korban SJ 182 diberikan tempat yang layak di sisiNya, sesuai amal baiknya dan keluarga korban diberikan ketabahan dan keikhlasan. Semoga ini tragedi jatuhnya pesawat komersil terakhir di Indonesia. Aamiin. (Supartono JW.0912021)

Setelah 3 hari kecelakaan Sriwijaya Air, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (11/1/2021), Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi ( KNKT) Soerjanto Tjahjono menyatakan bahwa KNKT telah mengumpulkan data radar (ADS-B) dari Perum Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Airnav Indonesia). Dan, dari data tersebut, tercatat pesawat berada pada ketinggian 250 kaki sebelum akhirnya hilang kontak. Artinya, mengindikasikan bahwa sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirim data, sebelum jatuh.

Kendati demikian, memang masih terlalu dini berspekulasi menyebut penyebab pesawat jatuh. Meski demikian hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, sebab tergiring berita, menganggap bahwa kecelakaan pesawat yang menimpa Sriwijaya Air SJ 182 pada Sabtu (9/1/2021) dan jatuh di Kepulauan Seribu, tepatnya di sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki adalah karena faktor cuaca, terlebih keberangkatan SJ 182 sempat ditunda akibat cuaca buruk.

Burung besi berjenis Boeing 737-500 dengan kode registrasi PK-CLC, dan sempat hilang kontak beberapa menit usai lepas landas ini  pun kembali membuka memori kelam tentang insiden penerbangan di Indonesia di tengah pandemi corona dan di hari ke-9 tahun 2021 dan merenggut nyawa 43 penumpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 penumpang bayi, dan 12 kru.

Namun, di luar anggapan masyarakat, media televisi dan media massa juga ramai menyiarkan informasi, selain karena faktor cuaca, jatuhnya SJ 182 juga karena faktor pandemi corona.

Sebab pandemi pun ada pihak yang mempertanyakan kondisi pesawat dan kru yang baru kembali setelah "libur panjang" selama pandemi virus corona. Terlebih Maskapai ini pada akhir 2019 telah mengakhiri kemitraan selama setahun dengan maskapai nasional Garuda Indonesia, dan beroperasi secara independen.

Lebih dari itu, separuh lebih armada Sriwijaya Air juga sempat dikandangkan, sehingga ada pertanyaan menyoal faktor kelaikan terbang, meski pimpinan maskapai Sriwijaya Air pada Sabtu (9/1/2021) kepada awak media menyebut bahwa pesawat SJ 182 beroperasi dalam kondisi baik.

Pesawat di Indonesia sering jatuh

Akibat kecelakaan SJ 182, kita pun jadi bertanya, bahkan pihak Asing pun turut memberikan analisis mengapa pesawat di Indonesia sering jatuh terutama dalam 10 tahun terakhir.

Seperti telah dikutip oleh berbagai media di tanah air pada Senin (11/1/2021) ada beberapa media asing yang turut mengulik tragedi burung besi di Indonesia ini.

Pertama Bloomberg, media asal Amerika Serikat (AS) ini menulis artikel berjudul "Jet Crash Adds to Long List of Aviation Disasters in Indonesia", dan menyebut ada dua faktor utama yang menyebabkan insiden, yaitu faktor cuaca buruk dan komunikasi.

Media yang berdiri 1 Oktober 1981 ini memberikan deskripsi menyoal faktor cuaca karena Indonesia ssbagai negara kepulauan, sehingga rentan terjadi badai petir, ada letusan gunung berapi yang memuntahkan abu ke udara dan menjadi penyebab rusaknya mesin jet pesawat bila tersedot. Terbaru, faktor cuaca menjadi sebab tertundanya penerbangan SJ 182 selama 1 jam.

Berikutnya faktor komunikasi juga menjadi penyebab pesawat di Indonesia sering jatuh. Sebagai contoh insiden AirAsia pada Desember 2014 yang berangkat dari Surabaya. Pilot Indonesia dan kopilot dari Perancis gagal menangani kendala di auto-pilot, sehingga pesawat terjun ke laut. Mungkin maksudnya, pilot tak tak mendapat panduan yang benar saat kesulitan mengendalikan pesawat yang bermasalah.

Berikutnya ada Associated Press (AP) media dari AS juga, mengungkap ada tiga alasan di balik pesawat Indonesia sering jatuh yaitu kombinasi dari faktor ekonomi, sosial, dan geografi dalam artikel berjudul "EXPLAINER: Why Indonesia’s plane safety record is a concern", Senin (11/1/2021).

Selain itu, AP juga mengungkit maraknya Low Cost Carrier (LCC) di Indonesia yang menjadi opsi murah untuk terbang, meski masih banyak wilayah kurang memiliki infrastruktur yang aman dan memiliki sedikit regulasi atau pengawasan pada tahun-tahun awal booming penerbangan di Indonesia.

Walau begitu, media yang berdiri sejak 1846 ini juga menerangkan bahwa belakangan ini kondisi mulai membaik di dunia aviasi Indonesia. Kemajuan industri ini meningkat signifikan dan pengawasan menjadi lebih ketat. Kemajuan itu antara lain inspeksi yang semakin intens, regulasi yang lebih kuat, fasilitas dan perawatan yang lebih baik, dan pilot yang semakin terlatih.

Karenanya Badan Penerbangan Federal AS yang pada 2007-2016 memberi kategori 2, kemudian memberi Indonesia peringkat Kategori 1 pada 2016, yang berarti menetapkan penerbangan di Indonesia mematuhi standar keselamatan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.

Terbanyak di Asia, urutan ke-8 dunia

Selain sorotan dan analisis media asing menyoal mengapa pesawat di Indonesia sering jatuh, saya kutip dari Aviation Safety Network, sejak 1945 ada 104 kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia dan korban tewasnya sebanyak 2.301, terbanyak di Asia dan di urutan 8 dunia.

Dampaknya, maskapai penerbangan di Indonesia sempat dilarang masuk ke AS pada 2007-2016 karena faktor-faktor, seperti keahlian teknis, personel terlatih, prosedur pencatatan dan pemeriksaan. Disusul oleh Uni Eropa yang menerapkan larangan serupa dari 2007 hingga 2018.

Dari beberapa analisis dan fakta-fakta tentang penerbangan di Indonesia tersebut, semoga masyarakat semakin memahami bahwa mengapa pesawat di Indonesia sering mengalami musibah.

Benarkah SJ 182 jatuh karena kondisi cuaca? Atau pesawat tak laik terbang akibat "pandemi corona" karena lama dikandangkan? Atau faktor lain?

Semakin kita memahami kondisi dan fakta-fakta tentang seluk beluk penerbangan, kita akan semakin awas dan bijak dalam menggunakan moda pesawat.  Selain itu, karena seringnya pesawat Indonesia jatuh dan terus duduk di ranking tertinggi di Asia sebagai juara kecelakaan pesawat, maka pemerintah dan stakeholder terkait benar-benar wajib lebih ketat dalam pengawasan laik terbang dan pengingatan tentang kondisi cuaca agar tak ada lagi masyarakat Indonesia dan mancanegara yang meregang nyawa naik pesawat di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu