x

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Senin, 18 Januari 2021 12:56 WIB

Implikasi Pilkada Serentak Terhadap Sosial Dan Politik

perubahan sistem Pilkada dari yang sebelumnya dilakukan secara parsial menjadi serentak tentu saja akan membawa dampak terutama pada bagaimana konstelasi politik yang dibangun oleh parpol dalam rangka memenangkan sebanyak mungkin kandidatanya di setiap daerah pemilihan. Dampak yang paling nyata adalah bahwa parpol besar sekalipun tidak bisa lagi mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mendukung kemenangan kandidatnya di semua daerah pemilihan melalui dukungan kader-kader unggulan yang biasanya dikirimkan dari kantor pusat ke daerah. Masing-masing kandidat harus lebih banyak mengandalkan diri sendiri terutama ketokohannya untuk meraih simpati calon pemilih dibanding mengharapkan dukungan mesin-mesin partai pendukungnya. Oleh karena itu, diasumsikan Pilkada serentak ini akan lebih banyak memberi peluang kandidat jalur independen untuk menang dibanding yang melalui jalur partai politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN

Panitia Pemilihan Kecamatan Rao Utara kabupaten Pasaman

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpin di daerah masing-masing berawal di tahun 2005 ketika bangsa Indonesia memulai era baru dalam penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada.Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang lebih spesifik di atur dalam bagian tata cara pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pilkada langsung merupakan koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan demokrasi yang semakin matang di tingkat  daerah.  Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendorong dinamika dalam kehidupan demokrasi di tingkat lokal.  Keberhasilan  pilkada langsung untuk melahirkan pemimpin daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat bergantung pada daya kritis dan rasionalitas pemilih/rakyat itu sendiri.

Selanjutnya, sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berlaku pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilukada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Kemudian, pada tahun 2011, terbit undang-undang  baru  mengenai  penyelenggaraan pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pengesahan Perpu ini juga berimplikasi terhadap pelaksanaan Pilkada serentak yang telah bergulir sebelum aturan ini disahkan dan semakin menguat. Maka, Perpu ini menjadi landasan hukum (yuridis) bagi pelaksanaan Pilkada serentak. Perpu No. 1 Tahun 2014 ini kemudian disahkan oleh DPR RI dengan menerbitkan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Dalam UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 201 ayat 1 jelas menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang  sama pada  bulan Desember tahun 2015.

Dalam draft Rancangan UU No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dinyatakan bahwa Pilkada serentak dijadwalkan tiga gelombang pada 2015 dan 2018 untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya pada kurun waktu itu, kemudian pilkada  nasional serentak pada 2020.

Implikasi Sosial

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sejak pilkada  langsung  digelar pertama kali pada 2005 hingga Agustus 2013, tercatat 75 orang meninggal dan  256 lainnya cedera sebagai akibat ekses langsung dari sejumlah bentrokan yang mengiringi penyelenggaraan Pilkada di sejumlah daerah. Kerugian fisik dalam  bentuk  kerusakan infrastruktur dan sarana umum juga tak kalah banyaknya, termasuk harta benda individu yang rusak saat terjadinya bentrokan antar pendukung.

Keadaan yang meresahkan seperti disebutkan di atas terasa makin sering terjadi di sekitar kita akibat pemberitaan yang tidak putus dari waktu ke waktu. Dengan waktu pelaksanaan yang berbeda-beda tersebut berpotensi menciptakan keresahan sosial yang berantai yang akan mengganggu kenyamanan hidup rakyat yang terpapar berita-berita kekerasan yang menyertai pelaksanaan Pilkada di sejumlah daerah yang diselenggarakan dalam waktu yang berbeda-beda.

Peristiwa Pilkada memang berbeda dengan peristiwa yang lain seperti seminar, pameran, gelar budaya dan semacamnya, seberapapun besarnya. Tetapi pemilihan yang bernuansa politis pasti memiliki potensi konflik yang tinggi. Tanpa bermaksud membandingkan, pemilihan kepala desa patut dijadikan contoh bagaimana konflik antar pendukung kandidat di dalam suatu desa bisa memicu tindakan kriminal dan perbuatan melawan hukum lainnya apalagi Pilkada yang skalanya lebih besar. Pilkada pasti sarat dengan beragam kepentingan yang tentu saja potensi konfliknya, baik horizontal maupun konflik vertikal lebih besar potensinya untuk terjadi.

Berita kekerasan akibat bentrok antar pendukung, money politic, korupsi, fitnah dari kampanye gelap, pembodohan, umbar janji bohong dan sebagainya adalah peristiwa yang diberitakan secara intensif yang bahkan memaksa anak didik yang terpapar berita  seperti  itu tanpa sengaja melalui televisi harus bertanya mengenai arti semua itu kepada orangtua mereka. Pemberitaan negatif yang terus menerus dikonsumsi masyarakat cenderung akan  membuat  mereka kebal alias permisif dan menganggap sogokan, korupsi, saling fitnah dan semacamnya sebagai hal yang biasa dan tidak perlu dipermasalahkan.

Implikasi Politik

Implikasi politik penyelenggaraan Pilkada serentak setidaknya  akan  mengurangi dominasi partai politik besar dalam melaksanakan kampanye di daerah.  Jika  sebelumnya pentolan partai suka melakukan kampanye keroyokan di daerah untuk mendukung kandidat dari partainya, maka dengan Pilkada serentak mereka harus berhitung logistik dan tentu saja harus lebih arif mempertimbangkan mitra koalisinya agar tidak mengesankan inkonsistensi yang akan menurunkan elektabilitas kandidat yang didukungnya.

Penjelasannya, bahwa tidak selalu partai politik berkoalisi permanen dengan sejumlah partai tertentu dalam mendukung kandidat di setiap propinsi, bahkan nasional. Bisa jadi Partai Politik A berkoalisi dengan Parpol B dan C untuk mendukung calon yang sama di Kabupaten Y, tetapi di Kabupaten W Parpol A berseberangan dukungan dengan Parpol B atau C sehingga bila Parpol A mencederai Parpol lainnya di suatu Kabupaten bisa berimplikasi buruk terhadap soloditas Parpol mereka di Kabupaten lainnya.

Oleh karenanya, konstelasi pilihan kendaraan parpol setiap kandidat Kepala Daerah di setiap daerah tidak bisa lagi seperti sebelumnya dimana selalu mempertimbangkan kebesaran nama partainya karena dengan Pilkada serentak mesin politik besar sekalipun tidak  bisa  maksimal diarahkan ke satu titik melainkan harus melayani sejumlah titik lainnya dalam waktu yang bersamaan. Kondisi seperti ini tentu saja akan menguntungkan  calon  kepala daerah dari jalur independen karena akan menghadapi kandidat yang didukung parpol yang makin lemah dukungannya karena harus menyebarkan sumberdaya mereka di Pilkada serentak ini. Sejumlah pengamat meramalkan bahwa Pilkada serentak akan banyak dimenangkan oleh calon independen karena lebih solid dibanding calon dari Parpol.

Setelah Pilkada serentak tahap pertama ini, dipastikan akan terjadi perubahan konstelasi politik dalam urusan dukungan terhadap kandidat. Sekali suatu parpol menurun elektabilitasnya secara nasional akibat satu dan lain hal termasuk perilaku pengurusnya, maka dapat dipastikan parpol tersebut juga akan berkurang manfaatnya dalam memberikan dukungan  bagi  kandidat yang didukungnya dan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan pemulihan atau recovery kecuali harus menunggu Pilkada serentak berikutnya. Kondisi ini yang akan mendorong setiap calon pada Pilkada serentak berikutnya  lebih memperkuat  ketokohan  dan popularitasnya di tingkat wilayah masing-masing daripada mengharapkan keuntungan dengan mencantolkan diri kepada partai besar. Bila ketokohan dianggap lebih menguntungkan untuk dikedepankan dalam Pilkada serentak maka dapat dipastikan bahwa tokoh-tokoh terbaik di daerah akan  semakin banyak yang meminati jalur independen, apalagi tidak perlu menyiapkan biaya “kendaraan” kepada partai yang ditumpangi.

Implikasi sosial dari adanya Pilkada serentak ini diasumsikan akan lebih baik dibanding Pilkada sendiri-sendiri. Asumsi ini didasarkan atas  kalkulasi  kemungkinan  menurunnya intensitas pemberitaan Pilkada yang selama ini muatannya relatif banyak yang negatif terutaa berkaitan dengan bentrokan sosial antar warga, politik uang, sengketa Pilkada dan lain-lain yang menyita perhatian warga terlalu banyak dan terlalu sering. Pilkada serentak setiaknya akan menurunkan intensitas pelaksanaan pilkada dan pada akahirnya tentu aja akan mengurangi intensitas pemberitaannya.

Secara politis, perubahan sistem Pilkada dari yang sebelumnya dilakukan secara parsial menjadi serentak tentu saja akan membawa dampak terutama pada bagaimana konstelasi politik yang dibangun oleh parpol dalam rangka memenangkan sebanyak mungkin kandidatanya  di setiap daerah pemilihan. Dampak yang paling nyata adalah bahwa parpol besar sekalipun tidak bisa lagi mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mendukung kemenangan kandidatnya di semua daerah pemilihan melalui dukungan kader-kader unggulan yang biasanya dikirimkan dari kantor pusat ke daerah. Masing-masing kandidat harus lebih banyak mengandalkan diri sendiri terutama ketokohannya untuk meraih simpati calon pemilih dibanding mengharapkan dukungan mesin-mesin partai pendukungnya. Oleh karena itu, diasumsikan Pilkada serentak ini akan lebih banyak memberi peluang kandidat jalur independen untuk menang dibanding yang melalui jalur partai politik.

 

 

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler